Friday, December 30, 2005

"Oom Glenn... Where are you?

Pagi ini adalah pagi terakhir tahun 2005.
Gue duduk di sebuah cafe yang sering gue singgahi selama 2005.
Lagi asik-asiknya internetan,
tiba-tiba Hp berdering. Suara anak kecil di seberang:
"Oom Glenn... Where are you?" Dengan terbata-bata.
Dia adalah Tiara, anak temennya gue, Irene dan Candra.
Umurnya 3 tahun.

Gak tau kenapa, pertanyaan Tiara mengiang terus di hati gue.
"Oom Glenn... where are you?"
Pertanyaan yang selama ini selalu gue hindari.
Pun kalau gue tanyakan kepada diri gue sendiri.
Ada di mana gue sekarang?

Mungkin akan lebih gampang dijawab
kalau gue tau udah ke mana aja
dan akan ke mana nanti.
Sayangnya gue gak pernah memikirkan itu.
Jalan aja terus. Kerja aja terus.
Dari sini ke sana. Dari sana ke sini.
Dari hari ke hari, tahun ke tahun.

Dan, seorang anak 3 tahun udah mengingatkan gue,
untuk berani dan mau meluangkan waktu menjawab pertanyaan itu.
Bukan soal masa lalu, bukan soal masa depan.
Tapi soal sekarang.
Mungkin ini adalah PR dan kado malam tahun baru
paling berarti buat gue.

"Tiara, I will think of the answer to your question.
Tonite. On New Year's Eve.
Wish me luck, sayang...

And I wish you Happy New Year.
I will say my little prayer for you.
May God always leads every little steps you take.
And so if one day, someone ask you of where you are,
you will have the answer. Right away.

Love you, Oom Glenn."

Wednesday, December 14, 2005

My New Year's Resolution

I want to live
I want to die

I want to fly
I want to fall

I want to love
I want to hurt

I want to be a giant
I want to be a dwarf

I want to be your friend
I want to be your foe

I want to be an Art Director
I want to be a Copywriter

I want to win
I want to loose

I want to be a smart
I want to be a dumber

I want to be the first
I want to be the last

I want to be anything
I want to be nothing

I want to be special
I want to be common

And yes, I want to be a man
I want to be a woman

I just want to be me.
And you just want to be you.

And so we can be friend.
And so we can be lover.
And so we can be.

Have a wonderful New Year,
wonderful future.
For all you, all of you,
thank you for being my friends.

Monday, December 12, 2005

Raksasa Maya Dunia Iklan

Sekagum-kagumnya saya pada Neil French,
David Droga, Jureeporn Thaidumrong,
saya tidak akan merasa kehilangan kalau suatu hari
mereka meninggal dunia.
Padahal mereka bekerja di dunia yang sama dengan saya.

Tapi saya ingat, ketika Ibu Theresa,
Lady Diana, Paus Yohanes Paulus,
meninggal dunia, entah mengapa saya merasa kehilangan.
Saya merasa ada bagian dari diri saya yang ikut hilang.
Harapan yang ikut mereka bawa.
Padahal, mereka tidak ada hubungannya dengan dunia saya.

Steve Jobs, Stephen Spielberg, Vera Wang,
Madonna, Nelson Mandela, Su Kyi dan banyak nama lagi
yang selalu saya doakan supaya panjang umur
dan selalu bisa berkarya.
Saya pikir, dunia membutuhkan mereka.
Mereka menjadi inspirasi bagi dunia.
Memperkaya kehidupan kita.
Setidaknya saya pribadi.

Di tengah lautan karya,
hasil perenungan, imajinasi, harapan,
dan kepekaan, nama-nama besar itu berkarya.
Bukan hanya untuk dirinya sendiri
tapi juga untuk orang lain. Untuk dunia.
Dunia iklan menjadi begitu kecil.
Mikroskopis.

Dunia tidak akan berhenti berputar tanpa iklan.
Dunia tidak akan menyesal kalau iklan tiada.
Dunia tidak akan menangis kalau orang iklan meninggal.

Sampai saat ini saya hidup di dunia iklan.
Tidak, saya tidak menyesalinya.
Saya menikmati kehidupan saya sekarang.
Tapi saya ingin berbuat banyak dan lebih banyak untuk orang lain.
Saya ingin kita bisa saling berbagi apa yang kita tahu,
rasa, fikir, imajinasi tanpa prasangka buruk.

Saya sadar-sesadarnya,
dunia iklan sekarang dipenuhi dengan egomaniak
yang hanya memikirkan kemakmuran dan keharuman namanya sendiri.
Para pecinta diri, yang menghalalkan segala cara,
untuk kemuliaan dirinya sendiri.
Menjadikan diri sendiri, raksasa maya di dunia mikroskopis.
Bahkan di tengah keadaan yang sedang
terpuruk ini, mereka tidak lupa untuk saling nyinyir.
Saling sindir. Saling sinis.
Benar-benar memalukan.
Sudah tidak ada artinya, saling membunuh pula.
Astaghfirullah!

Saya pikir, adalah tantangan bagi generasi saya
untuk bisa berpikir, melihat dunia iklan dengan lebih luas lagi.
Untuk tidak sekedar bikin iklan, tapi bikin pergerakan.
Pergerakan yang bisa memberikan inspirasi bagi orang lain.
Terkesan berlebihan? Saya rasa tidak.

Gelang karet Nike misalnya. Sangat inspiratif.
"Ah itu kan brand besar! klien gue mah cere-cere!"
Teman, saya tidak berharap kita melakukan hal sama besok.
Tapi kita bisa mengambil aspirasinya.
Keluasan maksud dan tujuan yang disampaikan
dengan cara sangat sederhana. Gelang karet.

Saya tidak ingin selamanya,
duduk di ruang meeting bersama klien
dan membahas apakah warna cyan bisa
dinaikkan menjadi 120 persen.

Amigos Para Siempre,
Selamat Natal dan Tahun Baru 2006

Tuesday, December 06, 2005

narasi yang terlupakan waktu acara the copymakers

(I)
Cukup lama untuk saya memikirkan,
apa yang malam ini pantas untuk disajikan kepada teman-teman semua.
Dan jujurnya, sampai sekarang juga
Belum puas tapi, kata Nadya gak boleh diundur…

Di tengah teman-teman creative professional,
Membahas soal teknik copywriting.
Rasanya jadi basi sekali.
Apalagi saya yakin, di ruangan ini banyak
Yang lebih pantas dan kompeten untuk memberikan materi itu.

Akhirnya, saya memutuskan untuk mencoba
Membayangkan, berimajinasi, berfantasi,
Mengundang teman-teman untuk
Bertandang ke rumah saya.

Saya membayangkan,
Yang pertama akan teman-teman temui adalah Mbak Pargi.
Senyum tulusnya akan mengucapkan
Selamat datang tanpa harus berkata-kata.

(II)
Di bagian pertama,
Saya ingin mengajak teman-teman,
Untuk sejenak melupakan bahwa kita adalah orang iklan.
Sesekali kita rayakan kembali
Kepekaan kita, kemanusiaan kita.

Manusia yang hidup oleh hembusan udara
Untuk hidup, dan menghidupi kehidupan sekitarnya.
Menjadikannya tumbuh, berkembang
Dan kehidupan kita pun semakin berarti.

Sama seperti pertemanan kita,
Harapan, adalah teman kekhawatiran,
Keyakinan, adalah teman kekecewaan,
Cinta, adalah teman kesedihan.

Perlawanan antara yang baik dan yang jahat.
Yang benar dan yang salah
Menjadi bagian tak terpisahkan

Tapi hidup harus jalan terus.
Walau sampai kita harus kehilangan segalanya.
Sampai tiada yang tersisa.

Adalah harapan keyakinan dan cinta pula
Yang akan menolong kita.
Sehingga air mata akhirnya
Menghidupkan kembali
Semangat dan kehidupan sekitar kita.

Sampai waktu kita usai nanti

(II)
Minggu lalu, saya dan Dita jalan bareng.
Menemukan 3 buku berisikan
Perjalanan iklan dari tahun
60an, 70an, 80an.
Setiap buku menyimpan ratusan iklan cetak.
Setiap iklan menyimpan kisah sebuah masa.
Sebuah masa yang menyimpan sejarah.

Di tengah kejenuhan archive awards,
3 Buku itu bisa menjadi alternatif yang menyimpan harapan.
Untuk menghasilkan sesatu yang baru lagi…

Semoga saja apa yang dari masa lalu,
Bisa kita bawa ke masa kini untuk masa nanti.

Saya sudah memilihkan
Iklan-iklan yang menurut saya menarik.
Dengan kaca mata masa kini.
Untuk saya bagi ke teman-teman malam ini.

Karakter manusia yang begitu kuat.
Menyajikan kemerdekaan berpikir.
Tidak ada grid, tapi tetap estetis.
Beberapa memang tidak memiliki ide besar-seperti istilah masa kini-
Tapi memiliki pemahaman
Tentang manusia dan kemanusiaan yang luar biasa.

Tidak ada aturan dalam penulisan copy,
Semua mengalir begitu saja.
Apa adanya. Bahkan terkesan lugu.
Begitu jujur. Jauh dari kesan sinis dan nyinyir.

Perbedaan warna kulit, ras
Dilihat sebagai sebuah kekayaaan.
Perhatikan perlawanan bentuk.
Pendobrakan warna.
Permainan harmonisasi.

Bukan, kita tidak harus bikin iklan seperti ini.
Tapi selalu ada yang bisa kita ambil.
Dan hanya dengan kepekaan,
Kita bisa mengambil kemerdekaan,
Kemanusiaaan, kejujuran, ketidak bakuan,
Semangat, pemikiran, warna, bentuk
Dan ribuan hal lain.
Untuk kita hayati, perkaya, perbaharui
dalam memperkaya iklan kita sekarang.

(IV)
Sudah seharusnya Iklan bergerak sesuai zamannya.
Mewakili sebuah pemikiran
Semangat dan pergerakan masa kini.
Bukan iklan yang berjalan di tempat.
Apalagi sekedar lucu-lucuan.
Atau asal seru, asal ada stopping power, asal meriah,
Bahkan tidak lagi bisa asal simpel.

Saya yakin, saat ini ada yang berkata dalam hati
“Ah ribet banget sih loe! Kayak Biakto aja!”

Tapi untuk saya, penggalian pemahaman seperti inilah
Yang bisa membuat kita tetap bertahan dan hidup di dunia iklan.
Tanpa ini semua, dunia iklan
Menjadi begitu kering.
Seperti tambang minyak yang tak lagi bisa dikeruk
Setelah semua minyaknya diambil.
Bahkan setitis minyak tersisa,
Bisa bikin kita saling bunuh-bunuhan.
Benar-benar sedih dan menyedihkan.

(V)
Bagian berikut ini mungkin bisa
Membuka pikiran kita.
Akan segala kemungkinan dan harapan yang ada
Di sekitar kita.

Beberapa bagian dari film-film berikut
Saya ambil karena menurut saya, memiliki naskah yang
Tak sekedar baik, tapi bisa membuka pikiran.
Membawa pembaharuan cara pikir, pola pikir.
Siapapun yang menulisnya,
Pasti memiliki kepekaan yang luar biasa.
Kepekaan pada sekitarnya dan
Kepekaan pada diri sendiri di atas segalanya.

Atau sebuah pertunjukan fashion buatan Indonesia asli
Yang bukan saja menjadi inspirasi saya selama bertahun-tahun,
Tapi juga tak pernah gagal untuk menghibur
Ketika saya kehilangan kepercayaan diri
Sebagai orang Indonesia.

Dari pertunjukan itu saya belajar, Indonesia adalah Negara tangan.
Buatan tangan, kerajinan tangan,
Karya tangan, prakarya…
Menginspirasikan Cecil, Yuli dan saya
Untuk mencoba bikin iklan yang semuanya dibikin tangan.

(VI)
“kenapa sih pengen jadi freelancer?”
“emang enak ya jadi freelancer?”
“caranya gimana?”
20 menit ke depan adalah apa yang saya saksikan,
tepat di malam sebelum saya mengajukan surat pengunduran diri.
Dan sampai sekarang,
Saya terus menemukan inspirasi-inspirasi baru.
Bukan hanya untuk membantu pekerjaan saya,
Tapi juga mengasah kepekaan saya.
Selamat menyaksikan…

(VII)
Sekarang, sebagian mimpi, harapan, keinginan, inspirasi,
Perasaan saya selama ini telah saya bagi.
Saya belum tau,
Akankah berguna untuk teman-teman semua…
Atau hanya sekedar memenuhi
Nafsu pribadi
supaya saya tidak lagi merasa kesepian.
Untuk itu semua,
Saya mau bilang
Terima kasih mau jadi teman saya.

Sampai ketemu lagi dan met dugem.
ati-ati di jalan!

