Sunday, April 29, 2012

Modus Anomali - Kenapa Enggak?

Bayangkan kalau suatu saat Anda bangun dan tak ingat siapa nama, asal usul bahkan tempat di mana Anda berada.
Limbung? Kesal? Geram? Penasaran? Dan berbagai perasaan tak jejak lainnya.
Seperti itulah yang saya rasakan saat menonton Modus Anomali barusan.
bagus dong filmnya bisa mengguggah dan memainkan emosi? Mungkin...

Sebuah film yang dari awal membuat saya banyak bertanya. Pikiran comel saya terus menggempur.
Pertanyaan yang menggunakan pikiran logis. Sampai saya harus terus mengingatkan diri saya sendiri, ini "cuma film".
Menyerahlan dan nikmati sajalah...

Untungnya, Joko Anwar, berbaik hati memberikan waktu lumayan panjang, bahkan kepanjangan,
untuk saya terus mengingatkan diri kalau ini adalah hiburan. Tak perlu banyak yang dipikirkan.
Nikmati saja acting Rio Dewanto, darah bermuncratan, suara yang mencekam dan segala kejutan.
Jangan coba-coba untuk dipikir terlalu serius.

Dan tanpa saya sadari, film pun usai. Saya masih melongo.


Sesudah menonton, teman-teman langsung bertanya dengan nada sama "gimana? bagus gak?"
Saya menjawab sekenanya
"gue gak punya pilihan untuk bilang ini film bagus.
Takut ah kalo bilang gak bagus atau gak suka.
Nanti gue gak eksis!"
Untunglah jawaban sekena ini cukup menghibur sehingga mereka meninggalkan saya.

Sebenarnya, jawaban tadi bukan jawaban sekenanya.
Begini... kalau di sebuah film yang tidak memiliki referensi identitas, tempat, bahkan waktu,
maka pembuat film bisa sesuka hati bercerita.
Ini hutan di mana? Hutan di Kalimantan? Atau kawasan hutan Universitas Indonesia?
Lalu dia ini suami siapa? Apa profesinya? Kenapa dia berlibur di hutan?
Semua itu menjadi dan dianggap tidak penting lagi.
Joko hanya mau bercerita. Dan kita penonton, tontonlah.

Semua pertanyaan di kepala saya sesudah menonton saya bayangkan bisa dijawab dengan mudah oleh pembuatnya dengan jawaban pertanyaan balik "kenapa enggak?"
Misalnya...
Kenapa sih Joko bikin film begini?
Kenapa enggak bikin film begini?
Kenapa mesti pake bahasa Inggris?
Kenapa enggak pake bahasa Inggris?
Kok liburan ke hutan?
Kenapa enggak di hutan?
Kenapa kok baju Rio di tengah film mendadak terasa lebih kecil?
Kenapa enggak lebih kecil?
Dan seterusnya.

Film ini adalah cerita yang dihasilkan oleh generasi yang tak membutuhkan identitas.
Tanpa kungkungan tempat dan waktu.
Semua bebas dan sah.
Generasi yang mendobrak segala aturan, bahkan waktu.
Yang mempertanyakan "kenapa gak begini? kenapa gak begitu? apa harus begini?"

Mungkin inilah semangat Joko Anwar.
Bahkan di telinga saya, saya bisa mendengar Joko sedang berbisik
"ini kan film gue, suka-suka gue dong ah..."
Baiklah...

Setelah menyaksikan semua film Joko Anwar,
ada satu pertanyaan yang semakin ingin saya tanyakan,
"siapa kamu Joko Anwar?"
Mungkin Joko juga bisa menjawab
"kenapa enggak... ergh... "
Suatu saat nanti, kalau saya dikasih umur panjang.
saya akan menjelaskan kenapa siapa dan mengapa menjadi penting buat saya
untuk mengapresiasi sebuah film. Dan berbagai karya seni lainnya.
Pilihan personal saya.

Yang pasti, saya selalu jatuh hati pada karya yang jujur.

Jadi Modus Anomali bagus atau gak?
Bukan lagi jawaban yang harus dijawab.
Yang pasti saya belum pernah nonton film Indonesia seperti ini.
Tanpa bermaksud menuduh, tapi saya yakin dibalik film tanpa referensi ini - dalam bahasa sederhana saya sebut dongeng-,
Joko memiliki banyak referensi film dibaliknya. Bahkan mungkin terlalu banyak referensi.

