Tuesday, January 30, 2007

IDE

Sejak awal bekerja di bisnis iklan ini, kata 'IDE' sudah jadi seperti makanan sehari-hari.

"Ah gak ada idenya!"

"Idenya apa?"

"Eksekusinya bagus tapi ide-nya biasa aja!"

"Anak kreatif kan idenya banyak."

Dan ribuan lagi yang kesemuanya menempatkan ide sebagai kata yang sakral. Apalagi katanya, bisnis iklan adalah bisnis menjual ide.

Di perjalanan saya sekarang, setelah 2 tahun menjadi tenaga lepas a.k.a freelancer dunia iklan, saya memiliki dua pertanyaan tentang ide.

1. Apakah Ide Itu?

2. Mengapa Perlu Ide?

Pertanyaan yang pertama sudah sering saya tanyakan ke banyak orang. Mulai dari orang iklan senior sampai mahasiswa. Mulai dari sutradara film sampai tetangga. Dan tentunya kita bisa menebak, semua memberikan jawaban yang berbeda-beda. Semua punya idenya sendiri-sendiri tentang apakah itu ide. Bahkan para pemikir ulung kelas dunia pun memiliki pendapatnya sendiri-sendiri.

"A new combination of old elements." - Pareto

"In advertising an idea results from a new combination of specific knowledge about products and people with general knowledge about life and events." - James Webb Young

"…that moment of insight becomes the creative act as a joining of two previously incompatible ideas." - Lyall Watson

Saya tidak akan pernah lupa, bagaimana saya, Mbak Jeanny Hardono dan Oom Budiman Hakim, beradu pendapat soal ide dalam iklan. Ada yang bilang itu ide eksekusi, ide awal, sampai irisan antara what to say dan ide. Gila! Bener-bener seru dan memusingkan. Atau yang terakhir ketika saya diundang ke acara PEKIK di Jogja, saya diundang menjadi pembicara seminar bertema "How to create great ideas?"

Kalau semua orang memiliki pendapatnya sendiri-sendiri, mungkinkah kita menjual ide? Karena kemudian pertanyaannya menjadi ide menurut siapa -bukan ide siapa- yang dijual? Menurut CD? Menurut Planner? Menurut Account? Menurut klien? Dan kalaupun kemudian ide itu menjadi satu persepsi, pertanyaan berikutnya apakah konsumen menerima -bukan sekedar mengerti- ide tersebut? Apakah konsumen mempercayai ide tersebut? Dan yang paling penting apakah konsumen peduli dengan ide tersebut?

Bayangin, kalau anak-anak kreatif bilang "eh gue mau cari ide dulu nih!" Ide itu apa aja gak jelas kok ya dicari? Hehehe!

Dari keribetan itu, saya kemudian memiliki pertanyaan kedua "Mengapa Perlu Ide?"

Di tengah serbuan jutaan iklan perhari dan kesulitan kehidupan modern, mencari perhatian konsumen dengan iklan jelas bukan kerjaan gampang. Iklan kita bisa dilihat orang saja sudah bagus banget! Karena artinya iklan kita menarik.

Nah, untuk bikin iklan yang menarik, perlukah ide?

Kalau saja kita mau meluangkan waktu untuk memperhatikan sekeliling kita, kita akan memahami mengapa konsumen acuh sama iklan. Bosan. Jawabannya, iklan-iklannya terlihat sama semua. Otak kita bekerja seperti layaknya scanner dan hanya berhenti hanya kalau ada yang menarik.

Coba jawab dengan jujur pertanyaan ini, mana yang lebih menarik perhatian kita pertama kali. Yang cakep tapi bodoh atau yang jelek tapi pinter? Bohong lah kalau ada yang bilang kepinteran itu bisa menarik perhatian pertama! Kan gak keliatan.

Sama seperti iklan. Iklan yang katanya beride brilian adalah iklan yang pinter. Tapi tanpa dibungkus dengan eksekusi yang menarik, iklan itu kemungkinan besar tidak akan terlihat. Dan kalau tidak terlihat, mau ide secanggih apapun akan terbuang percuma.

Sebaliknya, kalau iklannya bodoh atau tak beride itu tadi dibungkus dengan eksekusi yang menarik, setidak-tidaknya masih dilihat orang.