Saturday, November 12, 2005

Bila Kelak Ku Besar Nanti...

Sinar merah temaram di belakang.
tampak bayangan-bayangan molek dan kekar.
Menari-nari seiring irama Bolero.
Gerakannya berulang-ulang.
Tapi jauh dari membosankan.
Jauh dari kesan berlebihan.

Lampu semakin terang.
Asap putih memenuhi panggung es itu.
Sekitar 30 an penari ice-skatter menari
memenuhi setiap ruang,
setiap jengkal panggung Holiday On Ice.

Tampak seperti api yang
membakar panggung es dingin itu.
Kontras yang ditampilkan,
melekat di pikiran gue.
Dan di sebelah kanan gue,
adalah nyokap, yang waktu itu belum
terlalu banyak kerutan seperti sekarang.

Itulah yang gue liat, rasakan dan alami.
sekitar 15 tahun yang lalu.
Dan kekaguman gue saat itu masih membekas.
Dan percaya atau enggak,
memperkaya hati, pikiran dan
perasaan gue sampe sekarang.

Untuk itu semua, besok...
Gue mau traktir nyokap nonton Holiday On Ice.
Kali ini gue yang beli tiketnya.
Kali ini gue yang nenteng tangannya.
Dan dia akan tetap duduk di sebelah kanan gue.
Semoga hanya ajal yang akan memisahkan kita.

Terima kasih mami...

Thursday, November 03, 2005

AD DIXIE

no invitation,
no host,
no alcohol,
no drugs,
no rsvp,
no band,
no loud music.

just
spirit, hope, love and care for advertising.

http://glennmarsalim.multiply.com/photos/album/9

Saturday, October 29, 2005

Buat yang ngerayain Lebaran...

Image hosted by Photobucket.com

FINALIS KPK-KOMPAS-CCI

Image hosted by Photobucket.com

Banyak yang sebel, bete, marah, kesel, kecewa sama CCI
karena keterlambatan pengumuman finalis.
Tapi ya... gimana... ada kejadian-kejadian di luar perhitungan
yang memaksa keterlambatan ini.

Sekarang, udah di umumin,
pasti banyak yang sebel, bete, marah, kesel kecewa sama CCI
karena kok finalisnya begitu amat sih!
Gak ngejawab brief, gak baru, kuno!
Tapi ya... gimana... dari semua yang masuk,
yang paling deket sama yang dicari memang inilah.

Selamat buat semua!

Thursday, October 27, 2005

This Shattering Moment...

Image hosted by Photobucket.com

Waiting with hope.
So much hope.
And anticipation.
To see and feel it grows.
And to nurture the future.

Tuesday, October 25, 2005

Aren't We All Miss Home?

You are right! Pepperidge Farm cookies are just sensational.
But what made me cry when my grand mother passed away?
The fear of missing her or missing the home made cookies?

Call Raffles, the best hotel noted by all magazine.
But I always wonder why my home crisp bed,
cleaned and neaten by Mbak Pargi every morning
elegantly put me into a deep sleep faster?

Tivoli, the seven wonder garden on earth.
But can any garden beat the beauty
of the leaves, flowers and soil touched by my mother's hand
every morning?

Again you are right!
Ogilvy, Lowe, Cabe Rawit, Advis,
McCann, Dentsu, Perwanal, Euro KL
are just the best agencies in this country that I had worked with.
But can any agencies beat the joy
of having a morning brainstorming with
Homemade cookies on a homemade bed in front
of a home-arranged garden?
With our own closest and caring friends?

Dear Friends,
have a safe trip 'pulang kampung'.
Send my regards to all of yours and home.
Let us value this place called home.
For a home will keep you warm and human.
For good.

Minal Aidin Walfaidzin.

Ramalan Warna Tahun 2006

Image hosted by Photobucket.com

Sunday, October 23, 2005

Kali ini, untuk Indonesia...

Image hosted by Photobucket.com

Akhirnya bikin PSA juga.
Setelah beberapa kali
menolak dengan alasan
udah banyak yang bikin.

Dibantu Bain, Ree, Cecil dan Yuli,
kita berniat bikin iklan yang
bisa sedikit menyemangati
kita semua sebagai orang Indonesia.

Di tengah himpitan ekonomi.
Setelah dihajar badai dan bom.
Ketika nilai rupiah gak ada artinya lagi.
Bagaimana kita bisa bertahan di era
yang disebut-sebut sebagai era globalisasi.

Seperti dua kerjaan kita sebelumnya,
kali ini pun masih menggunakan tangan-tangan
penuh berkah dari Cecil dan Yuli.

Kita merasa,
kalau mau ngomong Indonesia
harusnya kita menonjolkan
kekuatan tangan.
Indonesia terkenal karena kerajinan tangannya.
Bukan karena kecanggihan teknologi.
Kita punya banyak ilustrator, pelukis dan tukang gambar.
Beragam gaya tersedia. Dan bagus-bagus!

Our friends,
we know that this is not a simple job.
We know the world out there may not hear us.
But we believe,
someone greater than anything on earth,
will be with us.
For as long as you stand by our side.
Wish us luck!

Kali ini, untuk Indonesia...

Wednesday, October 19, 2005

Unhappy People of A Happy Industry

Selama bulan puasa ini,
gue dan beberapa teman sering sekali menghabiskan akhir pekan di Dixie.
Dixie adalah cafe yang ada di apartemen gue.
Letaknya yang di tepi kolam renang
dan buka sampai jam 5 pagi, bikin kita pengen berlama-lama
di sana. Sampai jam sahur kalau perlu.

Pembicaraanya gak lain dari soal advertising.
Sesekali ngomongin sex kalau udah bosen.
Nah pembicaraan kita itu akhirnya memunculkan sebuah
pertanyaan. "Kenapa ya orang iklan kebanyakan gak happy?"

"CD gue udah tua... iklannya jadi gak seru!"
"Duh kantor gue mah pabrik duit. Gak ada tuh award2an!"
"Sistemnya kantor gue emang berantakan!"
"Di sini mah cari ilmu aja. Duit gak ada!'
"Sebenernya enak... tapi gimana ya... kayak kurang apa gitu!"
Dan jutaan keluhan lainnya.

Jarang banget, hampir gak pernah ketemu orang iklan yang ngomong:
"Wah man... gue happy banget di sini. Semua yang gue mau ada!"
"Ini agency sempurna. Award dan bisnis berjalan seimbang."
"Gila... boss dan cd gue emang pengertian banget!"
Nah seperti loe liat sendiri. Gue cuma bisa nulis 3 yang baik-baik.
Sementara 5 di atas bisa ditambah lagi kalau mau.

Setelah waktu Dixie berakhir dan gue mencoba membagi-bagi teman iklan
gue ke dalam berbagai kategori.

1. Kategori Jebakan Batman

Ini adalah orang-orang iklan yang awalnya
mengira kalau kerja di advertising itu cool,
keren dan bisa bikin kaya.

Sampai akhirnya sadar bahwa itu semua
hanya ada di layar kacapas malam Citra Pariwara.
Karena kenyataannya... kita semua udah tau lah!

Nah sayangnya, mereka menyadari itu ketika sudah berkeluarga atau
jomblo berumur. Sehingga agak sulit untuk banting stir.
Alhasil... mesti ada yang lain yang disalahin.

2. Kategori Lampu Kelap Kelip

Ini adalah orang-orang iklan yang
sebenarnya bukan senang ngerjain iklan,
tapi seneng sama dugemnya orang iklan.

Kita akan lebih sering nemuin mereka
posting undangan party-party ketimbang hasil karyanya.
Nah kalau ditelaah... mereka sebenarnya tidak terlalu peduli
dengan portfolio.

Satu-satunya saat dimana mereka mikin betapa
jeleknya porto mereka, ketika Citra Pariwara.
"Anjrit... kapan ya gue naik panggung?"
Lampu kelap kelip emang melenakan orang.

3. Kategori Pengagum Dot Com

Ini adalah orang-orang iklan yang seneng
liat Archive atau buku awards lainnya.
Gak ada salahnya tentu, tapi berhenti di batas kagum.
Semakin lama semakin kagum
dan merasa semakin kecil karena
merasa gak bisa bikin iklan kayak gitu.
Tipe ini akan gampang frustasi.
Karena ketika harus mengerjakan kerjaan
iklan sehari-hari, bayangan iklan Archive terus menghantui.
Sialnya... jarang ada yang beneran
bisa bikin iklan sebagus iklan-iklan
yang mereka puja puji itu.
Dan... lebih suka buka archive ketimbang
duduk brainstorming cari ide bru dan segar.

4. Kategori Salah Parkir

Ini adalah orang-orang iklan yang sebenarnya
lebih seneng dan berbakat kerja di bidang lain.

Coywriter tapi lebih seneng ngeband.
Art Director tapi lebih seneng jadi desainer baju.
Nah... alasan mereka kerja di advertising apa, bisa beragam.
Dan sebenarnya, bisa aja kesenangan mereka itu
mendukung karir di advertising.

Tapi, lebih banyak merasa advertising jadi sampingan aja.
Fokusnya mereka hilang.

5. Kategori Sugar Daddy

Ini adalah orang-orang iklan
yang seneng bergaul dengan daddy-daddy dari dunia iklan.

Alasan mereka, supaya langkah mereka
di dunia advertising menjadi mulus.
Gampang dapet kerjaan baru, gampang dapet network,
gampang menang awards...
Sampai akhirnya mereka menyadari
bahwa daddy-daddy itu sebenarnya gak gitu-gitu amat.
Orang mereka sekarang lagi susah untuk
bisa bertahan di dunia iklan yang makin parah ini kok!
Mau memuluskan jalan orang lain pula?

6. Kategori Seniman

Ini adalah orang-orang iklan yang menganggap
advertising adalah dunia murni seni.
Atau memperlakukan advertising lebih sebagai karya seni.

Biasanya mereka sangat terampil untuk
bikin lagu, bikin drama, bikin lukisan, dan sebagainya.
Bisa sangat mendukung memang.
Sayangnya, banyak diantara mereka yang justru
menjadi seniman dalam attitude.
Dateng kantor jam 11, rambut gondrong, jeans robek,
dan merasa bahwa tak ada yang mengerti dunia mereka.

7. Kategori Hajar Bleh

Ini adalah orang-orang iklan yang berambisi besar.
Sangat ambisius. Pengen jadi CD. Pengen terkenal.
Pengen menang awards banyak.

Bagus banget memang. Dan memang banyak juga
yang sukses dari kategori ini.
Sayangnya. mereka jadi hajar bleh.
Semua cara dilakukan. Semua cara halal.
Sering jadi terbutakan oleh kemampuan diri.
Mereka sering lupa untuk memperbaiki kualitas dirinya sendiri.

8. Kategori Cina Kota

Ini adalah orang-orang iklan yang memandang iklan
sebagai tambang emas saja. Mereka mencintai duitnya.
Bukan iklannya.

Mungkin sebelum dunia iklan Indonesia sedang krisis,
mereka bisa bersenang-senang. Mendapatkan segalanya
dari dunia iklan. Tapi sekarang, pilihannya
hanya tinggal melepas dunia iklan terus bisnis yang lain.
Atau terpuruk frustasi.

Semua berdasarkan fakta dari orang-orang iklan nyata
yang pernah gue temui. Bukan rekaan belaka.
Bisa jadi alasan dan sebagainya tidak benar karena
keterbatasan gue dalam mengenali mereka.
tapi, secara yang terlihat, seperti inilah adanya.

Menurut gue bukan karena dunia iklannya
kalau orang iklan jadi gak happy.
Tapi karena memang... ah sudahlah!

Friday, October 14, 2005

- Tip And Dash -

Lirik lagu dari The Little Mermaid
yang sering bermain di kepala gue.
Dengan cara yang begitu sederhana,
lagu ini udah menyemangati gue selama bertahun-tahun.
Terus bermain. Dan bermain.
Bahkan ketika hendak presentasi ke klien raksasa,
lagu ini ada di kepala gue.
Dan gak tau kenapa... gue jadi PD

- Tip And Dash -

Braving the tides, swarming the sea
Beware barracudas, drop to your knee
Defending our friends and enemies
As big as a whale but with a much smaller tail

Facing the foe with our fearless wit
Daring the dastards to put up their dukes
Great gobs of gore, we'll storm the shore
And seek the unknown, then can we go home?

Titanic Tip and Daring Dash
Adventurers slash explorers
Titanic Tip and Daring Dash
Adventurers slash explorers

We'll save the day and make a splash
Titanic Tip and Daring Dash

We'll clobber those crabs with their clammy claws
We'll sever those sharks with their savage jaws
The battle is fierce and mercifully brief
Because they're heroes they return as kings of the reef

Dine with the best, dressed with a flair
Climbed every mountain because it's there
Come on, follow me, we'll make history
To courage, to us, I'll try it, you're bust!

