Thursday, June 29, 2006

Soal Aku dan Dia - Unedited Version

Disebut sebagai ‘anak kreatif’ di bisnis iklan semakin hari terasa semakin memalukan dan memilukan. Kreatif untuk membantu klien mengelabui konsumen sehingga mereka membeli barang yang mereka tidak perlukan? Kreatif untuk membuat konsumen merasa kecil karena kulitnya hitam dan rambutnya keriting? Atau kreatif karena bisa memberikan uang jutaan rupiah untuk advertising agency tempatnya bekerja dan milyaran rupiah untuk klien?

Dalam sebuah meeting dengan klien, salah seorang pemegang tampuk pimpinan berkata “udahlah… produk bagus jelek itu kan soal persepsi”. Atau di lain kesempatan, seorang pemilik sebuah brand terkemuka berkata “Tulis aja gratis yang besar. Masalah gratisnya gimana, taruh di bawah kecil-kecil. Kalau perlu gak usah kelihatan. Gitu dong! Gimana sih nih kreatifnya? Gak ngerti bisnis. Yang penting kan konsumen ketangkep dulu!”

Saya, anak kreatif, ada di ruangan itu. Dan terdiam. Saya berpikir, mengapa saya harus ada dalam ruangan ini? Saya tidak ingin memberikan persepsi yang keliru kepada konsumen. Karena bukankah konsumen itu adalah ibu dan ayah saya sendiri? Teman dekat saya. Pacar saya. Tegakah saya membohongi dan menyiasati mereka. Dan di atas segalanya, konsumen adalah saya sendiri. Dan bukankah klien konsumen juga?

Lupakah kita, bahwa semakin hari orang semakin membenci iklan karena mengganggu acara sinetron mereka? Lupakah kita bahwa semakin banyak teman dan sahabat dan keluarga kita yang menyadari bahwa iklan tak lebih dari sekedar kebohongan. Saya semakin yakin, hanya orang iklan dan klien yang menantikan dan menikmati iklan.

“Dasar anak kreatif! Taunya komplen muluk! Sok idealis banget sih! Ini cuma advertising, gak akan yang mati, tau!”

Ucapan seorang guru advertising di sebuah restoran Padang berikut, bisa jadi sedikit memberikan harapan baru bagi kita. “advertising bukanlah soal 30 atau 50 orang dalam sebuah advertising agency dan klien yang kemudian berbicara untuk 250 juta lebih penduduk Indonesia. Tapi soal saya dan kamu. Soal saya dan ibu saya. Soal kamu dan pacar terakhir kamu”. Sedekat itu. Sesederhana itu. Serumit itu.

Media-media konvensional seperti tv, print, radio dan lainnya semakin lama semakin ‘penuh’. Kita bahkan tidak lagi bisa melihat perbedaan antara iklan yang satu dengan iklan yang lain. Semua menggambarkan orang bertubuh ideal tersenyum lebar. Semua menampilkan sosok keluarga bahagia. Semua memberikan mimpi hidup ideal.

Saya ingat, di sebuah harian umum nasional terkemuka seminggu sesudah bencana tsunami di Indonesia, memasang foto-foto memilukan hati. Anak kecil yang sudah meninggal dunia sedang digendong ibunya yang
sedang menangis histeris. Ada foto seorang pria yang kehilangan kakinya. Lukanya menganga dengan darah basah mengalir deras. Dan tebak, di bagian bawah foto-foto itu... iklan malam tahun baru oleh sebuah hotel berbintang lima. Headlinenya: "Embrace The Blasting New Year!"

“Nah itu tugas kreatif dong! Gimana caranya biar tampil beda tapi tetep sensitif. Ya gak? Kalau gak mah ngapain gue bayar kreatif? Gue bikin aja iklannya sendiri!”

Seperti pengobatan alternatif, belakangan banyak dibahas soal media alternatif. Apa itu media alternatif? Menurut saya, ya… media-media lain di luar media konvensional seperti tv, print, radio, billboard dan lainnya. Bisa jadi ambient media, seperti yang ditulis di edisi sebelumnya, direct mail (yang dikirim ke alamat anda), viral (yang lewat internet), happening art (yang drama-drama di tempat umum), roadshow (yang keliling-keliling dari satu kota ke kota lain, kampus ke kampus lain, dan lain-lain), activation (yang lagi happening!) dan masih banyak kemungkinan lainnya.

