Thursday, January 10, 2008
Sorry ya Djenar...
Gue gak pernah tau dan mau tau siapa itu Djenar Maesa Ayu. Beberapa kali baca namanya di media dan terakhir ya itu di acara Silat Lidah. Waktu dia launch bukunya Mereka Bilang Sayang Monyet, gue cuma bilang dalam hati "tambah lagi satu seniman curi perhatian".
Tau kan maksud gue? Seniman-seniman eksentrik yang sering banget bikin ini itu tapi yang gak ada yang ngerti kecuali dia. Awal-awalnya gue masih sering mencoba untuk mengerti tapi lama-lama bosen juga. Udah gak ngerti, gak indah pula.
Demikian juga dengan buku. Supernova misalnya. Sumpah mati gue gak doyan. Temen-temen sekitar gue pada bilang bagus. Menang ini itu. Gue gak bisa baca lebih dari 10 halaman. Bayangin tiap halaman mesti baca footnote karena banyak kata-kata ajaib. Gimana mau menikmati coba. Abis itu gue gak pernah lagi mau baca bukunya Dee, dan teman-temannya di kepala gue. Salah satunya ya Djenar itu.
Sampe akhirnya semalam, temen deket gue ngajakin nonton Mereka Bilang Saya Monyet. Gue dah malessss banget tadinya. Padahal udah baca tulisan Totot Indrarto di Kompas sebelumnya yang memuji film ini. Dalam hati gue berpikir "seniman belain seniman... ya.. ya...ya...".
Pas awal film ini, mulailah keajaiban dengan tulisan Plaza Senayan sebagai produser. Duh mak! Tolong! Pasti adegan mall di mana mana.
OK! Film dimulai. Dan entah kenapa, pelan-pelan gue mulai ngasih kesempatan untuk film ini. Ngasih kesempatan untuk mengajak gue berdialog. Dan tanpa gue sadari, perlahan gue mulai membuka diri. Dan akhirnya gue pun berdialog dengan film ini.
Setiap adegan mengajak gue untuk berdialog. Gini ilustrasinya:
Mereka Bilang Saya Monyet (MBSM):
"menurut gue gini, Glenn... menurut loe gimana?"
Glenn:
"bener juga sih, tapi gak gitu juga kali..."
MBSM:
"bener juga sih loe, atau mungkin karena begitu jadi begini"
Glenn:
"bisa juga begini karena begitu kan?"
Dan seterusnya, sampai akhir film ini. Gue terdiam karena keasikan ngobrol sama film. Gak ada bagian di film ini yang gak perlu. Gak ada yang mubazir tanpa arti. Gak ada beauty shots. Lighting kacau. Grading ancur. Props gak penting. Tapi buat gue, ini adalah salah satu film terbaik yang Indonesia pernah punya. Lebih baik dari Nagabonar Jadi 2.
Ngomong-ngomong soal film yang baik, setiap orang boleh punya pendapatnya sendiri-sendiri. Menurut gue film yang baik adalah cerita yang baik. Cerita yang baik adalah cerita yang membuka pikiran dan mengajak kita untuk berdialog. Yang membawa pikiran kita keluar untuk jalan-jalan. Sama kayak anak kecil didongengin.
MBSM, punya cerita yang sangat berisi dan padat. Di beberapa dialog gue bisa ngerasain pembelaan, pandangan, pendapat, kritikan dari seorang Djenar. Dan menurut gue disitulah kekuatan ceritanya. Orang kan hanya bisa berkarya menurut kapasitasnya. Dan Djenar menyampaikan semua dengan apa adanya.
Di saat yang lain mencoba untuk menjadi orang lain di luar kapasitasnya.
Film terakhir yang gue nonton adalah Muallaf arahan Yasmin Ahmad. Bagus banget sampe gue berpikir masak sih gak ada film director di Indonesia bisa bikin yang kayak gini aja. Muallaf film yang sederhana juga. Sampe akhirnya gue nonton MBSM. Gue bisa bilang MBSM lebih baik dari Muallaf dari segi cerita.
Soal adegan terakhir di mana setiap pemain keluar dalam satu frame, gue ok-ok aja. No big deal lah. Mungkin Djenar mau bilang "eh tau gak sih, kalau semua karakter yang ada film ini, ada dalam kehidupan sehari-hari." Kekurangannya menurut gue ada di Jajang C. Noer. Menurut gue dia gak OK aja di situ. Pembantu kok intonasinya kayak nyonya.
Terakhir gue mau bilang "Sorry ya Djenar... Gue kira loe seniman yang lagi suka curi perhatian doang. Ternyata loe pencuri hati."
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
5 comments:
emang iya, Glenn? bagus ya film ini? hmmm... jadi pengen liat gw...
Djenar menyampaikan sesuatu dengan apa adanya? Mana mungkin? Setiap detik dari hidupnya buat gue semua adalah artifisial....
Gue inget sebuah peristiwa. Totot beli buku Djenar, pas dia minta tandatangan, Djenar nulis di buku itu 'Untuk Totot Sungentot....' Buat Totot lucu, buat Totot itu sebuah komplimen. Buat gue itu sebuah kemunafikan. Sorry Glenn.
Gw termasuk orang yang cukup lama menggemari tulisan2 Djenar. Tapi sama seperti Glenn, gw agak meragukan kemampuan Djenar dalam membuat film yang bercerita. Gw takut film ini akan jadi sok nyeni. Ternyata, seperti tulisan Glenn di atas, film ini sangat bisa dinikmati. Kalau boleh gw simpulkan sendiri, film ini mampu bercerita dengan lugas tanpa kehilangan ke-"Djenar"-annya.
Udah mulai masuk kalangan 'sastra wangi' nih Glenn. Welcome to the club ;)
Aduh!lagu bagus dar Nagabonar ya Mas?jangan lupa bilang bila dvdnya udah keluar ya?
Post a Comment