Titanic Tip and Daring Dash
Adventurers slash explorers
Titanic Tip and Daring Dash
Adventurers slash explorers

We'll save the day and make a splash
Melody, Tip, and Daring Dash
All for three and three for one
Atlantica, here we come!

Sunday, October 09, 2005

I Take It Personally...

I have been told a zillion times not to take things personally.
"It's pure professional. Nothing personal"
"Don't take it personal lah..."
"You are being too personal lah! Come on! Be a pro!"

Oh well, I am now tired of hearing those preaches.
Let me tell you my point of view. Personally.

Personally speaking,
my decision to join advertising agency, was very much personal.
Because I like it. For no reason.
Not because I think I can get rich.
Not because I think I can have a better life.
Simply, because I personally, like it!

Personally speaking,
my discipline habit that close to army, is very much personal.
Because I want to do it for myself.
Not because of you.
Not because of the company.
Simply, I personally believe that by living my life with strict discipline,
I will enjoy life more.

Personally speaking,
those clients who have given me so much faith in running their advertising campaign,
is because of their personal judgment.
Not because the number of awards I have.
Not because I do better ads.
Simply, because they believe me. They have faith in me.
And in return, I do my best.

Personally speaking,
my decision to move from one agency to another agency and lastly becoming a freelancer,
is because of my personal believes.
I do not believe that it's worth giving your life to advertising.
I do not believe that we have to constantly humiliate and downgrading our intellectuality
just because we want money from clients.
I do not believe that we have to shut our mouth even if we think something it's not right.
Will I do all those in the name of being professional? Will you?
I would rather take it personally.

And the list will go on and on and will end to one sentence,
I was born for a personal reason.
I live my life for a personal ambition.
And I think, I had prove to myself, at least to my mom,
that I manage to survive living my life personally.
Not to mention being distinctive,
in this world so called a professional world.

Saturday, October 08, 2005

Kreativitas, Ada Karena untuk Orang Lain - dimuat di majalah Concept Oct. 05

Ketika dihubungi Concept untuk menulis tentang
kreativitas, saya teringat pada seorang sahabat
tersayang, Mak O’bin. Dia pernah berkata “walau kita
melihat hal yang sama, apa yang kita rasakan dan
pahami tak selamanya sama”.

Semakin hari semakin terasa kebenaran perkataannya
itu. Pergerakan manusia seiring zaman menggiring kita
menjadi manusia yang memiliki pandangan, pemikiran,
dan tentunya, perasaan yang berbeda.

Perbedaan itulah yang menyebabkan kita memiliki
kebutuhan yang berbeda-beda pula. Dan menurut saya,
kreativitas adalah jawaban akan setiap kebutuhan yang
berbeda itu. Kebutuhan yang pastinya untuk menjadikan hidup
dan kualitas hidup, lebih baik.

Pemilik Warteg, membutuhkan sesuatu untuk mengusir
lalat dari makanannya. Air dimasukkan ke dalam plastik
bening kemudian digantung persis di atas makanannya.
Jeng-jeng! Lalat pun tak lagi mendekat.

Kemudian menjadi inspirasi bagi jutaan pemilik
warteg lain mengikuti temuan itu. Dan ketika pengusaha
plastik menciptakan plastik khusus sehingga air mudah
diganti dan bisa dipakai ulang. Memudahkan hidup tak
hanya jutaan pemilik Warteg tapi juga pengusaha
plastik lainnya. Pelanggan Warteg pun kini bisa makan di
Warteg bebas dari serangan lalat. Pakai tangan sambil
angkat kaki ke kursi. Pasti jadi lebih nikmat!

Nah sekarang, mari kita bawa kantung plastik berisi
air tadi ke McDonalds. Apa jadinya? Pasti masuk ke
sampah! Karena tidak ada lalat di sana. Karena tidak
ada kebutuhan untuk mengusir lalat di sana.

Kemudian, apakah kita tidak lagi menyebutnya sebagai salah
satu bentuk kreativitas? Serapuh itukah makna sebuah
kreativitas?

Sekarang coba lihat sekeliling kita. Pensil, kunci
mobil, kancing baju, rokok, ponsel, cangkir dan
banyak lagi. Barang-barang yang kita butuhkan setiap hari.
Banyak yang kita tidak tahu siapa yang menciptakannya untuk
pertama kali. Siapapun dia, pasti kreatif.
Dengan kreativitasnya yang bisa memenuhi kebutuhan orang banyak.
Lintas ruang dan waktu. Luar biasa!

Saya pikir, sepantasnya kita bersyukur. Karena kita
masih hidup dan dikelilingi oleh segala bentuk
kreativitas yang telah dan akan terus menjadikan hidup kita
lebih baik.

Namanya takdir, walau telah meninggalkan advertising agency
dan memutuskan untuk menjadi tenaga lepasan,
saya tetap mencoba bikin iklan. Kali ini Iklan majalah Clue.

Image hosted by Photobucket.com

Diambil dari namanya yang berarti petunjuk,
kreativitas dalam iklan ini didasari pada
pertanyaan-pertanyaan dilematis sehari-hari.
Pertanyaan yang bukan membutuhkan
jawaban, tapi sekedar petunjuk.

“Mending pinter tapi jelek, atau bodoh tapi
cantik?” Atau “enakan jadi cowok atau cewek ya?”
Dan pertanyaan-pertanyaan ringan lainnya
yang sering kita tanyakan pada diri sendiri.
Dan kita tahu tidak ada jawaban yang benar atau salah.

Harapannya, selain pembaca tertarik pada majalahnya,
juga untuk menjawab kebutuhan akan iklan yang
menghibur. Yang bisa mengundang senyum. Sekecil
apapun. Di tengah keruwetan hidup kita dan berbagai
tekanannya, ada baiknya kalau sesekali iklan bisa
menjadi semacam hiburan. Tanpa ingin menggurui apalagi
memaksa untuk membeli.

Dibalik iklan Clue ini ada Alex Abimanyu, klien yang mengerti
impian anak kreatif. Ada Budiman Hakim dan Jeanny Hardono
yang setia mendampingi dan menasehati di titik nol sekalipun.
Cecil, Yuli dan Yunike, anak-anak Universitas Tarumanegara
yang menggambar dengan dan dari hati mereka.
Rangga dan Ruri, menemani malam-malam untuk mencari ide.
Adit Narada, rela dihutangi untuk bikin col sep dan sampai sekarang belum dibayar.
Vianne dan Bunda yang jadi ATM berjalan.
Gila! Untuk iklan sederhana ini, begitu banyak yang terlibat.
Begitu banyak orang kreatif yang membantu.
Mana mungkin saya melupakan semuanya itu. Terima kasih.

Selebihnya, saya serahkan kepada pembaca. Apakah iklan
ini salah satu kreativitas yang menjawab kebutuhan
pasarnya? Kalau belum, mungkin iklan ini belum
kreatif. Jawabannya pasti beragam. Tapi seperti kata
Mak O’bin “walau kita melihat hal yang sama, apa yang
kita rasakan dan pahami tak selamanya sama”.

Sunday, October 02, 2005

Update - Cotonnier

If you wish to review the updated works of Cotonnier
please visit:

http://glennmarsalim.multiply.com/photos/album/4

Hope you will enjoy as much as we did it!

Saturday, October 01, 2005

Mencari yang Baru

Citra Pariwara 2005,
seperti sebelum-sebelumnya selalu mengundang kontroversi.
Kali ini, banyaknya iklan-iklan finalis, pemenang
bahkan best of the best, mirip dengan iklan-iklan yang pernah tayang.
Forest WWF, mirip dengan Masyarakat Transparansi Indonesia tahun 99.
Swanten, mirip dengan iklan Yellow Box, pemenang Adfest.
Terus... satu lagi, iklan pembersih kaca, mirip iklan Ajax dari DYR Dubai.

Mas Gandhi kita, dengan keanggunan raja-raja Jawa,
mengungkapkan kekesalannya akan banyaknya iklan scam yang menang.
Menurutnya, iklan-iklan scam itu merusak Citra Pariwara sendiri
karena jadi tidak berdampak pada bisnis nyata.
Juri asing, Linda Locke, yang semula menjadi tumpuan harapan
kualitas CP tahun ini, ternyata mengecewakan.

Selain itu ada Oom BH yang menilai bahwa penjurian kali ini aneh.
Adanya juri asing di tengah juri-juri junior
menjadikan penilaian menjadi aneh dan tidak berimbang.
Banyak iklan yang menurutnya tidak pantas untuk menang.
Bahkan menjadi finalis sekalipun.
Alhasil di malam CP, Oom satu ini lebih suka jualan buku barunya.

Gue sendiri di malam CP itu lebih memilih untuk diam.
Bahkan ketika seorang teman wartawan mendatangi
untuk menanyakan pendapat gue tentang hasil CP,
gue cuma bilang "Ono noh... tanya yang ono aja noh!"
Sambil menunjuk ke arah Mbak Jeanny
yang lagi duduk di tengah ratusan umat iklan malam itu.
"Gue mah pengangguran. Gak menjual kalau masuk majalah loe!" Gue menyambung.
Wartawan itu pun pergi.

Mengapa gue memilih untuk diam?
1. Semenjak gue memutuskan untuk jadi freelancer,
CP otomatis jadi gak ada pengaruhnya untuk gue.
Apalagi sejak dibuangnya kategori individual 3 tahun lalu.

2. Bukankah kegembiraan menang CP hari begini hanya bertahan
selama semalam? Besokannya, ya... balik normal lagi.
Gak ada yang peduli dan gak ngaruh apa-apa.

3. Melihat finalis dan peserta kali ini,
gue merasa kreatifitas iklan Indonesia sekarang
lagi kehabisan darah.
Seperti orang yang sudah berlari jauh
dan hampir kehabisan nafas.
Tidak ada yang baru. Tidak ada yang segar.
Semua iklan mengingatkan kita pada iklan lain.
Semua iklan tampak memiliki pola gambar-besar-logo-kanan-kecil-di-bawah

Kalau gitu loe lagi putus asa Glenn?
Enggak! Enggak banget!
Justru gue lagi semangat-semangatnya.
Menjadi seorang freelancer memberikan ruang yang luas
daripada karyawan. Baik secara filosofis maupun lateral.

Sistem periklanan memiliki kelebihan dan kekurangan.
Sistem mengajarkan kita akan cara berpikir
kreatif dengan lebih terstruktur
sehingga bisa menjawab brief dengan lebih baik.
Kekurangannya... kita menjadi kesulitan
ketika harus menghadirkan pemikiran kreatif yang baru.
Bagaimana mungkin menghadirkan sesuatu yang baru
kalau apa yang masuk ke dalam otak kita isinya itu lagi itu lagi?
Partisi kantor, tembok berposter, pintu lift dengan musik di dalamnya,
tangga, macintosh, PC bajakan, reels...

Menjadi seorang freelancer juga banyak kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya, kita bisa berpikir, bertindak dan mengambil
keputusan dengan bebas. Tanpa kekangan siapapun.
Tapi, itu juga bisa jadi kekurangan.
Kurangnya tekanan dan kekangan bisa bikin kita jadi kreatif
yang pemalas. Dibutuhkan disiplin tingkat militer
untuk bisa jadi freelancer jempolan.
Atur waktu sendiri. Atur uang sendiri.
Dan, atur niat sendiri, atur semangat sendiri.

Di tengah tingginya angka PHK di dunia iklan sekarang,
pilihan menjadi freelancer jelas menjadi pilihan yang lebih visibel.
Daya tampung di perusahaan sedang menciut drastis.
Gue seneng kalau banyak freelancer.
Persaingan jadi lebih sengit dan buat gue
itu lebih menyenangkan. Jalan sepi yang gue baru pilih 6 bulan lalu,
sebentar lagi akan lebih ramai.

Apa yang bisa kita harapkan dari kenyataan ini?
Kalau CP ada kategori individual, maka freelancer akan boleh ikut.
Dan kalau freelancer boleh ikut,
bisa jadi, usaha CP untuk mencari yang baru,
bisa terwujud.

Gue sempat bilang pada seorang teman:
"gue jadi makin seneng jadi freelancer."
Teman itu kemudian menjawab:
"ah loe lagi membohongi diri sendiri!"
Gue diam aja.

Salam Pariwara.

Thursday, September 29, 2005

Buat teman-teman di McCann...

Tiga hari belakangan ini,
pasti jadi begitu berat buat loe semua.
Kehilangan teman kerja dan pekerjaan
pasti bikin loe sedih, kecewa, sakit hati dan marah.
Secanggih-canggihnya copywriter menulis,
gak akan ada yang mampu
menghibur loe semua.

Tapi percaya deh,
loe gak sendirian kok.
Walau gak sepenuhnya,
gue bisa ngerasain apa yang loe rasain.
Terlebih, gue bekas anak McCann
dan masih banyak kenalan gue di sana.