Mau pinter mau bodoh, yang penting menarik perhatian dulu!
Buka telinga dan dengar bagaimana konsumen menilai iklan kita.

"Duh si Aming lucu banget!"

"Tuh cewek Pond's anjrit mulus abis bo!"

"Loe liat iklan Clear yang baru gak? Teteknya tuh cewek gede banget ya!"

Dan cuma orang iklan yang komen:

"Aduh idenya bagus banget! Idenya brilian!"

Kalau suruh memilih, saya lebih senang dan bangga kalau iklan saya diomongin konsumen. Bukan orang iklan yang jumlahnya gak lebih dari seperseratus jumlah penduduk Indonesia.

Eksekusi menjadi begitu penting hari begini. Ini mungkin juga salah satu alasan mengapa di dua tahun belakangan, craft mendapat tempat tersendiri di ajang award periklanan.

Bukan berarti saya mau bilang ide itu tidak penting, secara saya juga belum punya pendapat tentang apa itu ide, tapi kalau boleh saya ingin menyarankan agar kita lebih rileks dalam membuat iklan. Iklan bisa dibuat dari eksekusinya dulu atau idenya dulu. Karena apapun itu, yang penting iklannya menarik. Pernah denger istilah 'idenya di eksekusi'? Menurut saya tidak ada salahnya. Dan bahkan banyak iklan pemenang awards internasional juga memiliki ide di eksekusinya.

Saya menulis ini bukan tanpa sebab. Setelah bekerja dengan banyak kreatif, saya lebih sering menemukan kreatif yang begitu tegang dan saklek dalam membuat iklan. "Stress cari ide dulu!" katanya. Tapi pas udah ketemu yang katanya ide itu dan kemudian dieksekusi, hasilnya ya gitu-gitu aja. Saya merasa pencarian dan pengsakralan ide itu menjadi begitu arogan dan eksklusif sehingga melupakan konsumennya.

Ide begitu luas dan bebas. Bahkan sekedar menaruh logo di cangkir kertas pompa bensin pun bisa disebut ide. Atau bikin cerita cinta lucu untuk iklan TV dan dibagi dalam 4 seri juga bisa disebut ide. Atau menambah jumlah curly fries agar penjualan terdongkrak juga bisa disebut ide.

Bukan masalah kalau iklan kita idenya kecil atau tidak ada idenya sama sekali. Tapi kalau kita bisa membuat konsumen jadi memiliki ide, mengaspirasi, menginspirasi atau setidaknya menghibur, setidaknya iklan jadi sedikit berarti.

(2 tahun jadi freelancer. cepet banget ya... wish me luck!)

Saturday, January 20, 2007

Kreasi Terbaru!

Photobucket - Video and Image Hosting

Kiri:
Ayam Kodok dengan Saus Jamur dan Spageti Oregano disajikan dengan sayur rebus.
Kanan:
Salmon Panggang dengan Lada Hitam disajikan dengan Spageti tumis jamur dan bawang.

Persiapan kalau dunia iklan gak mau gue lagi.
:)

Tuesday, January 16, 2007

Jawaban untuk Kebingungan Setelah Seminar PEKIK - UGM

setelah beberapa kali jadi pembicara atau pengajar di berbagai perguruan tinggi, saya mempunyai satu kesimpulan. ujung-ujungnya yang sangat amat diingin tahukan mahasiswa terbagi dalam dua pertanyaan besar.
1. bagaimana mencari ide brilian dalam waktu sesingkat-singkatnya dan sebrilian-briliannya.
2. bagaimana bisa mendapatkan kerja di advertising agency juga dalam waktu sesingkat-singkatnya. bahkan kalau bisa langsung jadi CD.

sama halnya ketika UGM memanggil saya sabtu kemaren. dengan tema seminar "how to get brilliant ideas?" apalagi? pasti pertanyaan nomor satu di atas yang diinginkan dari saya.

sebenarnya, kalau saya ingin semuanya berjalan dengan mudah dan mulus, yang akan saya lakukan adalah tinggal
mengutip ilmu-ilmu dari buku-buku iklan. misalnya cutting edge, lanturan tapi relevan kemudian saya
rangkum, lengkap dengan contoh-contoh iklannya, kemudian saya presentasikan kembali. selesai. semua pulang dan seolah-olah telah mendapatkan jawabannya.