Monday, April 09, 2012

Selembar Bulu Ayam

sebelum memulai sebuah brief,
entah kenapa selalu muncul pertanyaan ini di kepala
"kalau gak punya apa-apa bisa jadi apa?"

mungkin karena terlahir dari keluarga menengah ke bawah.
berpengaruh pada pekerjaan.
saya paling gak tega menghabiskan duit klien.
ini tentunya berseberangan dengan paham korporasi.
tapi biarlah, toh saya freelancer.

saya lebih sulit mengerjakan pekerjaan yang "besar".
pernyataan klien seperti "pokoknya budgetnya unlimited. you name it!"
selalu bikin saya keder (dan mungkin sebenarnya minder)

saya suka dengan pekerjaan berbudget rendah.
pekerjaan kecil yang mungkin tidak berarti atau dianggap cemilan.
tapi dikerjakan dengan kesungguhan dan sepenuh hati.

melihat hasil dari pekerjaan yang dimulai dengan minim
dan bisa memberikan hasil maksimal, memberikan kepuasan tersendiri.
semacam selembar bulu ayam yang digesek ke telinga memberikan sensasi di telinga.
untuk kemudian menjalar ke seluruh tubuh.

membuat kita merasa gelisah,
kok bisa seluruh saraf di tubuh kita terangsang oleh selembar bulu?

ketika melihat pekerjaan yang dahsyat
dikerjakan dengan dana dan tenaga yang dahsyat pula,
hati kecil saya selalu berkata
"yaeyalaaah... justru kalo hasilnya gak dahsyat baru pantas diributkan."

tak hanya di dunia periklanan yang saya geluti.
tapi juga di dunia desain grafis, film, musik, dan banyak hasil karya lainnnya.

mungkin ada semacam "pembelaan buta" yang saya lakukan tanpa saya sadari,
untuk karya-karya "selembar bulu ayam" itu.

belum lagi menonton, tubuh saya sudah seperti menolak sensasi
yang ditawarkan film-film seperti titanic, gladiator, dan avatar.
saya pun "membela" film-film iran berbudget rendah dan kamera sekedarnya.

tentu dengan syarat, bisa mengguncang seluruh syaraf.

Friday, April 06, 2012

Kreatif Periklanan Masa Depan?

Kita selalu khawatir akan masa depan.
Tantangan apa yang ada di masa depan?
Bagaimana bisa mempersiapkan diri supaya lebih siap menghadapi tantangan masa depan?
Siapa yang akan lebih makmur di masa depan?
Dan sejuta pertanyaan lain soal masa depan.

Setiap kali, dan ini sering, ada yang bertanya
"bagaimana kreatif periklanan di masa depan?"
saya selalu menjawab dengan berkelakar
"saya bukan mama lauren."

Jawaban tersebut sebenarnya bukan tanpa alasan.
Bukan pula sekedar cari sensasi.
Tapi sungguh ada satu hal yang menurut saya tidak relevan.

Periklanan adalah soal masa kini.
Masa kini yang begitu dinamis.
Berubah setiap saat bahkan setiap detik.
Menghabiskan waktu mempersiapkan diri untuk masa depan
menjadi tidak relevan dan buang-buang waktu.

Hiduplah dan berkaryalah untuk masa ini.
Sekarang. Detik ini.
Apa tantangan saat ini?
Bagaimana memecahkan masalah saat ini?

Terus nanti gimana?
Jawabannya sederhana dan pasti.
Tergantung bagaimana kita saat ini.
Tergantung karya kita saat ini.

Mungkin ini yang menghentikan saya menghadiri seminar yang bertajuk
"Hadapi Tantangan Masa Depan" :)

Beberapa hal yang bisa kita lakukan saat ini:

1. Jadilah Fleksibel
Perubahan yang setiap detik ini menuntut kita untuk lebih fleksibel.
Kalau tadinya keras kepala harus bikin iklan yang seperti anu dan inu.
Mungkin bisa lebih fleksibel dengan bikin iklan yang sesuai dengan problem klien.

2. Perlebar Kemungkinan
Setiap hari kalau mau dicari, pasti ada hal baru yang bisa dipelajari.
Pelajaran baru akan membuka kemungkinan baru.
Tadinya hanya bisa menjadi copywriter?
Kenapa gak mencoba menjadi art director?
Tadinya hanya mau jadi orang iklan untuk bikin iklan?
Kenapa gak mencoba jadi orang biasa untuk kemudian bikin iklan?

Kalau selama ini mencari ide iklan dari iklan lain,
mungkin bisa perlebar dengan mencarinya di lukisan?
Karya instalasi? Pasar basah? Konser dangdut?

3. Hilangkan Standar Diri dan Malu
Kita sering lupa, iklan adalah karya yang dibayar.
Karya pesanan.
Karena sifatnya pesanan, maka bukan standar diri yang penting.
Tapi standar yang sesuai permintaan dan kebutuhan klien.

