Thursday, March 27, 2008

A Lung dan Ling Ling

Teman saya bernama A Lung.

Dia bekerja sebagai art director di sebuah agency lokal. Anaknya sangat kritis dan antusias. Dia sering mencari iklan-iklan terbaru dari luar negeri. Selalu update dengan informasi dan berita dunia iklan. Sangat berkesenian. Rajin nonton film-film festival (yang banyak diemnya -red.). Bahasa inggrisnya sempurna.

Penampilannya pun tak kurang aduhai. Body-nya keren. Wajahnya menawan. Selalu tampil rapih, apik, menarik dengan gerak tubuh yang elegan. Kalau dia gantengan dikit lagi, wah bisa jadi bintang film.

Secara prestasi, gak bercela juga. Pernah jadi finalis Daun Muda dan menang Citra Pariwara. Impian semua insan muda periklanan Indonesia lah!

Tapi, hampir setiap kali saya chatting dengan A Lung, atau iseng-iseng membuka blog-nya, hampir 80% topiknya adalah soal keluhan kantornya. Yang gak memperhatikan karyawan, AE itu bego dan terlalu nurut sama klien. CD-nya gak memberikan ruang untuk kreatif berkembang. Pemilik perusahaan tidak memiliki visi. Dan sejuta komplen lainnya.

Akhirnya A Lung pun resign. Memutuskan untuk masuk ke agency ternama.

Teman saya yang satunya lagi bernama Ling-Ling.

Dia juga bekerja sebagai Art Director di agency yang sama. Anaknya sangat rendah diri. Malu berbicara. Takut ini takut itu. Minder ini minder itu. Pokoknya kalau dia ada di sebuah ruangan meeting yang gaduh, bisa jadi keberadaannya tidak terlihat. Apalagi didengar dan dihargai.

Sifatnya juga sangat kekanak-kanakan. Demikian juga cara berdandannya. Kalau orang gak kenal, pasti akan mengira dia masih SMA. Mungkin juga SD. Dan gak akan ada orang yang mengira dia kerja di biro iklan. Tampilannya jauh dari kesan glamor dan gaya orang iklan. Terlalu sederhana cenderung tanpa gaya.

Tapi dibalik itu semua, Ling-Ling adalah pekerja keras. Dia mengerjakan semua dengan sepenuh hati. Ada lah komplen dikit sana sini. Tapi itu bukan topik utama kalau saya dan dia diskusi soal kerjaan. Dia selalu cerita keseruan-keseruan yang ia dialami saat bekerja. Sampe saya sering senyum-senyum sendiri.

Secara prestasi sebenarnya tidak kalah dengan A Lung. Bedanya, Ling-Ling tidak pernah menang karena usahanya sendiri, seperti Daun Muda. Finalis pun tidak. Ling-Ling pun sadar itu. Dia sadar mungkin dunia iklan yang dicintainya ini, bukan untuk dia. Dia sadar bahwa kesenangann dan kemampuannya, menggambar dan ilustrasi, tidak cukup untuk menyelamatkannya di dunia iklan.

Akhirnya Ling-Ling pun resign. Memutuskan untuk jadi freelancer.

Karena kebetulan saya kenal dengan CD tempat mereka berdua kerja, di suatu malam kami sms-an. Isinya kurang lebih begini:

CD: Sayang ya, Ling-Ling keluar, padahal dia baru menangin pitch loh!

GM: Yah baguslah... Jadi Ling-Ling ninggalin dengan kenangan manis kan?

CD: Maksud gue kan bisa menikmati ngerjain beberapa proyek dulu buat memperkaya portfolio

GM: Yah kalau loe baek hati, kasih aja job yang menang pitch itu ke dia sebagai freelancer.

CD: Gue punya plan begitu juga.

GM: Gue yakin dia mau. Kasian juga tuh anak, oom. Stress dia rupanya. Loe gak liat dia mulai jerawatan!

CD: OK. Pasti.

GM: Gue sempet bilang kenapa gak unpaid leave aja 1 bulan gitu. Tapi rupanya dia gak ngeliat masa depan dia di dunia iklan.