Di malam Citra Pariwara 2005,
gue adalah salah satu orang yang
bangga, bersyukur dan gembira banget
McCann bisa menang Adiprima.
Gue berdiri, tepuk tangan dan
teriak-teriak buat loe semua yang di panggung.
Perjalanan panjang McCann memang sudah waktunya untuk
dihargai juga.

Buat teman-teman McCann,
gue berdoa semoga kita semua tetap tabah dan
gak kehilangan semangat untuk terus berkarya.
Buat kita sendiri dan untuk orang lain.
Buat teman setia kita, Kreatif,
janganlah pernah meninggalkan kami.

Pengalaman kita mengajarkan,
bahwa bukan agency-nya yang penting,
tapi individunya.
Karenanya sudah bukan zamannya lagi
setia pada perusahaan. Hare gene!
Tapi tetaplah setia pada profesi.
Setia pada dunia yang telah mematangkan kita.

Selamat menunaikan ibadah puasa.
Mohon maaf lahir batin.

Teriring doa.

Sunday, September 25, 2005

unINFOrmativeTAINMENT - Stolen from Hera's Blog

Tuesday, September 06, 2005

Local gossip shows, can't stand 'em, can't live without 'em. Yes, they're all absurd, they follow the same pattern, they're pat and predictable, and the hosts' comments are inane and often sexist. Yet, I keep watching them as they serve some sort of escapism:) I would get sick of them, but I keep coming back.

Last week, though, a gossip caught my attention. It was about this rising rock star, a 24 year-old who happens to be a womanizer, who knocked up another woman. This time, she's already married. I was, like, cool! Finally, an exciting and undisguised gossip! Now, this is rock n roll!

The narrations from all the gossip shows' hosts, however, ruined it for me. They babbled about morality, how the parents of the singer and the knocked up girl should've taught their children better, and how the so-called Indonesian/Eastern values have shifted. A particular gossip show even has the nerve to have a tag line "No sex before marriage." Oh, fuck off.

Now, the following is an excerpt of my article a while ago, about the absurdity of the local gossip shows, or also known as infotainment, and how to make it better. I want to insert the excerpt here because I'm such a narcissistic bitch who takes cue from other bloggers that self-advertisement won't hurt (but it's certainly nauseating:)).

Here it is:

...So, I got to thinking -- how to upgrade the (local gossip) shows to a higher level of babble:

Straight Talk: Stop asking single or obviously gay celebrities ("he's 55 and still looking for love, living quietly with his poodle Fifi ...") when they will get married. And quit nagging married couples when they will have kids. Also, spreading unfounded divorce or breakup rumors only serves to show your tackiness.

Dish the Dirt: It's a gossip show, so none of this half-baked stuff, please. We want all the dirty laundry -- stained, torn and faded -- washed in public! We want to know who has used the casting couch to climb to stardom, who has been nipped and tucked and whether it's true that Krisdayanti's monthly makeup expenditure is equivalent to the annual budget of a small Central Java regency.

Needle Points: Offer a few well-placed verbal jabs at celebrities who are famous for being famous, holier than thou, experts at self-aggrandizement, etc. Basically, mock them all! For instance, in the case of actress/singer Dewi Yull divorcing actor Ray Sahetapy, everyone knows that the other woman is older, and richer. Instead of pitting the two women against each other, somebody should ask Ray when was the last time he actually worked for a living.

Plumb the Depths: Go to reliable and relevant sources; interviewing the religious tutor of Ray's mistress' children will sure make her famous in her neighborhood, but it gets you nowhere in finding out the truth of the matter.
Different Strokes. As a start in being more creative, get pointers from E! Entertainment. Take a look at the worst celebrity makeover, the best kept secret, the fat salaries and high cost of maintenance, the competition among local divas, etc, all done with a healthy dose of sarcasm.

Discretionary Power: Get the story, yes, but it's still crucial to remain ethical when reporting on issues like rape, drug addiction and HIV/AIDS. The coverage of the rape case involving teen heartthrob Faisal, for instance, was biased, star-struck and blatantly sexist.

I know that the critics and moralists want to banish the shows from the airwaves. I say no; there is an audience for them. And it has to be said that they reflect who we are as people: Nosy, fickle, uncreative, judgmental and apolitical. We get the leaders we deserve, and the same goes for our TV shows.

Saturday, September 24, 2005

ADOI AWARD!

Teman-teman freelancer,
individual, mahasiswa, umum,
non-agency pals...

ADOI AWARD TERBUKA UNTUK INDIVIDUAL!!!

sekali lagi...

ADOI AWARD TERBUKA UNTUK INDIVIDUAL!!!

Yuk kita ikutan!
Katakan pada dunia,
kalau semua orang bisa bikin iklan.

Katakan,
tak perlu kerja di advertising agency
untuk bikin iklan.
Tak perlu kerja di award winning agency
untuk menang award.

Di tengah kesedihan berita pemecatan
puluhan karyawan periklanan.
Tampaknya sudah tidak ada lagi alasan bagi kita
untuk menggantungkan diri sepenuhnya pada perusahaan.

Saatnya kita memiliki kaki tiga
sehingga bisa berdiri di atas situasi terburuk sekalipun.
Saatnya bagi kita untuk bisa menolong diri sendiri.

Mulailah dari diri sendiri.
Walau sendiri bahkan tersendiri sekalipun.
Bukan untuk menjadi egois.
Tapi untuk menjadi aspirasi.
Bagi diri kita sendiri, bahwa kita bisa.
Dan untuk adik-adik mahasiswa
yang terlemparkan karena ketatnya penerimaan karyawan baru.
Untuk teman-teman praktisi
yang selama ini terkecilkan karena tidak pernah menang awards.
Untuk para praktisi senior periklanan
yang selama ini mengecilkan arti seorang sebelum jadi seseorang.

Menang atau kalah nantinya,
kita sudah jadi pemenangnya.
Karena adalah semangat untuk mulai berbuat dan
semangat untuk berkarya di tengah ketiadaan,
adalah bagian dari seorang pemenang sejati.

Teman-temanku semua,
mari kita kembali ke meja kerja kita masing-masing.
Mulailah kita berkarya.
Berikan hanya yang terbaik dari yang kita punya.
Dan setelahnya,
beranikan diri untuk ikut bertanding.

Dan ketika kemenangan itu datang
bagilah dengan orang-orang yang selama ini mengecilkan kita.
Dan ketika kekalahan kita terima,
belajarlah dan berkaryalah lebih keras lagi.

Salam ADOI!

Sunday, September 18, 2005

Somerset

Pagi itu pukul 03.00 wib.
Mbak Jeanny udah pulas di ranjangnya.
Gue baru aja mengangkat selimut sampai ke dada.
Dan kepala terbenam bantal.
Acara Citra Pariwara baru saja usai.

Mbak Jeha, yang udah menang ratusan piala,
tertidur pulas di ranjang yang sama seperti punya gue.
Oom Bud yang juga udah pernah menang ratusan piala,
seharusnya tertidur pulas juga di ranjang yang sama.

Tim McCann yang baru aja menang Best Of The Best, lagi ngedugem.
Tapi gue yakin mereka akan pulang sebentar lagi dan tidur di ranjang yang sama.

Tim Leo Burnett dan JWT yang memborong banyak piala,
bisa dipastikan malam ini tidur di ranjang yang sama.

Perbedaannya cuma ada di lantai hotel yang bernama Somerset.
Tempat kita semua menginap.

Pada akhirnya,
semua terbenam di bantal putih katun yang garing itu.
Semua diselimuti selimut tebal.
Semua mengorok dan bermimpi
di ranjang dan hotel yang sama.

Tidak ada Gold, Silver atau Bronze.
Tidak ada juri atau peserta.
Tidak ada new comer atau Hall of Fame.

Selamat tidur dan bermimpi.
Sampai ketemu di Citra Pariwara 2006.
(katanya di Bandung)

Sunday, September 11, 2005

My Second Quote - Revised by Diki Satya

"It doesn't matter if you have a small idea.
Making people have ideas will make you big."

Thursday, September 08, 2005

A Journey of a Headline - Glenn, Baby and Hera

First Day:
where differences is hand-stiched in harmony
where enemies is hand-stiched in peace
hand stitch keeps things in place
homemade quilt blanket keeps away cold feet or warms your cold feet
our hand-stitched quilt blanket warms your cold feet
all differences hand-stitched in harmony
all enemies hand-stiched in peace

Second Day:
let our hand-stitch quilt blanket tucks you in
western problems, asian hand stiched solution (HAHAHAHAHA!)
it's never too warm (bisa diganti dengan too hot, too spicy, too ugly, too whatever) inside our hand-stitched ...
hand-stitching your mouth
the only time all differences hand stiched in harmony
the only place all differences hand stiched in harmony
the only place where all differences hand stiched in harmony
a common ground where all differences hand-stitched in harmony
a common ground itu artinya apa?

Third Day:
Hand-stitched peace in a quilt
Hand-stitched harmony in a quilt
Hand-stitched tranquility in a quilt
Hand-stitched serenity in a quilt
Hand-stitched silence in a quilt
peace serves in hand-stitched quilt
great possibiity with a hand sticthe quil
stitching possibilities on handmade quilt

Fourth Day:
make quilt not war hihihi
peace by a hand stictched quilt?
peace on a handstitched quilt
hand sticehed quilt make peace
stitching peace
stiching peace quilt
peace stitching quilt

Fifth Day:
Dream for peace comes true in a hand-stiched quilt.
Dream for peace on a hand-stiched quilt
we make it happens
where peace starts
we make quilts, not war
with our own hands .. somtin like that
peace in our hands
hand-stitching is never a peaceful work
hand-stiched quilf for your dream of peace

Wish us luck!

Tuesday, September 06, 2005

My Second Quote

"It doesn't matter if your ad have a small idea.
Making people have ideas will make your ad big."

Friday, September 02, 2005

With Hope for The Better

Friends,

Here is the logo of our new print project.

Image hosted by Photobucket.com

Will again in continuing our journey
to give more alternative for local advertising scene.

Still the same old fellas will help me through.
Yuliana and Cecil the purest heart illustrator and Daniel the i-think-it-will-be-better-if digital imaging.
Plus, Baby... our creative soul expresses her thoughts in english.
And as usual, we are working under such a tight doe!
Freelancer! Freelancer! Anyone?

Please say a little prayer for us.
For no reason, this time around i am so nervous.

Thursday, September 01, 2005

Storylife

Di ruangan kecil berbau tanah.
Matahari tembus melalui genteng transparan.
Sinarnya jatuh tepat di kepala
seorang ibu dan anaknya.

Mereka berdua sedang duduk bersama.
Di depan mereka ada meja.
Posisinya persis selayaknya
seorang guru sedang mengajarkan muridnya bermain piano.

Terdengar suara ibu menyanyi solmisasi.
Do mi sol, sol la mi sol fa, fa mi re re do re mi...
Sesekali terdengar suara kayu diketuk jari.
Seolah jari sedang bermain piano.

Bukan piano biasa,
tapi meja kayu yang digambari tuts piano.
Ibu itu menyanyi seiring tuts yang diketuk
oleh jari kecil anaknya.

Ibu itu sekarang sedang menikmati hidupnya
dan anak itu sudah dewasa.
Tapi gambaran itu melekat di kepalanya.
Dan di dalam sini.

(BH: Goblok deh! Nanti kalau ceritanya dicuri orang gimana?
GM: What is a story without the soul, oom?)

My First Quote

"If advertising is all about people,
then we shall race to be a better people.
For better people make better ads,
and Insya Allah, awards will follow."

Tuesday, August 30, 2005

Voces Inocentes

Image hosted by Photobucket.com

Judul itu berarti Innocent Voices. Film yang menceritakan tentang anak kecil
laki-laki di El Salvador sekitar pertengahan tahun 80an. Di usia 8-12 tahun
mereka dipaksa untuk memilih bergabung dengan tentara atau gerilyawan.

Chava nama salah satunya. Wajahnya mengingatkan kita pada Maradonna kecil.
Di tengah kekumuhan dan kemiskinan luar biasa
Chava hidup bersama seorang adik kecil dan seorang kakak perempuan.
Ibu mereka bekerja sebagai tukang jahit.

Tinggal bersama di rumah gubuk beratap seng.
Basah saat hujan dan hanya sinar matahari adalah lampu satu-satunya.
Desingan peluru dan meriam, datang bagai tamu tak undang.
Muram, kelam dan bau!

Chava hidup dalam ancaman jika suatu hari dirampas untuk dipaksa jadi tentara.
Sekolah dan gereja bukanlah lagi tempat yang aman untuk bersembunyi.
Jadilah mereka bersembunyi di atas genteng rumah mereka.
Berpuluh anak laki-laki terbaring terlentang di atas genteng seng.
Tiba-tiba kepedihan itu menjadi pemandangan yang puitis.