Saya sendiri hampir gak pernah beruntung untuk bisa banyak bikin media alternatif. TV, print, radio masih jadi primadona. Media alternatif jarang digarap dengan serius bahkan oleh orang iklannya sendiri. Contohnya, anak kreatif akan lebih senang dan antusias untuk bikin print ad ketimbang leaflet sampling. Lebih seru bikin tvc ketimbang design booth untuk roadshow. Semua yang gak seru dilempar (dibuang?) ke studio. Dianggap gak penting.

“Tuh kan bener! Emang anak kreatif tuh manja banget! Maunya cuma menang award doang. Pas kerja yang beneran, gak pernah serius!”

Memang kalau saya mau bertahan jadi ‘anak kreatif’ di bisnis iklan. Masih banyak yang harus dipelajari dan dibenahi sendiri dulu. Masih banyak kekurangan dan kelemahan. Semoga lah!

“Semoga muluk! Kapan dong, kapaaan! Pabrik gue keburu tutup, tau!”

Ampun.

Monday, June 19, 2006

Wong Bantul Tetep Sugih Ugo Tanpo Bandha

(Orang Bantul Tetep Kaya Meski Tanpa Harta)

Photobucket - Video and Image Hosting

"Mas mangan mas... ngombe yo..
tapi saiki cuma air putih..." kata Parjinah
di depan rumahnya yang sekarang rata sama tanah.
"Matur nuwun mbok..." saya menjawab
sambil mengambil biskuit sumbangan dari Jakarta
dan mengambil air putih gelasan.

Sambil makan biskuit saya tak berani menatap wajahnya.
Sudah lama yang di dalam sini tidak disentuh seperti ini.
Bagaimana mungkin, di tengah ketiadaannya
orang masih berniat untuk berbagi.
Berniat menjamu dan menyenangkan orang lain.
Orang dari Jakarta seperti saya
yang baru dikenalnya 5 menit.
Orang dari Jakarta yang malamnya
menginap di hotel bintang lima Jogja.
Orang dari Jakarta yang saat hujan
dan panas terlindung kesegaran AC,
tidak pernah kekurangan makan minum.

Seketika saya jijik sama diri sendiri.
Saya merasa begitu rendah.
Tidak bersyukur dan selalu meminta.
Hampir tidak pernah saya berniat berbagi.
Semua untuk saya. Dan saya sendiri.
Kalau perlu menang piala dan penghargaan.
Supaya saya diakui. Dihargai.

Mbak Parjinah mengajarkan pada saya
kebahagiaan memberi.
Karena hidup ini adalah sementara.
Kita tidak pernah tahu kapan Dia memanggil.

Photobucket - Video and Image Hosting

"Iki mas Yanto mas, anakku.
Kakaknya meninggal kemaren gempa padahal wes kerja..."
kata Ibu Sumiati dengan wajah yang terlalu biasa
untuk seorang ibu yang baru kehilangan anaknya.
Suaranya sempat serak sebentar tapi kemudian tersenyum
sambil memperkenalkan anaknya yang
masih memakai seragam SMA.

"Baru pulang sekolah?" tanya saya.
"Lagi gak sekolah mas. Belum punya baju ganti jadi pake seragam" jawab Yanto.

Lagi lagi saya tak berani menatap Ibu Sumiati.
Saya langsung merasa jadi orang paling lemah sedunia.
Bagaimana sedikit saja gangguan dan cobaan dalam hidup,
saya langsung marah-marah, kecewa, putus asa
dan kalau bisa menyalahkan orang lain.

Photobucket - Video and Image Hosting

Pagi itu, saya dan tim kembali ke Bantul.
Matahari baru keliatan sebagian.
Udara luar lebih dingin dari AC di mobil.
Turun dari mobil saya langsung mengunjungi
teman baru saya, Alianti.

Alianti baru berumur 6 bulan.
Rupanya Ia sudah bangun dan lagi disuapi bubur susu SUN.
Ayahnya bekerja di Indofood bagian distribusi.
Kenapa Alianti teman baru saya?
Karena kemaren Alianti mengambil biskuit dari tangan saya
dan memasukkan ke dalam mulutnya.
Ketika saya hendak menggendongnya,
tiba-tiba bumi bergetar sesaat diiringi suara kentongan pertanda gempa.
Alianti menangis karena suara keramaian.