tapi saya mempunyai pemikiran dan pendapat yang berbeda. menurut saya, tidak ada jalan pintas cepat untuk mencari ide yang briliant dan yang kedua saya sendiri belum pernah merasa mendapatkan ide brilian. dan bahkan, sampai saat ini, apakah ide itu masih menjadi pertanyaan terbesar saya. saya ingat, dengan budiman hakim saya pernah adu pendapat soal ide dan diakhiri dengan kita berdua sepakat untuk tidak sepakat.

menurut saya, yang begitu menarik dan menggairahkan dalam dunia iklan adalah sifatnya yang terus bergerak dan selalu mencari cara untuk mendobrak pola dan formula. kenapa? karena konsumen, dan kita sendiri sebagai pembuatnya, bergerak seiring zaman.

dan untuk menghasilkan iklan yang setidaknya dilirik orang, diperlukan keberanian untuk mendobrak dan mengambil resiko. ada jutaan iklan di luar dan di dalam sini. tanpa ada dobrakan baru, maka iklan kita tidak akan terlihat.

dari mana harapan akan ke'baru'an itu? yang terbesar ada di mahasiswa. jelas.

tapi, kalau misalnya kita pernah melihat pameran karya iklan mahasiswa, terus terang harapan akan kebaruan itu tipis sekali. hampir 90% karya iklan itu masih menggunakan pola-pola lama dan bahkan banyak pula yang kuno. atau misalnya ketika seorang peserta bertanya "saya perhatikan iklan mas glenn terkesan penuh gitu... kok gak ada white space-nya? kok gak ada
breathing space gitu!"

sontak, bulu kuduk saya berdiri. dari mana aturan bahwa iklan cetak harus ada white space? harus ada breathing space? buat saya, ini jauh lebih membingungkan. karena aturan itu tidak pernah ada.

di jogja kemarin, akhirnya saya memberanikan diri untuk presentasi dengan mengisi rongga-rongga di hati dan pikiran mahasiwa yang selama ini mungkin kurang atau belum diisi.

yaitu rongga untuk berimajinasi. untuk sesaat melepaskan diri dari segala aturan iklan. untuk sesekali kembali ke hakikat iklan sebagai komunkasi. dan komunikasi tidak lebih dan tidak kurang, seperti manusia yang satu berbicara dengan manusia yang lain.

dan untuk bisa berbicara dengan manusia lain, kita membutuhkan sensitivitas yang tinggi. kepekaan. butuh kehalusan perasaan. butuh imajinasi. dan bukan sekedar ide.

untuk mahasiswa yang merasa pulang dengan kebingungan, pertanyaan, bahkan tidak puas dengan seminarnya, saya minta maaf. yang saya presentasikan kemaren memang bukan jawaban. karena saya percaya jawaban itu tidak pernah ada.

saya yakin hanya dengan terus memiliki pertanyaan dan mempertanyakan, dan dengan meninggalkan area kenyamanan semu bernama pola dan formula, harapan itu insya allah akan semakin tebal.

Monday, January 01, 2007

Badan Bagus VS Badan Sehat

Photobucket - Video and Image Hosting

Gue yakin, di tahun baru ini, pasti banyak yang bikin resolusi untuk punya badan bagus kayak cover majalah men's health atau vogue. Mungkin ada juga yang punya resolusi pengen rajin ke gym. Dari sekali sebulan jadi 3-4 kali seminggu.

Sekarang, ijinin gue berbagi cerita tentang pengalaman gym gue. Bisa jadi berguna, bisa jadi enggak, tapi buat iseng-iseng aja.

Gue mulai ngegym dari tahun 2001. Waktu itu dengan tinggi yang cuma 170, berat 68 kilo gue jadi ndut, muka gue jadi lebar, dan dagu gue jadi ada 3 kayaknya!. Terus gue ngegym. Hanya dalam waktu 3 bulan, berat badan gue susut jadi 60 kilo. Udah ideal banget. Perut gue mulai ngasih liat bayangan sixpack, otot2 mulai nongol dan seneng banget kalau pake baju. Semua baju keliatan bagus. Pede banget kalau ke kolam renang. Semakin terbuka semakin bagus. Hehehe!