CD: Oh gitu.

GM: Dia kayaknya mau ngerjain di luar iklan. Freelancer kan membuka kesempatan itu sampai dia nemu yang dia suka. Lebih ke desain kayaknya.

CD: Yoi. Gue juga bilang jadi freelancer itu gak cuma butuh skill tapi kemampuan marketing juga.

GM: Gue sih yakin, Ling-Ling bukan di dunia iklan lah. Dia kalau Daun Muda kan jelek hasilnya. Tapi kalau ngegambar dan ngedesain bagus.

CD: Tapi ngide jauh lebih bagus dari A Lung.

GM: Gak sebagus teman-teman seangkatannya.

CD: Ga ah. Dia ngide udah lumayan asal dapet tim brainstorming yang cocok.

GM: A Lung kan finalis Daun Muda. Ling-Ling bukan.

CD: Hahahaha OK!

GM: Biar bagaimanapun kan?

CD: Yoi Jek!

GM: Tapi Ling-Ling menang di attitude. Jadi kalau gue suruh pilih, gue pilih Ling-Ling.

CD: Setuju! Gue sayang banget sama Ling-Ling. Tapi dia aja gak nyadar itu.

GM: Gue juga sayang.

Baru saja sms berakhir. Sebuah sms masuk lagi dari A Lung:

Agency baru gue gak asik ternyata. Udah gak sekeras kepala dulu. Lebih toleran sama klien. Brief dari bos dan Account kok bisa beda!

Dan masuk lagi sms dari Ling-Ling:

Aku sampai sekarang masih takut loh ntar freelance gimana. Tapi aku bakal lebih nyesel kalau gak nyoba sekarang.

Monday, March 24, 2008

Record of a Tenement Gentlemen - Untuk Apa Sempurna? Bag. 2

Photobucket

1947, seorang anak kecil berusia 6 tahun, tersesat di stasiun kereta api. Anak itu kemudian dibawa oleh seorang pria untuk dititipkan di rumah seorang janda. Janda berusia 70 tahunan itu menolak karena menganggap titipan itu sebagai beban. Apalagi di malam pertama, sang anak itu kencing di kasur.

Janda marah besar dan hendak mengusir anak kecil itu dari rumahnya selayaknya menghalau kucing yang hendak maling ikan. Kue yang enak dan hal pemberian tetangganya seolah tak pantas untuk diberikan kepada anak itu. Bahkan, janda itu menghina ayah sang anak karena menelantarkan anaknya sendiri di pinggir jalan.

Suatu saat, anak itu kembali dimarahi habis-habisan oleh janda itu karena dianggap mencuri manisan yang sedang dijemur. Anak itu berkali kali berkata bahwa dia bukan pencurinya. Sampai akhirnya, tetangga mendengar bentakan janda dan akhirnya mengaku bahwa tetangga itu lah yang mencuri manisan itu.

Di sore harinya, anak itu tiba tiba menghilang. Anehnya, sang janda kelimpungan mencari anak itu keliling kota. Tetangga dekatnya berkata "ini adalah berkah. Bukakah kamu selama ini tidak menghendakinya? Sekarang ia telah pergi." Dari wajahnya sang janda tampak sedih.

Di malam hari, anak itu kembali diantar oleh yang menemukannya saat pertama kali. Rupanya ia kabur ke stasiun kereta api tempat ia ditinggal oleh sang ayah. Tak dikira, sang janda tampak merindukannya. Ia bahkan menawarinya makan malam dan suasana berubah menjadi begitu hangat. Sang anak bahkan diminta untuk memijat sang janda. Mereka berdua tertawa terkikik-kikik mengingat saat awal-awal mereka berkenalan.

Namun kehangatan itu rupanya tak berlangsung lama. Sang ayah datang menjemput. Tak hanya menjemput, ia membawa sekarung kentang untuk sang janda seraya berterima kasih karena telah menjaga anaknya yang rupanya lepas dari genggamannya saat di stasiun. Bukan ditelantarkan. Ayah yang selama ini dihina oleh janda itu tampil sebagai sosok yang santun dan jauh dari kesan tidak bertanggung jawab.