4. Percayalah, Klien Paham Iklan
Klien setiap hari berinteraksi dengan konsumen.
Klien juga paham apa yang konsumen inginkan.
Bahkan mungkin lebih paham.
Bekerjasamalah dengan klien.
Dengar dan mendengarkan klien.

5. Jadilah "Nol"
Jatuh cintalah tanpa membawa luka hati masa lalu.
Luka hati masa lalu hanya akan menjadikan kita ragu dan sinis.
Jadilah cawan kosong. Yang siap dimasuki air.
Ego adalah penghalang nomor wahid.

Selamat Menyambut Masa Kini.




Mengapa Kreatif Periklanan Perlu Merasakan Jadi Klien?

Saya, memang bukan orang yang bisa fokus di satu hal berlama-lama.
Termasuk dalam urusan karir. Saya tidak pernah merasa harus bekerja di dunia periklanan.
Saya bahkan tidak merasa harus berkarya di jalur kreatif.

Beruntung saya sempat menjalani profesi lain.
Ada yang sambilan ada yang sambil lalu.
Profesi itu adalah berdagang.
Namanya juga cenes... buah jatuh gak jauh dari pohonnya.

Sebulan ini, saya bekerja freelance di sebuah perusahaan yang menjual perhiasan.
Tugas saya yang utama adalah menjaga agar desain-desain yang dikeluarkan sesuai dengan mereknya.
Karena itu saya berinteraksi dengan banyak karyawan yang semuanya 'bukan anak ahensi'.

Mereka bukan tidak punya masalah, tapi ada satu hal penting yang saya pelajari
setelah membandingkannya dengan bekerja di biro iklan.

Di biro iklan, ketika menjual "ide", maka kita mencari segala hal untuk mendukungnya.
Rasionalisasi, alasan, argumen dan sebagainya.
Tak jarang, dalam sebuah deck presentasi,
argumen itu jumlahnya lebih tebal dibandingkan dengan idenya sendiri.

Ketika kita menjual (baca: presentasi) maka segala kemampuan kita kerahkan.
Laku? Senang bukan alang kepalang.
Gak laku? Sedih. Kalaupun bilang "biasa aja lah" itu untuk menghibur diri sendiri aja.

Berbeda dengan saat kita menjual barang. Jadi pedagang barang.
Apalagi kalau barang yang kita jual memang terbukti bagus. Terbukti berkualitas.
Kita sama-sama berjualan.

Bedanya?

Rasionalisasi dan alasan yang diberikan lebih "bergengsi".
Pasti kita akrab dengan "boleh cek ke toko sebelah!"
Itu adalah salah satu bukti kepercayaan diri yang luar biasa.

Mau beli? Silakan.
Gak mau beli? Tidak mengapa. Akan ada yang lain yang akan membeli.

Hal sederhana ini yang ternyata selama ini hilang saat saya bekerja di biro iklan.
Mana mungkin saat klien tidak membeli ide, setelah berbusa-busa berjualan, kita bisa melenggang cuek cari klien lain?
Ide iklan sulit untuk direcycle.
Setiap ide dibuat khusus untuk klien tertentu dengan masalah tertentu.

Menjadi pedagang, memang punya tantangan lain.
Yang utama, saat toko sebelah menjual barang lebih baik dan lebih murah, misalnya.

Mengapa anak kreatif perlu duduk di kursi klien?

Di suatu siang, saya iseng membuka-buka presentasi biro iklan yang pitching untuk menangani klien ini.
Harus saya akui, solusi yang biro iklan berikan memang terkesan "lucu-lucuan".
Seolah tak mau paham persoalan klien.
Yang penting iklannya keren, seru, lucu, imut!

Contoh lain, bagaimana bekerja bersama klien membuka pikiran saya.

Sebelum saya memasuki kantor ini, saya memiliki sebuah ide yang akan saya presentasikan.
Di kepala saya saat itu, ide tersebut brilian!
Setelah sebulan bersama klien, saya mulai merasakan ide tersebut tidak relevan.
Dan untungnya, saya menemukan ide lain yang lebih sesuai.
Mungkin tidak "secanggih" ide yang awal.
Tapi lebih relevan dan mulai berpikir bahwa semua investasi harus bisa dipertanggung jawabkan.

Dengan pengalaman sederhana ini,
saya semakin yakin.
Kalau ingin jadi anak kreatif periklanan,
cobalah bekerja bersama klien.
Bukan hanya datang saat presentasi.

Duduk bersama. Rasakan mood dan tense yang klien alami.
Culture perusahaan. Celah yang ada. Apa yang mungkin dan tidak mungkin.
Percayalah, ini tidak akan mengungkung, malah membuka banyak pintu lain.

Pintu yang akan membawa pikiran dan ide kita pada, solusi.