Untuk mendapatkan itu semua, gue pernah dikasih tau sebuah teori yang udah gue buktikan sendiri. Badan bagus itu terbentuk dari 70% makanan dan 30% latihan. Kebayang kan? 70%! Jadi, hampir gak ada gunanya kalau latihan 2 jam terus makan nasi goreng kambing. Hehehe bisa bubar jalan! Mau makan karbo banyak tapi badan bagus? Boleh aja! Tapi latihan kayak kuli. Berarti 8-12 jam di gym!

Intinya, banyak orang ke gym frustasi. Ke gym 4 tahun kok masih ndut, gak keliatan ototnya dan lain lain. Bisa dipastiin, makanannya. 'Makanannya kotor' istilahnya. Sementara pernah gak liat orang yang gak repot amat ke gym tapi badannya bagus? Bisa jadi karena makanannya bersih. Atau bisa juga, memang udah anugerahnya Dia! Inget orang kulit hitam? Dari balita udah ada bicep dan tricepnya dengan jelas.

Terus di awal 2006, gak tau kenapa gue mulai ngerasa bahwa memiliki badan bagus itu jadi beban. Gue jadi gak menikmati hidup. Bayangin, gue gak bisa makan popcorn dengan butter pas nonton film komedi. Weekend bangun pagi hanya biar bisa ke gym. Gue sering banget menolak ajakan makan malam teman. Dan banyak pengorbanan lainnya.

Di suatu pagi gue bangun tidur, suara hati gue bertanya pada diri gue sendiri "untuk apa sih sebenarnya punya badan bagus? Emang gue model? Bukan! Cuma orang iklan. Terus yayang gue akan ninggalin kalau badan gue sedikit ndut? Wah ya silakan! Gila aja fisik jadi ukuran cinta." Dan di atas segalanya, karena gym, gue jadi ngerasa orang yang terlalu narsis dan egois. Semua gue lakukan demi keindahan tubuh.

Dan gue pun ngerasa malu sama diri gue sendiri. Gila ya, gue berambisi punya badan bagus. Badan bagus gak ada gunanya untuk orang lain. Badan bagus gak bikin temen-temen jadi makin sayang sama gue. Badan bagus gak bikin klien makin percaya sama gue. Badan bagus gak bikin gue bisa bikin iklan bagus. Badan bagus hanya berguna untuk ego gue doang!

Akhirnya pagi itu gue memutuskan, gue akan terus ke gym tapi bukan untuk punya badan bagus. Bukan untuk ketemuan temen2 baru. Bukan buat gaya-gayaan. Bukan buat kompetisi. Tapi, supaya bisa lebih menikmati hidup. Titik.

Caranya?

Dengan ke gym, badan seger (seger loh ya, bukan bagus), dan gue semakin semangat kerja. Gue jadi gak marah-marah muluk. Insya Allah prestasi kerja gue meningkat. Jumat malam, ada temen ngajakin nonton padahal jadwal gym? Bye-bye gym! Gue pilih temen. Badan bagus hanya akan bersama gue selama gue latihan. Temen, selalu bersama gue. Ada ajakan makan malam nasi goreng kambing di pinggir? Sesekali boleh lah! Bisa sekalian buka telinga buka mata melihat sekeliling. Melihat kehidupan lain di luar kantor.

Intinya, mulai pagi ini, i take control, i conduct, i compose my gym and not the other way around! Bukan untuk punya badan bagus. Tapi badan segar dan sehat. Sering denger orang sakit padahal badannya bagus kan?

Setelah 8 bulan ke gym dengan attitude baru, sekarang badan gue lebih ndut2 dikit. Jadi 62 kilo. Kata temen2 lebih lucu kok! Dan, gak ada lagi rasa bersalah, bete dan sebel hanya karena gue gak bisa ngegym. Hidup terlalu indah kalau untuk dihabiskan dengan mengangkat barbel. Terlalu banyak yang bisa kita lakukan untuk mengisi hidup ketimbang merepotkan diri dengan menghitung kalori.

Gue orang iklan dan gue pengen kasih tau temen-temen. Mens Health, L-Men, Adiraga dan lain-lainnya adalah perangkat bisnis. Digunakan untuk berjualan sesuatu. Apa yang ditampilkan adalah ilusi dan harapan. Bisa jadi motivasi tentunya dan pastinya. Tapi kalau kita termakan, hidup kita bisa taruhannya!