Anak itu pun pergi bersama sang ayah. Meninggalkan janda seorang diri.

Kalau ada orang bilang, "Pergilah ke Roma sebelum wafat" maka sepantasnya ada yang bilang "Nontonlah Record of a Tenement Gentlemen sebelum wafat." Film arahan Yasujiro Ozu ini memang luar biasa menurut saya. Walau tidak dinilai sebagai masterpiece oleh para pakar film, tapi ini adalah film yang sangat menghibur dengan kesederhanaannya.

Di akhir film, tiba tiba saya merasakan ada yang panas di dalam sini. Dan menyambung tulisan sebelum ini, Untuk Apa Sempurna?, maka film ini jauh dari sempurna. Acting para pemain yang begitu kaku. Kamera yang tidak bergerak. Dan karena film ini dibuat tahun 1947, maka banyak gambar yang sudah mulai buram. Suaranya pun di beberapa bagian terdengar naik turun. Tidak ada aktor cantik dan ganteng. Tidak ada selebritis. Film ini tidak pernah menang Oscar.

Tapi untuk saya, film ini semakin tua semakin sempurna. Saya sampai menontonnya 6 kali. Berbanding terbalik dengan film Troy yang dibuat dengan demikan sempurna. Saya tertidur di dalam bioskop. Bahkan aktor dengan fisik sempurna macam Brad Pitt tidak dapat menolong. Dan apakah film, yang diusahakan untuk jadi sempurna ini bisa bertahan lebih dari 50 tahun seperti Record of a Tenement Gentlemen atau Tokyo Story?

Photobucket

Hanya waktu yang memang bisa menjawab. Tapi siapa mau nonton Troy dua kali?

Sunday, March 23, 2008

Untuk Apa Sempurna?

Sun Tzu Art of War, yang ditulis pada 512BC ini memang luar biasa. Melintasi ruang dan waktu berabad lamanya. Strategy perang yang dilandasi pada kehidupan manusia ini, menyampaikan kebenaran dan celah untuk menang bukan saja perang, tapi juga kehidupan.

Buku yang masih jadi pedoman banyak pelaku bisnis dunia ini, memberikan sebuah pedoman sederhana. Sebelum bisa memenangkan sebuah peperangan, pertarungan, perjuangan, perlawanan, pergulatan, ada dua hal yang sangat penting.

Pertama, kenali diri sendiri. Kedua, kenali lawan.

Dalam sebuah puisi barat yang saya sudah lupa siapa penulisnya dan apa judulnya, maklum puisi itu saya baca waktu saya masih kelas 2 SMP. Kalau sampai sekarang masih melekat di ingatan berarti kalimat itu memiliki kebenaran untuk saya., ada bait yang berkata:

"Tuhan ajari aku untuk semakin mengenal diri sendiri, karena mengenal diri sendiri adalah landasan pengetahuan."

Yang dalam interpretasi sederhana saya, sebelum kita bisa belajar tentang apapun, memahami makna kehidupan, mengerti segala hal dan lainnya, kita harus mengenal diri sendiri. Kedengarannya gampang, tapi bukankah ada pepatah yang bilang "buruk muka cermin dibelah."

Ketika kita mencoba mengenal diri sendiri, lebih sering kita melihat kerennya saja. Tapi begitu bagian buruknya, maka kita memilih untuk memalingkan muka atau berusaha untuk menutupinya. Menutupi dan bukan memperbaiki keburukan.

Buktinya, kalau ada sinetron atau film atau buku yang berusaha memaparkan realitas kehidupan orang Indonesia pasti langsung disembunyikan. Pramoedya, misteri SUPERSEMAR dan G30SPKI, misteri Mei 98 dan lainnya. Mungkin ini semua berawal dari pepatah Jawa: Ngono Yo Ngono Neng Ojo Ngono? Begitu ya begitu tapi jangan begitu.

