Monday, January 21, 2008

Rentang

Sebagaimana anak yang masa kecilnya hidup serba kekurangan, makanan bukanlah sebuah pilihan. Apapun yang ada di atas meja dan tersedia, harus bisa dimakan. Kalau bisa, dinikmati.

Tak ada uang untuk membeli daging ayam, maka ati ayam jadi gantinya. Saya tidak suka. Tapi bukan soal suka atau tidak suka, soal makan atau tidak makan. Bayam apalagi. Cukup disayur bening dan bawang putih seadanya. Saya tidak boleh memilih. Semua harus suka.

Sekarang, saya jadi penikmat segala makanan. Selama masih dalam tahap kewajaran, bukan kalajengking, otak kera, anjing, kelinci, dan lainnya, semua bisa saya makan. Bahkan di restoran yang hampir tidak ada pengunjung karena tidak enak, saya masih bisa duduk dan menikmati makanan yang tersedia.

Saya pun jadi orang paling tidak pernah komplain ke pramusaji kalau misalnya sup terlalu asin sedikit, nasi kelembekan, terlalu banyak lada dan sebagainya. Semua saya hayati sebagai 'memang harusnya begitu'.

Memesan makanan di restoran baru pun bukan hal yang sulit. Tinggal tanya "di sini yang sering dipesan orang apa?" maka itu yang saya pesan. Tanpa banyak pesan sponsor seperti jangan pake bawang bombay, seledri sedikit aja, gak mau pake toge dan lain-lain. Apapun yang nantinya tersaji, 99,9% pasti bisa saya nikmati.

Entah ini anugerah atau musibah. Benar atau salah. Ada teman yang bilang "ah standar loe mah rendah!" ada juga yang bilang "wah loe jadi kayak tong sampah dong!" atau ada yang memuji juga "baguslah, hari tua loe nanti gak nyusahin orang. Dikasih makan apa aja loe terima".

Kemarin siang, saya menyempatkan diri untuk membolak balik buku yang ada di sudut ruang tamu. Buku baru yang sudah dibeli lama. Isinya adalah kata-kata mutiara dari orang-orang terkenal dunia. Salah satunya yang menarik perhatian saya datang dari Audrey Hepburn. Almarhumah Audrey bilang, "siapapun yang pernah merasakan kelaparan tidak akan pernah mengeluh kalau steak pesanannya agak gosong".

Audrey bisa benar bisa salah. Buktinya banyak juga tuh yang dulunya pernah merasakan kelaparan sekarang jadi orang paling cerewet sedunia soal makanan. Karena semua harus sesempurna mungkin. Trauma kalau sampe makanan gak enak.

Tidak ada yang benar, tidak ada yang salah. Semua tergantung dari mana kita melihat dan menghayatinya. Dan mau tidak mau, siapa dan apa kita sekarang adalah hasil dari siapa dan apa kita di masa lalu. Dan itu pun tergantung pula dengan bagaimana kita menyikapi pengalaman kita itu.

Untuk saya, pengalaman soal kemiskinan di masa lalu itu, memberikan banyak pelajaran. Salah satunya, yang paling berharga, saya jadi orang yang gampang mengapresiasi. Memakan apapun yang tersedia di atas meja, membuat lidah saya terlatih untuk bisa merasa dengan rentang perasa yang luas. Punya rentang yang luas, saya pikir adalah suatu kelebihan.

Seorang penyanyi misalnya, selain kualitas suara, tapi juga rentang nada. Makanya penyanyi selalu memulai dengan latihan memperluas rentang suara. Nada rendah kalau bisa semakin rendah. Nada tinggi juga semakin tinggi.

Dengan harapan, akan semakin banyak lagu yang dengan mudah ia nyanyikan.

Atau pelari. Seorang pelari 100 km misalnya. Saat latihan, dia akan memperluas rentang jaraknya. Kalau perlu dia berlatih untuk berlari 200 km, 300 km!

Dengan harapan, 100 km akan dapat dicapai dengan lebih mudah.

Bagaimana dengan saya di dunia iklan?

Ada seorang teman dekat, orang iklan juga, yang pernah bilang
"gue heran deh sama selera loe. Iklan yang ini loe bilang loe suka, yang itu loe suka. Yang ini loe bilang bagus, yang itu loe bilang bagus. Gak konsisten amat sih?"