Di akhir cerita memang Chava lolos. Ia lari ke USA dan kembali bergabung bersama
keluarganya 8 tahun kemudian.

Film ini adalah film terbaik yang pernah gue tonton sejak Children of Heaven.
Mungkin loe akan berpikir kalau gue suka film-film itu karena menceritakan
tentang kemiskinan dan anak kecil. Gue gak akan menyangkal itu. Entah kenapa
kemiskinan membuat gue merasa kaya dan anak kecil mengingatkan gue
pada semangat untuk tetap hidup.

Kemiskinan itu menjadikan yang kaya tampak semakin kaya. Dan pengalaman masa
lalu gue yang miskin (bukan berarti sekarang udah kaya) mengajarkan banyak
keindahan hidup. Bahwa hidup adalah perjuangan. Perjuangan untuk meraih
keinginan, impian dan harapan. Dan dalam perjuangan itulah akan kita temukan
arti hidup sebenarnya.

Inget film-film Walt Disney? Kenapa hati kita tertawa dan menangis? Padahal tidak ada
yang nyata di film-film itu. Bener-bener kekanakan.
Gue pikir karena memang di dalam diri kita ada anak
kecil yang menanti untuk ditemukan. Ada anak kecil yang ingin dimanja, ditepuk-tepuk
pantatnya sebelum bobo, ingin dimengerti, ingin dipahami...

Dan ketika keduanya bergabung dalam satu film, bisa dipastikan,
kita seperti berkaca untuk kemudian melihat kelebihan sebelum
menyesali kekurangan. Mengingatkan kita untuk tidak putus asa
karena masih banyak yang lebih lemah dan berkekurangan dibanding kita.

Apalagi yang bisa kita harapkan dari pulang noton
dengan mata sembab tapi hati ringan?
Masih salah gue menjadi seorang melankolis?
Ah... nonton aja sendiri!

Buat Orang Iklan

Tolong jangan sebut gue
orang iklan, insan periklanan
apalagi praktisi periklanan.

Malu-maluin aja!

Untuk saat ini sebutan itu
bikin gue kayak bukan manusia.
Kayak orang planet.

Gue gak perlu dipuja-puji,
gak perlu disanjung-sanjung.
Apalagi maksa jadi temen.

Gak ada gunanya!

Cuma yang tulus yang gue mau tau.
Yang jujur dan mau kerja keras,
yang gue mau kenal dan temenan.

Turunin kepala loe
kalau mau ngomong sama gue.
Gak usah ngedongak gitu.

Kayak si pongah aja!

Kalau mau belajar,
baiklah kita berdiri sama tinggi
duduk sama rendah.

Loe gak akan gue hormatin
hanya karena loe lebih tua,
lebih kaya, apalagi lebih dewa.

Orang sama-sama makan nasi!

Kalau mau maju,
kita maju sama-sama.
Maju sendiri itu cuma mimpi.

Loe kira hanya karena piala loe
lebih banyak dari gue,
terus gue bakal nurut?

Orang kebetulan aja kok gede kepala!

Iya... kebetulan...
tahun ini menang
tahun depan gak jelas!

Tolong jangan sebut gue
orang iklan, insan periklanan
apalagi praktisi periklanan.

Sunday, August 28, 2005

Masih Pengen Jadi Anak Kreatif?

Jadi anak kreatif itu,
harus selalu siap untuk dinilai.

Pertama oleh keluarga.
Dinilai apakah kerjaan kamu bisa menghidupi dirimu sendiri.

Kedua oleh sesama AD, CW dan CD
Dinilai apakah ide kamu benar dan pintar.

Ketiga oleh Account Service.
Dinilai apakah karya kamu sesuai strategi.

Keempat oleh klien.
Dinilai apakah iklan kamu bisa berfungsi sesuai keinginan mereka.

Kelima oleh masyarakat.
Dinilai apakah iklan kamu menyenangkan atau menyebalkan.

Keenam oleh sesama orang iklan.
Dinilai apakah karya kamu kreatif atau tidak.

Ketujuh oleh juri local awards.
Dinilai apakah karya kamu sesuai standar emas, perak, perunggu, finalis atau tidak sama sekali.

Kedelapan oleh juri international awards.
Dinilai apakah karya kamu terbaik di dunia atau tidak.

Kesembilan oleh generasi lebih muda.
Dinilai apakah kamu pantas disebut sebagai insan periklanan yang baik.

Kesepuluh oleh diri kita sendiri.
Dinilai apakah kita pantas menyebut diri sendiri orang kreatif.

PLUS SATU, oleh Tuhan.
Dinilai apakah yang kita lakukan berguna untuk orang lain.

Masih pengen jadi anak kreatif?

Image hosted by Photobucket.com

Thursday, August 25, 2005

DOSA

Kenapa harus berlari
kalau pijakan
berputar seiring bumi?

Kenapa harus berjalan
kalau ujung jalan
adalah garis horisontal maya?

Kenapa harus merangkak
kalau akhirnya
akan tidur juga selamanya?

Kenapa harus dilahirkan
kalau di hari kiamat
ditelan bumi?

Kenapa harus bernapas
kalau akhirnya
jantung akan berhenti?

Sunday, August 21, 2005

Stay Hungry, Stay Foolish - Steve Jobs

'You've got to find what you love,' Jobs says


This is the text of the Commencement address by Steve Jobs, CEO of Apple Computer and of Pixar Animation Studios, delivered on June 12, 2005.


I am honored to be with you today at your commencement from one of the finest universities in the world. I never graduated from college. Truth be told, this is the closest I've ever gotten to a college graduation. Today I want to tell you three stories from my life. That's it. No big deal. Just three stories.

The first story is about connecting the dots.

I dropped out of Reed College after the first 6 months, but then stayed around as a drop-in for another 18 months or so before I really quit. So why did I drop out?

It started before I was born. My biological mother was a young, unwed college graduate student, and she decided to put me up for adoption. She felt very strongly that I should be adopted by college graduates, so everything was all set for me to be adopted at birth by a lawyer and his wife. Except that when I popped out they decided at the last minute that they really wanted a girl. So my parents, who were on a waiting list, got a call in the middle of the night asking: "We have an unexpected baby boy; do you want him?" They said: "Of course." My biological mother later found out that my mother had never graduated from college and that my father had never graduated from high school. She refused to sign the final adoption papers. She only relented a few months later when my parents promised that I would someday go to college.

And 17 years later I did go to college. But I naively chose a college that was almost as expensive as Stanford, and all of my working-class parents' savings were being spent on my college tuition. After six months, I couldn't see the value in it. I had no idea what I wanted to do with my life and no idea how college was going to help me figure it out. And here I was spending all of the money my parents had saved their entire life. So I decided to drop out and trust that it would all work out OK. It was pretty scary at the time, but looking back it was one of the best decisions I ever made. The minute I dropped out I could stop taking the required classes that didn't interest me, and begin dropping in on the ones that looked interesting.

It wasn't all romantic. I didn't have a dorm room, so I slept on the floor in friends' rooms, I returned coke bottles for the 5¢ deposits to buy food with, and I would walk the 7 miles across town every Sunday night to get one good meal a week at the Hare Krishna temple. I loved it. And much of what I stumbled into by following my curiosity and intuition turned out to be priceless later on. Let me give you one example:

Reed College at that time offered perhaps the best calligraphy instruction in the country. Throughout the campus every poster, every label on every drawer, was beautifully hand calligraphed. Because I had dropped out and didn't have to take the normal classes, I decided to take a calligraphy class to learn how to do this. I learned about serif and san serif typefaces, about varying the amount of space between different letter combinations, about what makes great typography great. It was beautiful, historical, artistically subtle in a way that science can't capture, and I found it fascinating.

None of this had even a hope of any practical application in my life. But ten years later, when we were designing the first Macintosh computer, it all came back to me. And we designed it all into the Mac. It was the first computer with beautiful typography. If I had never dropped in on that single course in college, the Mac would have never had multiple typefaces or proportionally spaced fonts. And since Windows just copied the Mac, its likely that no personal computer would have them. If I had never dropped out, I would have never dropped in on this calligraphy class, and personal computers might not have the wonderful typography that they do. Of course it was impossible to connect the dots looking forward when I was in college. But it was very, very clear looking backwards ten years later.

Again, you can't connect the dots looking forward; you can only connect them looking backwards. So you have to trust that the dots will somehow connect in your future. You have to trust in something — your gut, destiny, life, karma, whatever. This approach has never let me down, and it has made all the difference in my life.

My second story is about love and loss.

I was lucky — I found what I loved to do early in life. Woz and I started Apple in my parents garage when I was 20. We worked hard, and in 10 years Apple had grown from just the two of us in a garage into a $2 billion company with over 4000 employees. We had just released our finest creation — the Macintosh — a year earlier, and I had just turned 30. And then I got fired. How can you get fired from a company you started? Well, as Apple grew we hired someone who I thought was very talented to run the company with me, and for the first year or so things went well. But then our visions of the future began to diverge and eventually we had a falling out. When we did, our Board of Directors sided with him. So at 30 I was out. And very publicly out. What had been the focus of my entire adult life was gone, and it was devastating.

I really didn't know what to do for a few months. I felt that I had let the previous generation of entrepreneurs down - that I had dropped the baton as it was being passed to me. I met with David Packard and Bob Noyce and tried to apologize for screwing up so badly. I was a very public failure, and I even thought about running away from the valley. But something slowly began to dawn on me — I still loved what I did. The turn of events at Apple had not changed that one bit. I had been rejected, but I was still in love. And so I decided to start over.

I didn't see it then, but it turned out that getting fired from Apple was the best thing that could have ever happened to me. The heaviness of being successful was replaced by the lightness of being a beginner again, less sure about everything. It freed me to enter one of the most creative periods of my life.

During the next five years, I started a company named NeXT, another company named Pixar, and fell in love with an amazing woman who would become my wife. Pixar went on to create the worlds first computer animated feature film, Toy Story, and is now the most successful animation studio in the world. In a remarkable turn of events, Apple bought NeXT, I retuned to Apple, and the technology we developed at NeXT is at the heart of Apple's current renaissance. And Laurene and I have a wonderful family together.

I'm pretty sure none of this would have happened if I hadn't been fired from Apple. It was awful tasting medicine, but I guess the patient needed it. Sometimes life hits you in the head with a brick. Don't lose faith. I'm convinced that the only thing that kept me going was that I loved what I did. You've got to find what you love. And that is as true for your work as it is for your lovers. Your work is going to fill a large part of your life, and the only way to be truly satisfied is to do what you believe is great work. And the only way to do great work is to love what you do. If you haven't found it yet, keep looking. Don't settle. As with all matters of the heart, you'll know when you find it. And, like any great relationship, it just gets better and better as the years roll on. So keep looking until you find it. Don't settle.

My third story is about death.

When I was 17, I read a quote that went something like: "If you live each day as if it was your last, someday you'll most certainly be right." It made an impression on me, and since then, for the past 33 years, I have looked in the mirror every morning and asked myself: "If today were the last day of my life, would I want to do what I am about to do today?" And whenever the answer has been "No" for too many days in a row, I know I need to change something.

Remembering that I'll be dead soon is the most important tool I've ever encountered to help me make the big choices in life. Because almost everything — all external expectations, all pride, all fear of embarrassment or failure - these things just fall away in the face of death, leaving only what is truly important. Remembering that you are going to die is the best way I know to avoid the trap of thinking you have something to lose. You are already naked. There is no reason not to follow your heart.

About a year ago I was diagnosed with cancer. I had a scan at 7:30 in the morning, and it clearly showed a tumor on my pancreas. I didn't even know what a pancreas was. The doctors told me this was almost certainly a type of cancer that is incurable, and that I should expect to live no longer than three to six months. My doctor advised me to go home and get my affairs in order, which is doctor's code for prepare to die. It means to try to tell your kids everything you thought you'd have the next 10 years to tell them in just a few months. It means to make sure everything is buttoned up so that it will be as easy as possible for your family. It means to say your goodbyes.

I lived with that diagnosis all day. Later that evening I had a biopsy, where they stuck an endoscope down my throat, through my stomach and into my intestines, put a needle into my pancreas and got a few cells from the tumor. I was sedated, but my wife, who was there, told me that when they viewed the cells under a microscope the doctors started crying because it turned out to be a very rare form of pancreatic cancer that is curable with surgery. I had the surgery and I'm fine now.

This was the closest I've been to facing death, and I hope its the closest I get for a few more decades. Having lived through it, I can now say this to you with a bit more certainty than when death was a useful but purely intellectual concept:

No one wants to die. Even people who want to go to heaven don't want to die to get there. And yet death is the destination we all share. No one has ever escaped it. And that is as it should be, because Death is very likely the single best invention of Life. It is Life's change agent. It clears out the old to make way for the new. Right now the new is you, but someday not too long from now, you will gradually become the old and be cleared away. Sorry to be so dramatic, but it is quite true.