Ada usaha untuk menutupi kebenaran. Untuk menampilkan hanya keindahan. Lebih baik indah tapi penuh tipu muslihat ketimbang kebenaran tapi buruk dilihat. Lebih baik tampil elok tapi perut lapar. Miskin di kantong tampil kaya di baju.

Saya jadi ingat, di suatu pagi Mbak Pargi pembantu kesayangan saya, pernah saya minta tolong untuk merapihkan kamar tidur tamu yang sudah saya jadikan gudang. Ketika pulang saya kagum bukan alang kepalang. Saya pun jadi makin sayang sama Mbak Pargi. Sampai kemudian seminggu berikutnya, saya hendak mencari barang di gudang itu. Alangkah terkejutnya saya, rupanya dibalik kerapihan itu semua tersimpan keberantakan yang luar biasa. Banyak barang-brang rongsokan yang harusnya sudah masuk ke tong sampah masih disimpan.

Ketimbang memilih untuk mengumpulkan barang-barang itu dan memperlihatkannya kepada saya untuk ditanyakan apakah harus dibuang atau disimpan, Mbak Pargi memilih untuk menyembunyikannya dibalik lukisan indah.

Pernah juga dalam sebuah presentasi pitching. Entah apa yang sedang merasuki saya, mendadak saya seolah memiliki ke-nekad-an untuk menyampaikan sejujurnya apa yang saya rasakan. Waktu itu meeting sedang panas karena klien menyatakan kalau pihak agency salah mempresentasikan visi dari brand. Saya kemudian bersuara "you are the owner of the brand. We are the agency. It's not agency's responsibility to tell you, your brand's vision. It's your brand. Not us, not them, but you. The future of the brand is in your hand. Agency can only share their thoughts and ideas on how can you reach your dream and vision for the brand.If you have no vision for the brand, how can you expect others to tell you?"

Ruangan sunyi senyap sesaat. Sampai President Director yang juga pemilik perusahaan raksasa itu meangguk-angguk dan kemudian meeting pun berakhir dengan dingin. Hasilnya jelas, agency kami pun kalah. Alasannya apalagi. Creative Directornya keras kepala.

Bayaran saya sebagai freelancer pun melayang dan saya menyesal. Menyesal karena menyampaikan apa yang menurut saya benar dengan sejujurnya. Menyesal karena saya tidak mentaati falsafah Jawa "Ngono Yo Ngono Neng Ojo Ngono". Menyesal karena besar kemungkinan apa yang saya sampaikan itu tidak masuk akal dan salah besar.

Dalam kesedihan itu saya pun curhat dengan seorang CD orang Malaysia yang saya hormati. Saya berpikir bahwa dia akan memarahi dan kemudian menasehati saya untuk tidak melakukannya di kemudian hari. Secara mengejutkan dia berkata "tell nothing but the truth. The truth on how you feel. You might be wrong, but hey, nothing is right or wrong. If you only be honest and truthfull to yourself and others, some will hate you but those who respect you will respect you forever."

Belum puas, saya berkeluh kesah lagi. Kali ini dengan CD lokal yang sangat saya hormati. Sontak dia berkata "ah loe sih! Yang loe omongin tuh bener aja, tapi kan belum jadi klien. Kalau masih pitching manis manis aja dulu. Nanti kalau udah dapet, baru deh pelan pelan tuh loe omongin pendapat loe." Prinsipnya sama dengan Mbak Pargi yang sedang membersihkan gudang.

Saya tidak ingin membandingkan mana yang benar dan mana yang salah. Keduanya pasti punya alasan dan pengalaman masing masing sehingga mereka bisa berpendapat demikian. Tapi yang hendak saya pertanyakan, bagaimana mungkin kita mengetahui siapa kita sebenarnya kalau banyak kenyataan ditutupi? Kalau hanya keindahan dan kesempurnaan yang ditampilkan. Padahal tidak ada yang sempurna di dunia. Satu satunya yang sempurna adalah ketidak sempurnaan itu sendiri.

