Sunday, October 26, 2008

Apa Kata Juri AAA 2008?


1 bronze untuk penulisan naskah iklan Masyarakat Peduli Pos Indonesia versi Surat Cinta.
Gak ada silver dan gold.
1 bronze untuk ilustrasi iklan Clue Magazine versi Jakarta Puzzle.
Gak ada silver dan gold.

Dengan hasil ini, menempatkan kita -gue, cecil, yuli, alia, darto, daniel-
di ranking 7 dari Top Ten Agency of The Year 2008 versi majalah Adoi.
Bersama dengan Bajigur.
Peningkatan dari 2 tahun sebelumnya yang ranking 8.
Padahal jumlah metal yang didapat tahun ini lebih sedikit.

Mungkin karena jumlah agency yang ikut tidak sebanyak 2 tahun lalu.
Toh gak pernah sedikitpun bermimpi untuk masuk 5 besar apalagi 3 besar.
Terlalu tinggi untuk seorang freelancer.

Di malam itu Yusca Ismail ngomong ke gue
"kalau yang lain masih mencari kebahagiaan,
kamu udah menemukan dan menciptakan kebahagiaan kamu sendiri ya..."

Tuhan Maha Pemurah. Alhamdulillah.

Terima kasih buat semua yang selama ini selalu ada di belakang kita.
Terutama bapak dan ibu angkat gue di dunia periklanan ini,
Budiman Hakim dan Jeanny Hardono.

DDB Indonesia yang ngasih gue kerjaan terus.
Tanpa pemasukan finansial dari mereka, gak mungkin bisa ikutan.

Buat semua mahasiswa yang selalu jadi inspirasi gue.

Dan di AAA kali ini, untuk pertama kalinya
gue terpaksa naik panggung.
Gak ada Cecil dan Juli yang buat dipaksa naik panggung. :)

Selamat buat semua yang menang!

Wednesday, October 22, 2008

Sesuatu Tentang Leica


Entah ada apa dengan Leica.

Sejak gue belajar fotografi di fakultas desain grafis, gue selalu memimpikan sebuah kamera Leica. Tapi harganya memang luar biasa fantastis.

Seperti contoh yang ada di gambar ini, harganya sekitar 50 jutaan. Buseeeeet, bisa buat DP mobil bahkan rumah.

Gue cuma ngerasa ada sebuah masa lalu di desainnya. Yang mengingatkan gue akan arti kata klasik, gaya, kualitas dan keabadian. Yang lain boleh datang dan pergi. Nikon dan Canon boleh berantem dan beradu keren. Tapi Leica tetap pada pendiriannya. Walau sudah dibeli Panasonic, buat gue, Leica selalu istimewa.

Sampai suatu hari, gue iseng-iseng ngisi tes imut di internet. Judul tes-nya If You Are A Brand. Tes ini akan mengidentifikasi kepribadian dengan brand yang sesuai. Dan benar saja, brand pertama yang sesuai dengan kepribadian gue adalah Leica.

Tes ini jadi mengingatkan gue akan impian masa kuliah. Saat itu gue masih lugu. Gak mengenal nilai Rp 50 juta. Saat itu semua masih gue anggap mungkin. Dan saat itu Leica seolah gampang dikejar. Tapi 15 tahun kemudian, sekarang, Leica malah tampak semakin jauh. Bahkan, ada suara kecil di hati gue yang berkata "walaupun uangnya ada, kayaknya gak pantes deh untuk beli Leica".

Untuk menghibur diri, gue seneng merenung. Dalam perenungan kali ini, ada sajak di kepala gue. Judulnya "Leica"

Leica

Leica, Leica on the wall,

tell me who is the greatest of them all?

Photos, photos on the wall,

show me the fairest of them all?

And Leica replied:

Nor the object, nor the subject.

Nor the composition, nor the gradiation.

Nor the photo, nor the lighting.

Nor the camera, nor the lenses.

Nor the photographer, nor the paper.

The story.

Let me be the pen for a storyteller,

not a camera for a photographer.

Use me not to take a sheet of photo.

Use me to take a sheet of life.

Keep me not in a sturdy bag.

Keep me in hand of time.

For I am Leica.

Sunday, October 19, 2008

3 Investasi Duniawi

Seorang temen deket gue pernah berkata,
ada 3 macam investasi duniawi yang bisa bikin
seseorang jadi paling hebat.

Yang pertama adalah UANG.
Jelaslah, kalau punya uang banyak, semua bisa dibeli, bisa dimiliki.
Dengan punya uang, semua orang akan tunduk sama kita.

Yang kedua adalah SENJATA.
Dengan punya senjata, maka dunia akan bertekuk lutut di depan kita.
Mereka akan membeli senjata dari kita dengan kesadaran
bahwa besar kemungkinan kita punya senjata yang lebih canggih dari yang kita jual.