Your time is limited, so don't waste it living someone else's life. Don't be trapped by dogma — which is living with the results of other people's thinking. Don't let the noise of others' opinions drown out your own inner voice. And most important, have the courage to follow your heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become. Everything else is secondary.

When I was young, there was an amazing publication called The Whole Earth Catalog, which was one of the bibles of my generation. It was created by a fellow named Stewart Brand not far from here in Menlo Park, and he brought it to life with his poetic touch. This was in the late 1960's, before personal computers and desktop publishing, so it was all made with typewriters, scissors, and polaroid cameras. It was sort of like Google in paperback form, 35 years before Google came along: it was idealistic, and overflowing with neat tools and great notions.

Stewart and his team put out several issues of The Whole Earth Catalog, and then when it had run its course, they put out a final issue. It was the mid-1970s, and I was your age. On the back cover of their final issue was a photograph of an early morning country road, the kind you might find yourself hitchhiking on if you were so adventurous. Beneath it were the words: "Stay Hungry. Stay Foolish." It was their farewell message as they signed off. Stay Hungry. Stay Foolish. And I have always wished that for myself. And now, as you graduate to begin anew, I wish that for you.

Stay Hungry. Stay Foolish.

Thank you all very much.

Saturday, August 20, 2005

Juri Terbaik

Menghakimi itu, gak enak. Gak gue banget!
Kalau menilai, gue bisa melakukan itu.
Karena itu udah job desk sehari-hari.
Dan gue kadang-kadang menikmatinya.

Tapi untuk menghakimi?
Gue ngerasa gue gak punya hak untuk melakukan itu.
Padahal kekuasaan untuk menghakimi
udah diberikan kepada gue.
dan belakangan gue ketahui,
banyak yang pengen memiliki kekuasaan itu.

Dalam sebuah sinetron karya Asrul Sani,
sekitar tahun 80an akhir, ada cerita
dimana seorang tentara sedang dihakimi
oleh malaikat di Surga.

"Saya membunuh orang itu karena saya diperintahkan
oleh panglima perang. Dan kalau saya tidak membunuhnya,
maka panglima akan memecat atau bahkan membunuh saya!'

"Tapi orang yang kau bunuh tidak bersalah!"

"Ah! Seandainya para malaikat agung ada bersama
saya dan panglima perang pada waktu itu. Untuk memberitahukan
mana yang salah dan benar. Tentu pembunuhan itu tidak akan terjadi."

"Tentara, kami ada bersamamu pada saat itu.
Walau kami tidak terlihat. Tapi kami bersuara! Kami mengemukakan pendapat.
Tapi mengapa suara kami tidak kau dengarkan?"

"Karena kalian bukan panglima perang yang akan memecat
dan membunuh saya kalau saya tidak membunuh orang itu."

Kebenaran dan kebenaran yang diadu.
Suara terbanyak akan menentukan
mana kebenaran yang sesungguhnya
dan mana kebenaran yang merupakan kesalahan terselubung.
Padahal, bukan kesalahan yang sedang diselubungi,
tapi kebenaran yang lain.

Untuk siang itu, sepuluh hakim duduk mengelilingi
meja hijau dalam artian sesungguhnya.

Walau gue sering dimarahin karena kebanyakan mikir,
apa daya, gue berpikir keras
ketika penghakiman itu sedang berlangsung.

Gue berpikir, kenyataan bahwa melepas antata
karya dan pencipta, bukan tugas yang mudah.
Menghakimi makanannya atau kokinya?
Kalau makanannya saja, bisa jadi
makanan enak karena kebetulah sesuai selera yang makan.
Kalau kokinya saja, bukti apa yang
bisa memenangkannya?

Ketika sedang berpikir keras,
gue inget cerita Asrul Sani di atas.
Selain 10 hakim agung,
ada seorang malaikat agung yang sedang berbicara.
Gue terdiam dan mendengarkannya berbicara.

Kalau gue harus memberikan kesaksian
tentang salah satu hal terindah bekerja di
dunia periklanan, adalah pelatihan untuk menilai.
Menilai karya sendiri sebelum menilai karya orang lain.

Dan untuk menilai karya sendiri,
memang membutuhkan kejujuran tingkat tinggi.
Karena juri atau hakim terbaik dan sesungguhnya
adalah diri sendiri.

Monday, August 15, 2005

Lanturan Tapi Relevan

Baru semalam buku itu selesai gue baca.
Lanturan tapi Relevan masuk ke dalam kategori
buku-buku yang gue taruh di toilet.
Dibaca beneran ketika semua suara hilang.
Ketika gak ada gangguan.

Isinya, jelek banget!
Gak ada isinya, gak ada mutunya!
Gak ada yang baru!
Semua ilmu ada di buku-buku iklan yang lain.
Cuma beda-beda tipis lah...

Bener-bener buku murahan.
Foto-fotonya banyak yang burem.
Gaya bahasanya? Minta ampun!
Belang bonteng gak keruan.
Sebentar formal, sebentar asal.

Dan gue kesel banget
karena pas gue sampe ke halaman terakhir,
gue langsung ngerasa aneh gitu.
Dada gue tiba-tiba aja kayak perih banget.
Setiap lembar di buku jelek itu
mengoyak tulang dada gue.

Sebel! Sebel! Sebel!
Buku ini bener-bener bikin gue bete.
Kenapa baru sekarang?
Kenapa gak dari dulu
ketika gue mencari semua ilmu-ilmu ini?
Dan gue gak ngerti
ada apa di antara setiap kata yang tercetak,
sehingga gue bisa ngerasain kehadiran Oom Bud.
Bukan ngajarin. Tapi berbagi.

Bagian yang paling gue suka,
"Utangnya udah lunas ya!"

Thanks ya Oom,
gara-gara buku loe,
gue jadi makin ngerti gue dan dunia gue.
Dunia kita. Dunia Iklan.

Thursday, August 04, 2005

Puisi dari Adit sayang....

Pernahkah??

Pernahkah kamu...
Merasa memiliki,
Tanpa takut merasa kehilangan?

Merasa dekat,
Sekalipun ribuan mill jauhnya?

Merasa mendapat dukungan,
Tanpa ada satupun permintaan?

Merasa bertambah pintar,
setelah mengenalnya?

...
...
...

Aku pernah, …
Dan itu karena kamu…!

(trimakasih Glenn buat chatting yang menyenangkan semalam :))

Tuesday, August 02, 2005

Berpisah?

Image hosted by Photobucket.com

Kenapa harus pergi,
kalau nanti akan kembali
dan sayangmu masih di sini?

Ada apa di sana,
sehingga bukan hanya jiwa
bahkan ragamu hendak kaubawa?

Lalu siapa akan temani aku di sini?
Siapa pula akan temani kamu di sana?

Apa bedanya di sana dan di sini?
Apa yang tak kau dapatkan di sini
yang kau dapatkan di sana?

Kalau kau pergi,
lalu bagaimana aku bisa melihatmu?
Bagaimana kamu bisa merabaku?
Bagaimana kita bisa bercinta?

Kau ingin aku mengenangmu
sementara kamu belum di alam baka?

Dan di atas segalanya,
kita sedang menenun kenangan.
Kita sedang membuka pintu Allah.
Kita, ya, kau dan aku.

...

Sayangku, kalau
di sini bumi Tuhan dan
di sana bumi Tuhan.
Di sini langit Allah,
di sana langit Allah...
kita tak akan pernah berpisah.

Monday, August 01, 2005

nasi lemak dan nasi uduk

di sana ada nasi lemak,
di sini ada nasi uduk.
dua-duanya enak.
dua-duanya banyak lemak.

pilihan datang dan pergi
kita menanti,
atau kita buat sendiri,
atau kita bawa berlari?

terima kasih
wahai engkau yang pengasih.
terangi pikiran dan hati
makan yang itu atau ini
semua anugerah illahi.

Sepet by Yasmin Ahmad, For the Well-being of Mankind

Image hosted by Photobucket.com

Kalau Romeo dan Juliet
adalah cerita cinta dua manusia yang berbeda kasta,
maka Sepet (sipit dalam bahasa Indonesia)
adalah cerita cinta antara dua manusia berbeda keturunan.

Ah Loong, keturunan Cina yang berjualan VCD bajakan
jatuh asmara dengan Orked, perempuan keturunan Melayu.
Cinta, oh... cinta...

Cerita Sepet, mungkin bisa langsung terbayang.
Tapi makna dan kedalaman berpikir sang pencerita
melebihi batas ruang dan bahasa.
Adalah tentang kasih sayang.
Tentang keharmonisan.
Dan di atas segalanya, tentang manusia.
Tentang kita.

Jutaan lagu dan film tentang cinta telah diproduksi.
Demikian pula Yasmin Ahmad.
Ia bertutur tentang cinta dengan nuansa Malaysia yang sederhana.
Begitu sederhana sehingga penonton seolah ditelanjangi.
Karena memang untuk bisa menerima pemahaman dan pengetahuan baru,
kita harus berani untuk telanjang.

Bagaimana perbedaan dihayati sebagai keindahan
yang bukan harus disatukan tapi untuk dijembatani.

Bagaimana cinta telah cukup untuk cinta.
Buang-buang waktu untuk berusaha memahaminya.

Bagaimana masa lalu adalah bagian dari masa kini
dan untuk dibawa ke masa depan.

Bagaimana kita bisa melihat kelebihan diatas kekurangan.

Bagaimana keterbatasan (Badan Sensor Film Malaysia dengan tanpa cinta membabat 8 bagian dari film ini)
tak harus menjadi alasan untuk tidak menyuarakan isi hati,
pikiran dan perasaan.
Apalagi kalau suara tersebut berhasil menggerakan jutaan emosi dan hati
jutaan penontonnya.

Sebagai seorang melankolis sejati,
herannya saya tidak menangis di akhir cerita ini.
Tapi lebih terinspirasi, tergerakkan.
Saya tidak melihat film ini sebagai sebuah melodrama,
tapi lebih sebagai gugahan.
Dan kritik sosial akan apa yang selama ini diusahakan
untuk ditutupi.

Dan untuk itu semua, ada Yasmin Ahmad.
Selama ini cuma kita kenal melalui iklan-iklan Petronasnya.

Sepet, untuk kebaikan sesama.

Image hosted by Photobucket.com

Saturday, July 30, 2005

Minggu, 31 Agustus 2005

Pagi ini gue bangun, masih belum nyadar kalau gue udah di KL lagi.
Tiba-tiba aja gue kangen banget sama kampus gue.
Sayang tempatnya jauh banget. Di daerah pegunungan, Bukit Melawati.
Mungkin kalau nanti kerjaan gue udah selesai, gue coba ke sana.

Hari ini semestinya gue deg-degan habis. Karena siang nanti mau review
kerjaan sama 2 CD yang udah langganan menang award internasional.
Tapi gak tau kenapa, gue nyantai aja... Padahal idenya belum mateng-mateng amat.
Mungkin karena gue gak ngerasa ini medan pertarungan gue.
Gue ngerasa, pun sukses di sini, hanya akan bertahan sampai Kamis.
Jum'at gue akan balik ke Jakarta. Medan pertarungan gue yang sebenarnya.
Pikiran yang salah besar! Karena siapa tau... Ah udalah! Jangan dipikirin dulu!

Partner in crime gue, Nik Radzi, pagi-pagi udah telepon.
Dia bilang dia gak bisa tidur semalaman.
Takut dibantai. Padahal semua materi harus selesai hari Selasa.
Gue cuma bisa bilang "Take it easy, you are not alone doing this project.
We are not alone. We gotta do this project together.
You, me and the rest of the team..."

Anyway, kemaren dapet sms dari Mbak JH, kalau radio karya dua anaknya
jadi finalis di Pinashtika Awards. Saingan sama radionya BH dan EJP.
Hm... buah jatuh gak jauh dari pohonnya. Congrats buat Bona dan Rori!
Hoping that your big emak's passion will transcend to you, all of you and me too :)

Pagi-pagi gue udah ke gym, terus makan pagi enak banget,
terus gue udah siap untuk berangkat. Masih ada waktu 1 1/2 jam.
Mungkin gue mau jalan-jalan dulu. Pengen liat buku di Kinokuniya.

Tembok Putih Ide

Sebuah ruang meeting disulap menjadi ruang putih.
Karena di keempat sisinya ditempel kertas besar-besar berwarna putih.
Kalau bagian atas ditutupi kertas juga, pasti tidak akan ada
yang mengenali kalau ruang itu adalah ruang meeting.

Dua pasang art director dan copywriter saling membelakangi.
Setiap pasang tampak seru dengan ceritanya masing-masing.

Di sebelah kiri, Sharifah Nor Azizah sedang seru menceritakan
pengalamannya pergi ke pasar basah kepada Jeremy Chia.
Sementara bercerita, tangan Jeremy menggambarkan cerita
Sharifah dalam sebuah gambar. Mirip sekali dengan sebuah storyboard.
Sambil bercerita Sharifah pun ikut menulis kata-kata yang tiba-tiba
keluar dari kepalanya.