Bunga di taman, setiap kelopaknya tidak ada yang sama. Sayap kupu-kupu tidak ada yang persis simetris. Bahkan tubuh manusia tidak ada yang sempurna. Bahkan operasi plastik tidak pernah ada yang sukses. Selalu terlihat aneh hasilnya. Mungkin Sang Pencipta hendak berkata "Kuciptakan manusia dan sekitarnya sempurna karena ketidak sempurnaan supaya mereka berkembang dan terus mencari arti kesempurnaan bagi mereka sendiri."

Kalau pas lagi jalan-jalan di EX banyak anak muda pasangan sedang pacaran. Mungkin akan terdengar sinis, tapi setiap kali saya melihat pasangan yang sempurna (yang laki necis tampan dan wangi, yang perempuan rambut tertata rapih, warna baju terkoordinasi, tas dan sepatu senada, dan lain-lain) saya selalu berpikir pasti ada yang tidak beres dalam hubungan mereka. Masing masing seolah sedang menjaga sikap agar mereka sempurna di depan pasangan masing-masing. Agar mereka tampil tanpa cacat cela, dengan harapan cinta mereka semakin tumbuh berkembang sampai ke pelaminan. Nanti kalau udah menikah, baru keluar aslinya.

Saya pernah membaca sebuah quote lagi
"Teratai terindah tumbuh dari lumpur yang kotor." Interpretasi saya, untuk menjadi tumbuh dan berkembang hanya dengan dan dari ketidaksempurnaan.

Thursday, March 13, 2008

Terbikin Bukan Dibikin

Mulai dari temen-temen di dunia iklan, dunia film, dunia bank, seniman, pemilik restoran sampai supir taksi pernah bertanya kepada gue "wah kenapa gak buka agency sendiri aja?" atau "tinggal tunggu buka agency sendiri nih!' atau "sama temen-temen mending loe buka agency deh!"

Untuk sesaat pertanyaan itu kesannya masuk akal dan seru. Gila aja, siapa gak mau punya agency sendiri. Apalagi kalau pake nama sendiri macam Ogilvy, Leo Burnett, Coleman & Handoko, dan lain-lain. Terkenal dan punya banyak uang. Apalagi kalau karya-karyanya dapet penghargaan, meningkatkan sales, brand dan semua yang ideal. Saking ideal sampai mimpi pun tak berani.

Selama ini, jawaban yang gue kasih selalu sekenanya. "Ah belum waktunya" atau "nanti lah..." atau "loe duluan deh..." dan banyak lagi jawaban basa basi yang gue sendiri sering bosan ngedengerinnya.

Ada satu pertanyaan yang selama ini selalu menggantung di kepala gue "negara ini butuh berapa advertising agency? wong yang ada sekarang aja pada sekarat kok!" Sama kalau pas gue jalan-jalan ke Pasaraya. Melihat tumpukan baju-baju berlimpah ruah menanti pembeli bikin gue sering ngenes. "Berapa banyak baju yang dibutuhkan negara ini?"
Dan herannya, merek-merek baju baru tetap bermunculan. Agency-agency baru tetap buka.
Tahun lalu ada sekitar 8 teman gue yang buka agency. Berarti kalau di rata-rata dalam setiab bulan hampir ada satu agency yang baru buka.

Yang serunya, dari 8 yang baru buka itu, ada yang masih bertahan, ada yang hampir tutup, ada yang lagi bingung cari klien, dan ada yang sama sekali gak tau mesti ngapain. Dan ada juga yang entah memperluas bidang usaha sampai ke event organizer atau bahkan ngurusin kawinan! Bingungnya, lah waktu tahun lalu seru-seruan mau buka agency itu, perhitungannya gimana? Kok udah sewa tempat dan beli Mac segitu banyak? Kok udah berani hire karyawan? Uang dari investor emang gak mesti dipertanggung jawabkan? Atau gak ada tanggung jawab sama sekali?

Atau mungkin karena gue bukan otak bisnis, gak ngerti soal gini-ginian?

Dan teteup, salah satu pemilik agency yang baru yang hampir wasallam itu bilang ke gue "mendingan loe buka agency! sukses pasti!" Sama seperti orang yang matanya berair karena makan mangga keaseman dan bilang "eh makan deh ini mangga, manis!'