Yang ketiga adalah ILMU
Orang pinter pasti dicari orang di seluruh dunia.
Ilmu yang di atas rata-rata akan membuat kita disegani.
Dengan ilmu kita bisa mempelajari dunia dan masa depan.
Dengan ilmu kita bisa bikin yang lain jadi merasa bodoh dan kecil.

Dari semuanya itu, yang pertama udah pasti gak bisa gue miliki.
Gue bukan dari keluarga kaya raya. Gue gak bisa korupsi.
Sebanyak-banyaknya uang yang gue terima dari hasil kerja gue,
gak mungkin bisa melebihi kekayaan keluarga Bakrie misalnya.
Apalagi dengan adanya resesi global seperti sekarang,
wah banyak orang jadi gila -beneran- karena uang.

Investasi yang kedua, lebih gak mungkin lagi.
Mau bikin senjata dari mana? Ngerti soal senjata aja enggak.

Satu-satunya investasi yang bisa gue kejar adalah ILMU.
Mungkin gue gak akan seberilmu Bill Gates,
tapi setidaknya gue bisa berusaha untuk selalu menambah ilmu.
Dengan gue punya ilmu, maka gue bisa menyebarkan ilmu
kepada semua orang yang menginginkannya.
Dan mengejar ilmu, gak perlu mahal, gak perlu uang.
Ilmu ada di mana-mana.
Tuhan Maha Pemurah.

Alhasil selama ini, gue selalu berusaha mengejar ILMU.

Sampai 3 minggu yang lalu.
Tiba-tiba perut gue melintir. Nyerinya minta ampun.
Gue muntah berkali-kali dan mulut gue terasa asam.
Karena lemas gak bisa berjalan, akhirnya gue selonjoran di lantai kamar mandi.
Dengan kepala di dudukan toilet.
Gue terus duduk di situ sambil mengingat-ingat,
langkah apa yang harus gue ambil dalam keadaan begini.

Hape jauh dari genggaman. Untuk berjalan mengambil gue gak kuat.
Akhirnya gue mengingat, pesan seorang guru yoga: atur napas.
Benar juga, sakit sedikit berkurang.
Sampai akhirnya gue kuat juga untuk mengambil hape.

Ternyata temen gue kurang kasih info.
Ada satu lagi investasi yang gak kalah pentingnya. KESEHATAN.
Gue sadar selama ini gue sering gak memperhatikan kesehatan.
Makan gak teratur, ngerokok terus, kurang minum air putih,
tidur kurang, kurang makan buah dan sayuran, dan semuanya
yang bikin badan gue tersiksa.
Sampai akhirnya berontak.

Sekarang, jadi ada dua investasi yang akan gue kejar. ILMU dan KESEHATAN.
Dan gue menemukan, kalau KESEHATAN lebih penting dari ILMU.
Apa gunanya berilmu kalau gak sehat? Kalau sakit-sakitan?
Tapi kalau sehat bisa terus mencari ilmu.

Tuesday, October 14, 2008

Nasi Goreng



Gue sering bertanya dalam hati gue sendiri, agency seperti apa sih yang ideal itu? Kreatif seperti apa yang ideal? CD seperti apa yang ideal? Hidup seperti apa yang ideal? Dan semuanya yang mempertanyakan dan menginginkan kondisi yang ideal.

Ideal di sini dalam artian semua adalah yang terbaik. Misalnya kebayang gak betapa serunya kalau dalam semua agency ada CD terbaik, client service terbaik, planner terbaik, pokoknya yang terbaik yang ada di negeri ini. Pasti iklan yang dihasilkan adalah iklan yang terbaik pula dong. Ya dong ah!

Tapi kenyataan sering berkata lain. Gue belum pernah menemukan situasi ter seperti di atas. Kalaupun ada yang mendekati, iklan yang dihasilkan boleh dibilang ya agak jauh dari dari terbaik.

Sebaliknya, sering gue menemukan iklan-iklan yang seru, keren, lucu, dan terbaik menurut gue pada saat itu, dibuat dengan keadaan yang sangat mengkhawatirkan. CD-nya sering ngilang-ngilang, brief-nya gak jelas, klien-nya resek. Kok bisa ya?

Kali ini, lagi-lagi Tuhan seperti memberikan jawaban persis ketika gue makan siang nasi goreng bersama klien di sebuah hotel mewah di kawasan Dharmawangsa.

Menurut gue, nasi goreng paling enak adalah nasi goreng yang sering gue beli di pinggir jalan. Entah kenapa, rasanya pas, gak terlalu manis, gak terlalu asin. Nasinya pulen, bukan yang lengket-lengket benyek. Pokoknya puas!

Tapi gue selalu gagal kalau pesen nasi goreng di restoran mahal atau di hotel seperti sekarang ini. Nasinya benyek, kadang kemanisan, lauk sandingannya sering gak seirama seperti sate, pokoknya menyedihkan. Padahal harganya bisa 15 kali lebih mahal dari nasi goreng pinggir jalan.

Kalau dipikir-pikir, nasi goreng di hotel sering dibuat dari bahan terbaik. Beras terbaik, minyak goreng bersih, ayam yang empuk, daun bawang hidroponik, pokoknya semua yang ter-ter.