Di sebelah kanan, Din dan Kurt, sepasang Art Director dan Copywriter
funky, sedang bernyanyi-nyanyi. Sesekali Din menggambar seiring irama lagu
sementara Kurt menulis kata-kata tak beraturan yang muncul di kepalanya.
Garis-garis repetitif bagai kurva tak beraturan memenuhi hampir setiap
sudut kertas. Seolah tak ingin membuang apapaun, hampir setiap lirik
bisa menjadi gambar dan dari satu gambar beranak pinak menjadi gambar yang lain.

Kedua pasangan itu tampak begitu menikmati sesi brainstorming ini.
Tampak persis seperti anak kecil sedang bermain corat coret di tembok rumah mereka.
Saya mencoba duduk bersama mereka. Harus saya akui, kertas putih
yang menutupi ruangan memberi efek psikologis yang lumayan
berarti. Saya seperti sedang berada di ruangan tanpa batas yang
membiarkan pikiran bebas bergerak. Batasan mulai ada ketika
saya mulai mencoba menulis atau menggambar di kertas itu.
Karena sebuah coretan di kertas putih itu, seperti mengingatkan kita
bahwa ada tembok/ruang dibalik segala putih.

Hampir 10 jam, kedua pasangan itu menikmati sesi ngerumpi itu.
Kebebasan mereka itu, bukan tanpa tujuan.
Mereka adalah pasangan yang sedang ditugaskan mengerjakan
sebuah pitching iklan.

Saya tidak akan menceritakan lebih lanjut soal pitchingnya,
tapi saya ingin menceritakan bagaimana sebuah proses ide dilahirkan
dari sebuah agency yang telah berkali-kali memenangkan
international awards.

Setelah tembok menjadi penuh dengan coretan-coretan dan tulisan-tulisan
barulah kemudian mereka bersama-sama mengambil brief lagi.
Brief itu telah meramu sebuah ide "Not just a talk" itu, Sebuah ide yang memang
akan membuka pikiran kita ke mana-mana.

Kedua pasangan itu pun kemudian bertukar tempat.
Masing-masing kini berdiri di depan coretan-coretan yang
bukan milik mereka sendiri. Mereka diam untuk paling banyak 10 detik
dan... keributan terjadi! Berjuta-juta bohlam lampu pecah! Mereka
seolah mendapatkan berjuta-juta ide dari gambar yang bukan mereka buat sendiri.

Sesekali terdengar suara jeritan "aaaaah that's great!" atau teriakan
"oh shit! That's it! We got it man!" Dan berbagai ekspresi kegirangan lainnya.
Kemudian masing-masing pasangan mulai menggambar lagi.
Kali ini tampak mereka mulai membuat kotak-kotak seperti print ads.
Tulisan-tulisan mereka pun mulai terstruktur seperti layaknya sebuah headline.

Tak terasa... saat itu waktu sudah menunjukan pukul 2 dini hari.
Dan mereka lupa, bahwa jam makan malam telah lewat. Akhirnya saya berkata
"Guys, I do not want you to faint. Seriously! Grab your dinner...
and let us meet up again tomorrow. Say 11ish?"
Mereka duduk bersama sambil makan pizza dingin yang sudah disiapkan
dari jam makan siang tadi. Sambil makan mereka merencanakan apa yang
akan mereka lakukan esok. Mereka seolah tak ingin sesi tadi diakhiri.

Sebelum meninggalkan kantor, saya melirik ke arah mereka, dan saya berkata
dalam hati "thanks for showing me what passion is all about!"

Friday, July 29, 2005

Daun Muda 2005

Apa yang bisa lebih membahagiakan buat gue
selain melihat-lihat kerjaan iklan orang lain.
Yang bikin istimewa kali ini,
gue melihat karya-karya peserta Daun Muda 2005.

Di sebuah ruangan tua yang gue gak kira
masih eksis di Jakarta, iklan-iklan self promo itu
memenuhi tembok, kursi dan lantai.

Karena gue terlambat, alhasil beberapa karya
udah dalam posisi tertutup. Alias udah gugur.
Yang dianggap berpotensi menjadi finalis
udah tertata di atas meja.

Satu per satu gue buka-buka karya yang udah ditutup.
Karena sepertinya para juri senior itu belum dapet
10 karya yang bisa jadi finalis.
Dan kehadiran gue di sini adalah sebagai pemantau doang.
Otomatis gue tutup mulut aja.

Sampe akhirnya dengan kebaikan hati para juri-juri itu
gue malah diajak ngomong dan berpendapat.
Undangan yang bikin gue ngerasa sangat dihargain.
Dan gue pun berusaha untuk berpendapat
sebaik-baiknya.

Ketika itu pula,
gak tau kenapa gue bisa ngerasain
detak jantung yang berdegup kencang.
Yang pasti bukan detak jantung gue.

Setiap detik, detak jantung itu semakin keras
dan semakin banyak dan semakin banyak.
Semakin lama detak jantung itu
seperti hendak memainkan sebuah orkestra perkusi.

Sebuah orkestra yang memainkan irama
yang pernah begitu dekat, begitu akrab.
Irama itu perlahan menjadi lagu
yang menceritakan sebuah harapan.

Irama indah itu tiba-tiba meninggi
dan semakin meninggi.
Mendekati puncak awan, irama itu
perlahan menurun melintasi gunung dan ngarai.

Semakin turun dan rendah.
Menyusuri sungai kejernihan kecil.
Menghempas kerikil-kerikil
untuk akhirnya naik ke atas sebentar.

Sebelum akhirnya mendarat dengan lunak
di sebuah padang yang indah.
Lagu itu berhenti tepat ketika
matahari pagi mulai bangun tidur.

"Yang ini lebih fresh! Ngeliatnya seger banget gitu!"

Saturday, July 23, 2005

Pembelajaran yang Terus Berjalan

Hari ini, gue udah dua bulan persis jadi pengangguran.
Gue gak pernah ngira, kalau gue bakal menganggur selama ini.
Dan tentunya di hari ini pula, gue melihat ke belakang.
Selama dua bulan ini udah apa aja sih yang gue lakukan.

1. Radio PSA Hariku
Gue pengen banget bikin radio monologue.
Karena seperti kita semua ketahui, radio monologue itu
paling susah diantara semuanya.
Dibantu Oom Bud, Mamung, Mas Agus Swanten, Lukman, Firman Cosmopolitan FM,
DanRem, Felicia, Opa Djokolelono, Rangga, dan Ruri, Baby dan Hera, akhirnya jadi juga itu radio.
Senengnya, iklannya bisa tayang jadi sebelum Juni berakhir.
Bisa ikutan Citra Pariwara tahun ini deh!

2. TVC
Ini kerjaan gantung yang harus gue selesaikan setelah keluar dari OgilvyOne.
Dibantu Richard, Ruri, Ferdy, Fey, Prita, Bunda, Ciska, Mbak Anna, Ben Wie,
Velocity, Bumble Bee dan puluhan pekerja sinema film, sekarang kerjaan itu udah
sampe tahap Online.

3. Clue Magazine Print Ads
Gue pengen banget untuk bikin kerjaan Artvertising.
Dimana advertising dipahami lebih sebagai sebuah karya seni.
Akhirnya dibantu Alex Abimanyu, Cecil, Yuli, Yunike, Adit, Anet, Marie, Rangga, Ruri,
Bunda, Vianne, Oom Bud, dan Mbak Jeanny, 8 set print ad itu selesai juga.
Sekarang tinggal tunggu tayang bulan Agustus ini.
Siapa tau bisa ikutan ADOI, Addone, CP tahun depan.
Barusan aja gue load di Archive. Siapa tau lolos!

Image hosted by Photobucket.com

4. Pitch.
Gue sekarang lagi gak di Jakarta.
Ngebantu sebuah agency untuk pitching.

5. Storyline.
Gue juga bikin 6 storyline untuk sebuah agency di Jakarta.

6. Logo.
Gue bikin logo sebuah PH yang baru dibikin di Jakarta.

7. SCA
Bikin proposal buat SCA-nya CCI. Plus, iseng-iseng bikinin logonya.
Walau sampe sekarang belum ada kabarnya, tapi bagian gue udah beres.

8. The Darling Project
Bantuin 3 anak UNTAR menyelesaikan TA mereka.
Alhamdullilah, 3-3nya udah lulus.
Malahan Cecil dapet nilai A loh! Yang duanya lagi dapet B.
Gue bangga banget!

Pugh! Sumpah mati gak kira! Gak kira sama sekali!
7 proyek dalam 2 bulan!
Sesuatu yang mungkin gak bisa gue kerjain kalau gue masih kerja di agency.
And did I having fun? YES! Absolutely!
Did I learn anything? YES! Loads of things!
Did I get to know more people? YES! Various kind of people.
Termasuk permilik cafe dan pelayan Oh Lala Thamrin.
Did I get pay? Erghhhh... not really... but I manage to survive.
Pinjem sana sini, setidaknya gue masih bisa menyambung hidup.

Tapi apa yang gue udah lakukan selama dua bulan ini,
menjadi lebih berarti karena ternyata gue belajar banyak!
Gue jadi tau kenapa monologue susah.
Gue jadi tau kelakuan agency terhadap PH.
Gue jadi tau mana yang selama ini beneran temen mana yang gak tulus-tulus amat.
Gue jadi tau kesulitan-kesulitan untuk bikin artvertising.
Gue jadi tau kekurangan gue dalam eksekusi.
Gue jadi tau rasanya kerja sama agency di luar Indonesia.
Gue jadi tau lebih banyak orang di luar lingkaran agency.
Gue jadi tau Mbak Pargi dengan kehidupannya yang sederhana.
Gue jadi tau... aaaaaaaaaaah banyak banget!

Dan lihat gue sekarang, masih hidup aja...
Gue gak mati kelaperan kok!
Ada satu yang gue lakukan selama dua bulan ini.
Gue ngerasa semakin deket sama Yang Di Atas.
Karena sekarang lebih terasa sangat tergantung sama Dia.
Dan belakangan ini, dalam doa gue minta supaya Dia
menerangi pikiran dan hati supaya gue bisa mengambil keputusan.
Bukan keputusan yang terbaik, tapi keputusan yang sesuai sama kehendak-Nya.

Sekarang gue melihat ke depan.
Jadi makin semangat untuk ngejalanin hidup gue.
Terima kasih Tuhan. Gue sayang banget sama loe!
Buat semua yang namanya ada di atas,
gue cuma bisa bilang terima kasih.
"Teman, kita jalan bareng terus ya... kebaikan loe semua
gak akan pernah gue lupain."

Sunday, June 26, 2005

Temuan Seorang Pengangguran

Udah hampir sebulan lamanya,
gue jadi pengangguran dan kebanyakan ngendon di rumah.
Paling banter ke Oh La La Thamrin untuk internetan.

Nah... ada beberapa temuan selama liburan yang
pengen gue share ke temen-temen di sini.
Siapa tau bisa berguna.

1. Ternyata voice over di tv emang perlu.
Kreatif kan suka ribut "kan udah ada supernya, gak
usah VO lagi dong!"
Man, gak deh... ternyata kalau lagi nonton televisi,
orang males kalau disuruh baca.
Lebih seneng diceritain.
Apalagi kalau nontonya sambil internetan, sambil
tiduran (dalam kasus gue), sambil telepon, dll.

2. Ternyata lagu di iklan2 tvc itu besar perannya.
Belakangan banyak lagu2 di iklan yang mirip satu sama
lain. Jenis musik yang serupa. Padahal sering loh,
karena musik yang ear catching, gue jadi memperhatikan
tvc-nya. Kayak musik tvc dove shampoo. TVC-nya emang
secara eksekusi bagus tapi idenya mah ya biasa.
Musiknya itu menarik karena beda sama tvc-tvc lain.
Entrasol Gold juga menarik lagunya.

3. Ternyata ukuran logo itu penting!
Kan kita suka banget tuh kalau logo dibikin keciiiiil
bgt dgn alasan art direction. Nah kadang saking
kecilnya, begitu iklannya ditayangin di tvc yang
layarnya kecil, logo/supernya bisa ketilep dan gak kelihatan
sama sekali loooh! Perbandingannya adalah antara TV
gue dan TV mbak pargi. Di tv gue masih lumayan, tapi
di tv-nya mbak pargi udah gak kelihatan.

4. Ternyata boks/packaging itu penting untuk
ditunjukin (jangan cuma produk dalemnya aja)
Karena kalau orang jalan2 ke supermarket/pasar, yang
mereka liat itu boksnya.