"Contohnya?" Tanya saya balik.

"Iklan Cannes 2006 loe bilang bagus, tapi iklan Tje Fuk loe juga bilang bagus."

"Ya emang iya. Dua-duanya kan bagus."

"Ya enggak dong... Satunya tuh kreatif, satunya enggak banget."

"Gak kreatif kan bukan berarti jelek. Lagian siapa yang menilai mana kreatif mana enggak kan?"

"Ok! Sekarang gini, loe mau gak di porto loe ada iklan kayak Tje Fuk?"

"Ya mau lah... Bagus banget buat resume gue."

"Kok?"

"Supaya orang tau kalau gue bisa bikin beragam gaya iklan. Award winning, hard sell, soft sell, elegan, murahan, kotaan, kampungan, art base, copy base, dan semua, semua, semuanya! Itu yang gue mau."

Benar. Orang kreatif seperti itulah cita-cita saya. Kebayang gak kalau art director punya warna favorit dan semua iklan-nya diusahakan untuk menggunakan warna itu? Pasti membosankan portonya. Atau copywriter punya gaya penulisan headline rhyming. Semua iklan di portonya menggunakan headline yang rhyming. Pasti menjemukan juga. Atau Creative Director, yang di portonya hanya iklan-iklan yang pernah menang awards saja. Akan sangat menyeramkan!

Untuk mencapai cita-cita saya itu, saya mulai melatih diri untuk mencoba hal baru. Kalau setiap pagi minum susu sapi, sesekali cobain susu kedelai. Setiap hari makan nasi warteg, sesekali makan McD. Setiap kali selalu naik mobil, sesekali jalan kaki. Setiap hari bertemu orang iklan, sesekali bergaul dengan fashion designer. Setiap hari dengerin Craig David, sesekali dengerin Waljinah dan Rossa. Selalu nonton film indipendent dan pemenang penghargaan internasional, sesekali nonton sinetron Raam Punjabi.

Setelah mencoba itu semua, perlahan saya semakin paham. Kenapa orang suka nonton sinetron. Ternyata emang seru dan bikin ketagihan. Kenapa banyak yang suka sama Rossa padahal sama orang iklan sering dilecehkan? Ternyata emang suaranya merdu juga. Beda aja merdunya. Dan lirik lagu-lagunya gampang dimengerti, nada-nadanya ramah di telinga.

Semakin hari, bukan cuma makanan, tapi semakin banyak hal-hal yang semakin saya suka. Dan inilah resolusi tahun baru 2008 saya! Ingin memperluas rentang indra, rentang apresiasi, rentang rasa, rentang pikiran, rentang pendengaran dan semuanya.

Dan karena itu pulalah, di malam tahun baru kemaren, saya memutuskan untuk jalan kaki dari Apartemen Rasuna di Kuningan ke Monas. Kok mau? Ya mau lah. Kan belum pernah. Selama ini paling clubbing, private party, ke rumah temen, atau sendirian aja di rumah. Sesekali saya ingin menjadi bagian dari 90% penduduk Jakarta saat merayakan malam pergantian tahun. Sesekali saya ingin melihat kembang api di Monas yang selama ini cuma bisa saya lihat di TV dan koran. Sesekali saya ingin mencium bau badan orang-orang Jakarta yang keringetan dan kebasahan kena air hujan. Sesekali saya ingin menyapa pak polisi yang bertugas malam ini.

Hasilnya, malam tahun baru kemarin adalah malam tahun baru terbaik dalam hidup saya. Untuk sebuah alasan sederhana, karena membuka banyak indra yang memperluas rentang pengalaman saya.

Salah satu bagian yang membuat bulu kuduk saya berdiri adalah ketika jutaan orang Jakarta berteriak kagum melihat kembang api meletup indah di monas. Selamanya telinga saya tidak akan melupakan pengalaman itu.

Photobucket

"Boom!"

"Whooooooooaaaaaaaaaaaaaaaaa"

Selamat Tahun Baru 2008

ps: thanks ya ree dan dita yang udah mau nemenin gue walau ujan-ujanan! hehehe!

Thursday, January 10, 2008

Sorry ya Djenar...

Photobucket

Gue gak pernah tau dan mau tau siapa itu Djenar Maesa Ayu. Beberapa kali baca namanya di media dan terakhir ya itu di acara Silat Lidah. Waktu dia launch bukunya Mereka Bilang Sayang Monyet, gue cuma bilang dalam hati "tambah lagi satu seniman curi perhatian".