Kok bisa gak enak?

Sementara nasi goreng pinggir jalan, wajannya saja jelas sudah beda jauh. Minyak gorengnya, wah bisa keliatan dari tingkat kejernihannya yang rendah. Ayam yang disuir-suir juga terlihat sudah kering.

Kok bisa enak?

Walau makan siang gue agak bikin sedih (gue sering ngerasa sedih kalau makan nasi goreng, spageti atau masakan cina gak enak-red) tapi alhamdulillah hari ini gue belajar sesuatu.

Yang pasti sejak hari itu gue gak percaya lagi dengan istilah "garbage in garbage out".

SIMPLE

Di dunia iklan, kita sering mendengar kata ini.

"Iklannya keren.... simpleeeeee banget gitu loh!"

"Strategynya kurang simple deh..."

"Iklan ini menang karena simple..."

Bertahun-tahun di dunia iklan, gue punya pertanyaan, apa sih padanan bahasa indonesia kata: simple?

Karena simple itu bukan sederhana atau bersahaja. Sederhana atau bersahaja itu lebih ke humble. Ia sangat bersahaja jadi she is very humble. Bukan she is very simple.

Buat gue kata simple itu bermakna tidak berlebih tidak kurang. Pas. Simple itu juga bermakna apa adanya. Tapi juga tidak menjadi simplistik, yang dalam bahasa indonesianya, menggampangkan.

Gue sering denger "nih ide gue, keren kan... simple gitu loh." Dalam hati gue berkata ah ini mah bukan simple, tapi simplistik. Ngegampangin. Menyederhanakan masalah. Simple itu tidak begitu.

Apakah bahasa Indonesia untuk simple adalah simpel?

Sunday, October 05, 2008

Kreatif dalam Sekotak Rokok

Gue sering ditanya oleh temen dan bertanya pada diri gue sendiri, "apa sih kreatif menurut gue?"

Selama ini gue selalu kesulitan dalam menjelaskannya.

Kalau kata orang Tuhan memberikan jawaban melalui tanda-tanda di sekitar kita, kali ini jawaban itu sepertinya ada di kotak rokok.

Kita semua pasti pernah ngeliat bagaimana Lucky Strike keluar dengan ide-ide kreatif dalam kotak rokoknya. Yang buka dari samping lah, yang ada lingkaran bolongnya lah, ada bisa diteken dari bawah, bahkan ada yang bentuknya seperti pocket camera.

Benar-benar menarik dan menghibur.

Satunya lagi adalah kotak rokok Dunhill Menthol. Namanya Freshness Seal. Lapisan aluminium yang biasanya ditarik robek dan kemudian dibuang, berinovasi menjadi lapisan aluminium yang bisa dibuka tutup ulang dengan perekat. Jadi bagian atas aluminium itu selalu tertutup rapat.

Seperti kita ketahui, rasa menthol pada rokok ada pada bagian puntungnya, dan atau di aluminium seal nya. Dengan adanya Freshness Seal ini, rasa menthol jadi lebih tahan lama dan rokok itu sendiri jadi lebih awet. Gak gampang lembab.

Lucky Strike dan Dunhill Menthol, dua-duanya sama-sama kreatif. Lucky Strike bermain di arena yang menghibur. Sementara Dunhill Menthol bermain di arena yang fungsional.

Menurut gue, arti kreatif sesungguhnya ada di Dunhill Menthol.

Bisa jadi gue salah. Bisa jadi gue bener. Semua pemikiran ini hanya perjalanan aja. Kalau suatu hari gue berhenti merokok, mungkin itu kreativitas yang lebih sesungguhnya.

Saturday, October 04, 2008

KE-LEBARAN DARI PEDRO!



Dari jauh hari gue udah rencana mau menghabiskan liburan lebaran dengan nonton dvd. Akhirnya satu set dvd film-film karya Pedro Almodovar ini jadi kado lebaran gue. Walau memang menguras kocek, tapi gak sedikit pun gue ngerasa rugi. Inspirasi tentang kemanusiaan yang Insya Allah membuat gue jadi ngelihat sekitar dengan ke-lebaran baru dan lebih positif.

Sekarang gue ngerti kenapa banyak temen bilang "loe mesti nonton Almodovar, Ozu dan Abbas Kiarostami. Loe banget deh!"

Walau sampai sekarang gue gak tau apa itu yang "gue banget deh", tapi memang film-film Almodovar bikin gue terbuai persis kayak anak kecil didongengin. Bukan untuk pengantar tidur. Tapi pembuka mata. Dan di saat mata gue terbuka itu, gue jadi makin sadar kalau gue ternyata kecil banget, seperseribu kutu.

Serunya, ketika gue ngerasa kecil-banget-hampir-gak-keliatan itu, gue bahagia banget. Yang di dalam rasanya jadi tentram.

Favorit gue pribadi ada dua film, Talk To Her dan Bad Education.