Melihat keadaan sekarang, di mana agency pada berebut klien dan ngos-ngosan, wajar kayaknya kalau gue berpendapat, kalau mau buka agency untuk cari uang, lebih baik jualan pisang goreng ponti! Kabarnya ada yang bisa dapet laba bersih 75-100 juta per bulan!

Alhamdulillah, selama ini uang gak pernah terlalu bermasalah untuk gue. Tidak lebih tidak kurang. Cukup. Emang gak pengen dapet uang lebih? Yang pengen dong! Tapi kalau mau nurutin pengen, gak pernah cukup. Kalau gak pernah cukup, gue gak pernah bersyukur. Kalau gak pernah bersyukur nanti Yang Di Atas marah.

Jelas, dapat uang lebih bukan motivasi yang pas untuk gue.

Pengen terkenal dan menang awards? Untuk apa buka agency. Begitu gampang untuk terkenal dan menang awards. Pertanyaannya, kalau sudah terkenal dan menang awards terus mau apa lagi? Lebih terkenal dan menang lebih banyak lagi? Buat apa? Kapan cukupnya? Dan selama gak pernah cukup selamanya gak pernah bersyukur bukan?

Seorang temen deket, yang sangat judes dan tajam pernah bilang ke gue kalau agency itu bukan untuk dibikin tapi harus terbikin.

Gini penjelasannya:

"Kalau BIKIN agency itu, agencynya ada dulu terus baru loe bikin kebutuhannya. Sewa aja kantor dulu, beli komputer dulu, bayar orang dan lain-lain. Abis itu baru pusing cari klien. Kalau ada sih ya bagus tapi yang udah establish aja susah cari klien kok. Sementara modal udah keluar dan terus keluar. Siapa tahan? Sebentar lagi juga tutup.

Tapi kalau terbikin, agency nya itu ada karena kebutuhan. Misalnya loe mulai sendiri dengan satu komputer, terus permintaan dari klien bertambah, terus loe mulai tambah komputer, mulai tambah orang dan seterusnya. Lama-lama semakin besar. Intinya kebutuhan yang membuat loe bikin agency. Ini yang akan tahan lama.

Sama seperti riak air pas batu dilempar ke danau yang tenang. Mulainya dari satu riak kecil untuk kemudian melebar. Itu satu-satunya, satu-satunya, satu-satunya cara untuk mencapai sesuatu. Gak ada cara lain."

Tuesday, March 11, 2008

Aku Yakin

masih banyak malaikat berterbangan di luar sana
yang akan membantu teman kita ray.

dari sejak pertama aku posting poster ray,
sudah terkumpul uang lebih dari Rp 50 juta rupiah
bahkan dari orang-orang yang selama ini belum aku kenal.
alhamdulillah! alhamdulillah!
tuhan maha baik. tuhan maha pemurah.

teman-teman,
keadaan ray memang belum membaik,
karenanya aku pengen mengimbau supaya
mengforward poster ray ini ke mana pun.
facebook, multiply, friendster, dan lain-lain.

kita gak pernah tau,
ada banyak malaikat berterbangan di luar sana.
kali-kali poster ray bisa sampai ke tangannya
dan ray pun bisa selamat dan sehat kembali.
amin.

glenn

NB:
dari Alia:

Temans,
tadi aku sms-an ama Linda dan kalau mau nyumbang bisa juga langsung ke BCA-nya Ray.

Account bca-nya : 2300 326 326
Atas nama : Reinald A. Doodoh

Monday, March 10, 2008

Keadaan Ray Melemah

Teman-teman,
barusan dapat kabar dari ayah Ray
keadaan Ray memburuk.
Tak ada pilihan lain untuk dikemoterapi dulu.
Tapi keuangan belum mencukupi.

Buat teman-teman yang ingin menyumbang,
harap mentransfer segera.
Semakin cepat semakin baik
sebelum terlambat.

PT. Brainstorm Communications

Bank Niaga Cab. Mahakam
Jl.Mahakam I No.14 Jakarta

Acc. No  : 903.02.00226.00.0  (USD)
Niaga Swift Code : BNIAIDJA

Acc. No  : 903.01.00122.00.5  (IDR)


Terima kasih.