5. Ternyata animasi keunggulan produk itu penting...
Gue pernah sebel banget waktu disuruh ngasih animasi
keunggulan produk. Kotoran2 yang terangkat dari kain
oleh butiran-butiran biru sakti biar kain jadi lebih
bersih.
Eh ternyata, waktu gue mencuci baju sendiri di suatu
siang, terbayang loh bok di kepala
gue...butiran-butiran biru sakti akan mengangkat
kotoran di baju gue... nyuci baju jadi semangat!
hehehehehee gila ya! gue gak percaya sama diri gue
sendiri!

6. Ternyata story-telling itu lebih gampang diinget!
Adalah seorang tetangga, ibu-ibu. Dia itu seneeeeeeng
bgt sama iklan BNI yang bapaknya arsitek. Menurut dia
itu iklan luar biasa. Dan dia bisa berkali-kali
menceritakan iklannya itu seperti apa ke orang-orang.
Yang mana, akan lebih sulit untuk dia menceritakan
iklan yang bukan story-telling. Sementara word of mouth
itu bisa jadi senjata iklan yang ampuh juga kan?

Saturday, June 18, 2005

Kado Ulang Tahun dari Cecil

Tuhan
Selamat pagi…
Hari ini Glenn ulang taun
Mohon beri dia umur yang panjang
Kesehatan
Rejeki
Tempat kerja baru yang dia incer
Gaji gede
Uang 1.5 juta buat bikin psa radionya
Dan lain-lain
Terlalu banyak kalo disebutin satu-satu
Tuhan pasti udah tau lah…
Karena tiap hari pasti ada aja yang ngajuin permohonan
kayak gini
Oya,
Gini Tuhan..
Aku belom ngasih kado buat dia nih
Soalnya aku bingung apa yang bikin dia seneng
Jadiiiii
Aku mohon satu hal lagi boleh ya…
Semua kebahagiaan
Yang rencananya Tuhan mau kasih ke aku hari ini
Buat dia aja.
Iya, semuanya.
Makasih ya Tuhan
Amin.

Happy birthday Glenn
June,18,2005

love,
cecil :)

Sunday, June 12, 2005

Kutukan Orang Iklan

Sapardi di puisinya soal orang iklan,
ternyata benar sebenar-benarnya!
Orang iklan, selalu mikirin soal iklan.
Ngomongin soal iklan.
SMS soal iklan.
Email-emailan soal iklan.
Dan yang pastinya bikin iklan.

Pun berusaha sekeras-kerasnya untuk
gak mikirin iklan,
gak ngomongin iklan,
gak bikin iklan,
gak gaul sama orang iklan,
yang ada malah lebih menggila untuk bikin iklan.

Bener kata Kahlil Gibran,
kalau dawai biola bisa diputuskan supaya tidak
bersuara.
Tapi siapa bisa menghentikan burung gereja
untuk bernyanyi.

Lucunya, waktu kerja bikin iklan,
pengen banget bisa liburan.
Bisa bebas. Bisa ngerjain apa aja sesuka hati.
Tapi ternyata itu semua cuma bertahan satu minggu.
Lewat dari itu...
mulai tuh...
mikirin, ngomongin, bikin iklan lagi!

Dan lebih hebatnya lagi,
gak sekalipun iklan dipertanyakan
kesanggupannya untuk bayar balik semuanya.

Iklan itu gairah yang membakar.
iklan itu birahi yang tak pernah terpuaskan.
Iklan itu pesona raga yang mengguncang nalar.
Iklan itu jiwa yang memberi napas.

Dan ketika keempatnya bergumul,
bermandi keringat saling menarik dan mengulur.
Mengguncang dengan keras dan tajam.
Setiap sendi merasakan kenikmatan.
Bergoyang panas bagai penari samba.
Semakin cepat. Menghentak keras.
Gelinjang dipenuhi jeritan pada tiap hentakan.

Hingga napas pun tak lagi tersengal sengal.
Tapi terhenti sesaat.
Untuk kemudian segala daya dilakukan untuk
menarik napas panjang dan dalam terakhir kalinya.
Sampai akhirnya lepas...

Dan ketika semua lepas,
berjanji gak mau memulai lagi.
Ketika itu pula
kita sadar bahwa sedang membohongi diri sendiri.

Tuesday, June 07, 2005

Plaza Bapindo, Mandiri Tower, Lantai 26.

Malam ini,
sebelum gue bener-bener pulas,
tiba-tiba ngerasa kosong. Sekosong-kosongnya.

Ada sesuatu yang begitu besar
dan berarti selama ini tiba-tiba hilang.
Sesuatu yang gue gak kira ada.
Malah gak pernah gue pikirin.
Tiba-tiba hilang...

Gue jadi inget, waktu nyokap
kehilangan kakak gue untuk selamanya.
Dia pasti ngerasa kosong dan sedih luar biasa.
Lebih kehilangan dan sedih dari gue sekarang.

Tiba-tiba aja hati gue basah.
Oleh air matanya sendiri.
Dada gue bisa ngerasain.
Dan badan gue jadi lemes.

Pelan-pelan gue pikirin.
Apa yang sebenarnya diambil.
Apa yang sekarang udah gue gak punya lagi.
Yang begitu berarti.
Begitu besar dan bermakna.
Memberi nafas bagi hidup gue.

Di hati kecil gue, sebenarnya udah tau jawabnya.
Tapi gue terlalu sadis sama diri gue sendiri.
Jadi akan gue simpen terus dalam hati gue.
Bukan karena gue gak mau berbagi.
Atau melepas perasaan ini.
Tapi memang perasaan ini bukan milik gue.

Mereka cuma dititipin sebentar sama gue.
Di waktu yang berlari cepat itulah,
mereka adalah segalanya yang ada di pikirin gue.
Bukan cuma di pikiran. Tapi juga di dalam sini.

Kekosongan ini adalah ketakutan gue.
Takut kalau mereka akan melupakan gue.
Takut kalau pernah ada di antara kita
jadi gak ada sama sekali besoknya.

Dan kalau itu beneran terjadi,
hati gue pasti gak terima.

Di malam ini juga,
gue mempersiapkan diri.
Supaya kalau besok datang,
dan semua tentang kita harus hilang,
gue bisa menyimpan mereka di hati gue aja.

Sampai nanti hati ini harus bicara
kepada yang membuatnya.

Image hosted by Photobucket.com

Sunday, May 29, 2005

Cinta Fiktif

Image hosted by Photobucket.com

semalam kamu bilang,
mau mengakhiri cinta kita.

kamu bilang, kalau cinta itu
tidak pernah ada.

kamu bilang, kalau bukan salahku,
bukan pula salahmu.

kamu bilang, tidak ada yang lain
di hatimu.

tapi karena cinta fiktif ini
harus diakhiri.

aku terdiam, bukan karena sedih
ataupun dada ini terasa perih.

aku terdiam, bukan karena marah
ataupun gelisah.

aku terdiam, bukan karena menyalahkanmu
atau menyalahkanku sendiri.

aku terdiam, bukan karena
ada yang lain dihatiku.

tapi karena cinta fiktif ini
baru kita mulai.

Tuesday, May 17, 2005

Media-shy Man Behind Art of Batik

Tantri Yuliandini, The Jakarta Post, Jakarta

Roni Siswandi loves to toil for his profession -- and the world acknowledges it -- but he hates publicity.

When The Jakarta Post arrived for an interview, his very first remark was, "I only agreed to this interview because I have a debt to repay to archaeology and if this is the way to do it, then so be it."

The low-profile 49-year-old then set another condition for the interview: Don't put his picture on the paper. "I'll give you an interview and that's it."

It was indeed a rare interview, as Roni is well known for his media shyness. He prefers to work behind the scenes and let his wife, textile and batik connoisseur Josephine W. Komara, better known as Obin, stand in the spotlight.

"If you want to talk about Bin House then speak to Mbak Obin, but since it's about archaeology, all right. That's the keyword," Roni said with a grin.

Many believe that Roni is the man behind the success of Bin House, the textile and batik gallery that Obin and her partners established some 20 years ago, but Roni sees himself as an archaeologist whose business happens to be in textiles.

In fact, Roni attributes his success to archaeology. He says the experience he gained from the School of Archaeology at the University of Indonesia between 1974 and 1980 was the major force that shaped his life.

"The knowledge that I received from archaeology influenced me intellectually, mentally, and morally, and made me who I am today. The way I work, how I think -- all come from the archaeological (thinking method)," he says.

Roni says he employs archaeological methodology even in business matters and especially in his job as head of research and development at Bin House.

The youngest of eight children, Roni spent his childhood in the slums of Tanah Abang, Central Jakarta. His father, a crop trader, left the family when Roni was only 4« years old and then returned when he was 11 years old.

"It was only through God's benevolence that my mother managed to raise her children properly. Imagine raising kids on the banks of that filthy river. It was amazing that none of us grew up to be criminals," said Roni, who claims to have no heroes or role models.

Although he says that his family was never academically oriented, Roni went to university. He chose archeology simply because of the adventurous nature of the field.

"I thought archaeology was like Thor Heyerdahl's adventures," he said. (Thor Heyerdahl was a Norwegian explorer and archaeologist famous for his Kon Tiki raft expedition across the Pacific.)

When he was in his fifth year at university, Roni started teaching as assistant lecturer, and in 1981 he officially became a lecturer at the university.

"When Pak Bambang, Pak Buchori, and Pak Oti asked me to help out at the department, I accepted it only after they assured me that I could still continue with my business. Pak Bambang said it was only a matter of good time management," he recalled, referring to the three respected archaeologists Bambang Sumadio, Buchori, and Mundardjito.

Besides teaching at the University of Indonesia and studying for his Masters degree at the Anthropology Department of the same university, Roni also worked for his brother's plastic manufacturing company until 1986.

His passion for textiles, particularly batik, was inspired by long-time friend Obin who asked him to join Bin House in 1986.

"I had wanted to join her company in the administrative areas only, but she kept pushing me. She believed that with my knowledge as an archaeologist, I was more than capable of understanding batik and textiles in general. She was right," he said, while picking out bits of tobacco from an empty box of Gudang Garam Signature Menthol Mild.

"Some people are unlucky enough to never know their own limitations. Others have friends, relatives, lovers, to open their eyes for them. She's the one who opened up my eyes, opened me up to try every possibility, so I could make the right decision." Roni and Obin were eventually married in 1994.

As the business became more and more successful, however, Roni found himself having less and less time to read, study, and update his knowledge as befits a lecturer.

His students in later years recalled having to fax assignments to Japan in order for Roni to grade them on time, and during his busiest times, Roni would also miss classes regularly and make them up towards the end of the semester.

In 2000, the lecturer -- who was familiar to students in his white Chinese-style shirt -- decided to quit teaching altogether.

"It would be stupid and unfair if I had persisted in teaching merely for the prestige of being a lecturer, and not admitting to the fact that I was being left behind (in knowledge)," Roni said, explaining that he would rather fail at becoming an academic than letting down those who depended on Bin House for their livelihood.

At Bin House, Roni continues to create new designs, particularly for batik, which is its claim to fame.

Batik can be seen as two different concepts, he explained, as a design and as a technique. "As a design, those fabrics that you find in abundance in Mangga Dua could also be classified as batik, but they are just textiles with a batik motif."

In contrast, to both Roni and Bin House, batik is the technique of using wax as a resisting agent to control coloration.

"There's no denying that some particular motifs bring to mind the image of batik, but if it is made through other media (aside from wax), then I don't consider it as batik," he stated.

Roni said that he viewed batik as a tradition different from the tradition of modern printing.

"Its social environment is different, its production unit is different; spatial setting, workforce, and its mentality is different from printing," he said.

Through a long and arduous process, Roni learned the basic of the craft, without any formal training but through lots of reading, trial and error, discussions with local and foreign textile and batik experts, he eventually became an expert himself.

"Even now, I am still in the process of learning, from the first time I committed myself until now," Roni said modestly, explaining that his first lessons came from the study of Bin House's own collection of antique textiles.

This collection was enriched further with the addition of his experimental cloths. "This is another proof of my dominant archaeological trait -- I don't throw away failed experiments, I keep them and study them," he said.

Roni fiercely clings to his belief that batik will never die out in this country. "It has its ups and downs, just like everything else, but batik will not die out particularly because it is affordable by people at all levels of society." According to Roni, Bin House's role, and the role of every batik producer in this country, is to continue to innovate.

"The challenge is to make innovations so that more people will like batik apart from those already inside the batik culture, who appreciate it from within its social and cultural context, and create something beyond that cultural context," Roni explained.

Roni does not believe in patenting his designs, preferring instead to let his new motives enrich the existing treasure trove of Indonesian motifs.

For a man who claims that he does not want to be remembered, Roni has a rather grandiose ambition, which is to establish a museum of textiles and batik within the next five years.

"I could do so much with a museum -- write books, teach people, display cloths so they could come and look -- there is no limit to what I could do".

Features - November 16, 2002

Inspirator hidup dan kreatifitas gue.