Photobucket - Video and Image Hosting

Pagi itu Alianti mengenakan topi kotak kotak dan kaos putih.
Ia tampak curiga menatap saya.
Saya mendekatinya.
Dan tiba tiba kedua tangannya terbuka minta digendong.
Dan hup! Seketika Alianti dalam gendongan saya.

"Selamat Ulang Tahun, Glenn!"
Saya anggap itulah yang Alianti hendak sampaikan kepada saya.
Pipinya saya cium cium sampe berbunyi seperti sapi.
Alianti tertawa menghangati pagi itu.

Dalam perjalanan balik ke rumah Mas Butet,
saya melihat spanduk besar bertuliskan:
Wong Bantul Tetep Sugih Ugo Tanpo Bandha.
Luki menjelaskan artinya sambil mengajarkan
cara pelafalan kata bandha.

Saya ingin mengucapkan kalimat ini dengan benar.
Karena apa yang tertulis memang benar adanya.

Photobucket - Video and Image Hosting

http://glennmarsalim.multiply.com/photos/album/36

Monday, June 05, 2006

Amigos Para Siempre - You Will Always Be My Friend

Setelah iklan Clue kedua dipasang di multiply gue,
devianart Cecil dan Yuli, banyak pendapat yang masuk.
Seperti yang sudah diduga, perbandingan itu pun terjadi.
Ada yang suka sama seri iklan Clue pertama.
Ada yang suka sama seri iklan Clue kedua.

Semua saran, kritikan dan masukan tiba-tiba kami rasakan
seperti berkah. Kayak belajar. Gratis.
Terima kasih buat semua dan jangan pernah bosan
untuk memberi masukan kritikan saran buat kami.
Semakin tajam, semakin seru.
Karena kami jadi makin belajar.
Jauh lebih berguna ketimbang suatu hari menang awards.

Sekarang, kami hendak memberikan sedikit gambaran
apa yang sebenarnya hendak kami lakukan.
Apa yang hendak kami jalani.
Sehingga hasilnya seperti yang kita lihat sekarang.

Kalau ingat, Clue pertama dibuat ketika Cecil dan Yuli baru lulus.
Mereka masih muda dan hijau. Lagi seger-segernya.
Dan mereka dianugerahi Tuhan dengan talenta menggambar.
Bukan cuma menggambar, tapi menggambar dengan hati.

Lugu, polos, ekspresif, berwarna-warni.
Anti kemapanan. Semua aturan dipertanyakan.
Bahkan logo pun menemukan dirinya ikut digambar.
Inkonsisten. Bergerak mengalir.
Bahkan terbang.

Iklan Clue pertama adalah ekspresi kebebasan mereka.
Setiap tarikan garisnya adalah cerita tentang kebebasan.

Sementara Clue kedua dibuat ketika Cecil dan Yuli sudah bekerja.
Cecil di MACS 909 dan Yuli di DDB Advis.
Satu agency lokal, satunya lagi agency multinasional.
Mereka tumbuh dan berkembang.
Semakin banyak belajar tentang iklan.
Dan semakin memahami bahwa 'melihat ke dalam'
adalah sebuah kelebihan.

Mencari inspirasi dari sekitar. Dari orang-orang yang mereka lihat.
Ketika hendak menunggu busway. Mau nonton.
Makan di pinggir jalan. Mbok jamu. Tukang minyak keliling.
Mencari keindahan diantara keruwetan kota Jakarta.
Untuk dicoba diangkat menjadi iklan cetak.
Sehingga semua orang Jakarta bisa merasa memiliki.

Clue pertama, bule banget.
Clue kedua, Jakarta banget.
Clue pertama, ekspresif banget.
Clue kedua, rapih banget.

Tapi keduanya punya satu kesamaan.
Dikerjakan dengan harapan untuk memberikan hanya yang terbaik
untuk teman-teman semua dan kami sendiri.
Karenanya, jangan pernah meninggalkan kami.
Kritiklah. Beri kami masukan, arahan, saran.
Supaya perjalanan kami mencari iklan Indonesia di tengah dunia,
menjadi milik kita semua.

Amigos Para Siempre