Glenn

Sunday, March 02, 2008

The Pathetic Sonata for Freelancer

Pernah ada yang komplen ke gue:
"ah loe selalu cuma ngasih tau yang enak-enaknya aja jadi freelancer.
yang gak enak-nya sedikit banget.
gak sebanding tau!
kan kita jadi tergiur tapi terus jebakan betmen!"

OK!
Sekarang hari Minggu jam 02.05 pagi.
Gue masih di depan laptop ditemani TV.
Si Boy Noya, presenter Bangka-Ambon itu
lagi nyerocos MetroSport jadi background.

Photobucket

Gue belum bisa tidur,
karena besok jam 16.00 sore
gue mesti present ide dan storyline(S) ke agency.
Brief-nya beneran kompleks dan
memang gak bisa dibikin lebih sederhana.
Gak bisa komplen karena brief ini sudah disetujui
secara GLOBAL!

Gue belum ketemu ide.
Mau brainstorming sama siapa ya?
Laptop gue pasti udah bosan dengerin gue ngomong sendiri.
Internet udah habis gue buka semua.
Telepon temen? Bisa dimaki.
YM list gue udah gak ada yang available.

Mau mundur? Bilang "sorry ad people. i have no idea!"
Mereka akan bilang "oh ok... bye!"
Artinya bulan ini gak ada pemasukan dong.
Hidup pake apa?

Berarti suka gak suka, mau gak mau, harus ada ide.
Dan gue belum ketemu ide sama sekali!

Ingatan gue melayang ke zaman waktu jadi karyawan.
Enak banget, bisa punya temen untuk brainstorming.
Pun kalau idenya jelek, ada CD atau ECD untuk jadi bumper.
Gak mungkin ngerasa sendiri kayak malam ini.

Gue juga masih inget saat masih jadi karyawan.
Bisa sms-an sama Yoga, partner copywriter gue,
janjian untuk dateng pagi dan tukeran ide.
Beban jadi gak terlalu berat rasanya.

Atau sekedar sms ke Account Director,
minta dia dateng pagian biar bisa ngobrolin briefnya lagi.
Bahkan kalau perlu peres juga ide dia.
Harmonis dan damai banget rasanya.

Gak perlu juga mikirin soal pemasukan.
Mau gak mau, suka gak suka,
tiap tanggal 25 pasti ada yang transfer uang.
Tenang dan mapan hidup ini rasanya.

Bisa jadi pikiran gue gak akan sebuntu ini.
Karena kalau karyawan sering ada training,
ada buku-buku baru, ada kiriman porto regional,
bisa minta saran ke Canada lah, Singapore lah,
bahkan berhubungan dengan ECD-ECD kelas dunia.
Jadi merasa gak sendirian.

Namanya hidup, gak mungkin sempurna.
Diantara semua derita jadi freelancer,
buat gue yang paling 'dalem' adalah
perasaan sendiri.
Bukan kesepian. Tapi sendiri.

Terus, gue buka website www.freelancerandco.com
Wesbite yang selama ini gue dan Herman urus.
Agak menghibur melihat wajah-wajah teman-teman freelancer-freelancer lain-lain.
"Pada pinter gaya ya, temen-temen itu!" Kata gue dalam hati.
Setidaknya, gue merasa bahwa di kamar-kamar di kota Jakarta ini,
ada teman-teman yang lagi tidur.

Akhirnya gue menyalakan rokok dan beranjak ke balkon.
Kota Jakarta lagi tertidur dengan tenangnya.
Angin dingin mengelus rasa sendiri tanpa ampun.
Gue melihat ke atas.
Langit pun ikutan sepi.

Kata orang, Tuhan selalu mengajak umatnya
untuk melihat berbagai hal dari berbagai sudut pandang.
Malam ini, hati gue seolah berkata:

"Dalam kesunyian, bisa ada keindahan.
Dalam kesepian, bisa ada cinta.
Dalam kesendirian, bisa mengenal diri sendiri."