Tau kan maksud gue? Seniman-seniman eksentrik yang sering banget bikin ini itu tapi yang gak ada yang ngerti kecuali dia. Awal-awalnya gue masih sering mencoba untuk mengerti tapi lama-lama bosen juga. Udah gak ngerti, gak indah pula.

Demikian juga dengan buku. Supernova misalnya. Sumpah mati gue gak doyan. Temen-temen sekitar gue pada bilang bagus. Menang ini itu. Gue gak bisa baca lebih dari 10 halaman. Bayangin tiap halaman mesti baca footnote karena banyak kata-kata ajaib. Gimana mau menikmati coba. Abis itu gue gak pernah lagi mau baca bukunya Dee, dan teman-temannya di kepala gue. Salah satunya ya Djenar itu.

Sampe akhirnya semalam, temen deket gue ngajakin nonton Mereka Bilang Saya Monyet. Gue dah malessss banget tadinya. Padahal udah baca tulisan Totot Indrarto di Kompas sebelumnya yang memuji film ini. Dalam hati gue berpikir "seniman belain seniman... ya.. ya...ya...".

Pas awal film ini, mulailah keajaiban dengan tulisan Plaza Senayan sebagai produser. Duh mak! Tolong! Pasti adegan mall di mana mana.

OK! Film dimulai. Dan entah kenapa, pelan-pelan gue mulai ngasih kesempatan untuk film ini. Ngasih kesempatan untuk mengajak gue berdialog. Dan tanpa gue sadari, perlahan gue mulai membuka diri. Dan akhirnya gue pun berdialog dengan film ini.

Setiap adegan mengajak gue untuk berdialog. Gini ilustrasinya:

Mereka Bilang Saya Monyet (MBSM):
"menurut gue gini, Glenn... menurut loe gimana?"

Glenn:
"bener juga sih, tapi gak gitu juga kali..."

MBSM:
"bener juga sih loe, atau mungkin karena begitu jadi begini"

Glenn:
"bisa juga begini karena begitu kan?"

Dan seterusnya, sampai akhir film ini. Gue terdiam karena keasikan ngobrol sama film. Gak ada bagian di film ini yang gak perlu. Gak ada yang mubazir tanpa arti. Gak ada beauty shots. Lighting kacau. Grading ancur. Props gak penting. Tapi buat gue, ini adalah salah satu film terbaik yang Indonesia pernah punya. Lebih baik dari Nagabonar Jadi 2.

Ngomong-ngomong soal film yang baik, setiap orang boleh punya pendapatnya sendiri-sendiri. Menurut gue film yang baik adalah cerita yang baik. Cerita yang baik adalah cerita yang membuka pikiran dan mengajak kita untuk berdialog. Yang membawa pikiran kita keluar untuk jalan-jalan. Sama kayak anak kecil didongengin.

MBSM, punya cerita yang sangat berisi dan padat. Di beberapa dialog gue bisa ngerasain pembelaan, pandangan, pendapat, kritikan dari seorang Djenar. Dan menurut gue disitulah kekuatan ceritanya. Orang kan hanya bisa berkarya menurut kapasitasnya. Dan Djenar menyampaikan semua dengan apa adanya.

Di saat yang lain mencoba untuk menjadi orang lain di luar kapasitasnya.

Film terakhir yang gue nonton adalah Muallaf arahan Yasmin Ahmad. Bagus banget sampe gue berpikir masak sih gak ada film director di Indonesia bisa bikin yang kayak gini aja. Muallaf film yang sederhana juga. Sampe akhirnya gue nonton MBSM. Gue bisa bilang MBSM lebih baik dari Muallaf dari segi cerita.

Soal adegan terakhir di mana setiap pemain keluar dalam satu frame, gue ok-ok aja. No big deal lah. Mungkin Djenar mau bilang "eh tau gak sih, kalau semua karakter yang ada film ini, ada dalam kehidupan sehari-hari." Kekurangannya menurut gue ada di Jajang C. Noer. Menurut gue dia gak OK aja di situ. Pembantu kok intonasinya kayak nyonya.

Terakhir gue mau bilang "Sorry ya Djenar... Gue kira loe seniman yang lagi suka curi perhatian doang. Ternyata loe pencuri hati."