Tuesday, September 11, 2007

Spiritual yang Menjadi Ritual?

Semenjak saya lahir di dunia ini, setiap tahun umat Islam di Indonesia menjalankan ibadah puasa. Banyak teman-teman saya yang khusuk menjalankan ibadah puasa, banyak yang setengah-setengah, banyak juga yang tidak sama sekali.

Walau minim pengetahuan soal agama, saya percaya puasa dimaksudkan agar setiap umat manusia yang menjalankannya, kembali ingat akan kefitrahannya. Kembali pada kebaikan. Menjauhi dosa. Intinya, berharap untuk kembali menjadi manusia yang disayang Allah.

Kalau benar, setiap umat Islam di negara ini menjalankan ibadah puasa dan memahami benar maksudnya, mengapa angka kriminalitas di tanah air kita tidak pernah berkurang? Mengapa koruptor bertambah jumlahnya? Mengapa kita semakin tidak menyayangi sesama? Mengapa semakin hari saya lebih sering mendengar orang menjelekkan orang lain? Mengapa semakin banyak orang yang syirik, iri, jahat, dan tega melakukan kebiadaban bahkan pada anaknya sendiri?

Apakah semangat spiritual puasa sudah menjadi ritual tanpa arti semata?

Natal tahun 2002. Seluruh umat di Amerika merayakan Natal. Di depan gedung putih yang termasyur, berdirilah pohon terang, pohon damai. Ribuan manusia negara itu serentak menyanyikan lagu Natal. "Damai, damai, damai lah senantiasa..."

19 Maret 2003, 3,5 bulan setelah itu, Bush menyatakan perang Irak. Ribuan manusia meninggal sia-sia. Milyaran bahkan triliunan uang ikut terbuang sia-sia. Dan sampai sekarang, 2007, hasil perang Irak masih diperdebatkan.

Apakah semangat spiritual Natal sudah menjadi ritual tanpa arti semata?

Dari SD sampai SMA, saya adalah seorang katolik yang sangat patuh. Setiap minggu, bahkan kadang setiap hari, saya pergi ke gereja. Perlahan tapi pasti, saya sering merasa ada yang kurang kalau Minggu tidak pergi ke gereja. Seperti tidak sikat gigi di pagi hari. Kebiasaan ini berlanjut sampai kuliah, dan masa-masa awal saya bekerja.

Sampai di suatu Minggu. Saya sedang mengikuti misa. Mendengar khotbah pastor yang panjang, saya kehilangan fokus. Benar-benar tidak mengerti sama sekali arti khotbah. Dilanjutkan dengan berdiri, berlutut, berdoa, semua seolah bergerak secara otomatis.

Ketika pulang, tiba-tiba saya merasa sangat bersalah. Bahkan berdosa. Bagaimana mungkin untuk menghadap Sang Pencipta saya tidak melakukannya dengan sungguh-sungguh. Badan di gereja tapi pikiran entah ke mana. Mulut berdoa tapi hati tak tau merasa apa.

Saat itu, saya benar-benar merasa, ke gereja setiap Minggu tidak lagi menjadi kebutuhan spiritual rohani lagi. Tapi sekedar memenuhi ritual. Sama seperti sikat gigi. Bahkan kadang, sikat gigi dilakukan lebih dihayati ketimbang ke gereja.

Sebentar lagi penghujung tahun tiba. Puasa, Lebaran, Natal, Tahun Baru, Sin Cia, dan banyak lagi hari besar keagamaan datang berturutan. Saya cuma bisa berdoa, semoga hari-hari besar itu bukan lagi sekedar menjadi ritual tanpa arti. Tapi benar-benar bisa kita hayati. Semata untuk mendekatkan diri pada Ilahi, dan menjadi lebih baik di hari nanti.

Selamat Menjalankan Ibadah Puasa 2007.

Thursday, September 06, 2007

Apa yang Menjadikan Pekerja Kreatif yang Baik?

Besok jam 8:30 pagi, Student's Creative Awards (SCA)-nya CCI kembali digelar. Setelah 2 tahun menghilang. Dan seperti 2 tahun lalu, kali ini gue juga diajak untuk mengajar. Materinya apa? Sama seperti 2 tahun lalu. TTL. Tapi mungkin kali ini gue akan mencoba memberikan materi TTL dengan cara baru. Supaya gue juga gak bosen.

Malam ini, gue mencoba merenungkan. Apa sih yang menjadikan seorang kreatif itu dibilang kreatif yang baik? Karena kan ujung-ujungnya, SCA dibuat untuk menciptakan tenaga-tenaga kreatif yang lebih baik daripada yang sekarang.

Apakah kalau seorang Art Director, bisa melay-out dengan baik,
bisa menggunakan photoshop dengan handal,
bisa memadu padankan warna dengan ciamik,
bisa menggunakan font dengan super canggih,
bisa disebut sebagai Art Director yang baik?

Demikian pula dengan Copywriter.
Apakah kalau Copywriter bisa menulis
dengan bahasa yang singkat pada dan mudah dimengerti,
bisa menulis dengan kata-kata yang mudah diinggat orang,
bisa menulis sesuai dengan strategi iklannya,
bisa menulis tagline yang diingat oleh hampir seluruh penduduk Indonesia,
bisa disebut Copywriter yang baik?

Kenapa kayaknya kalau cuma itu-itu saja acuannya, tenaga kreatif jadi kerdil sekali kesannya. Photoshop lah, warna lah, font lah, headline pendek lah, catchy tagline lah… YUCK! Bosan! Banyak tuh di gudang belakang!

Sejujurnya, semakin hari gue semakin menemukan, kemampuan dan keterampilan di atas emang penting. Tapi ada yang lebih penting dari itu semua. Menurut gue, yang lebih penting dari itu semua, lagi-lagi, menurut gue, adalah attitude.

Untuk apa anak kreatif jago segalanya,
tapi datang terlambat melulu sehingga mengganggu yang lain?
Untuk apa pinter ngelayout,
tapi semua yang keluar dari mulutnya adalah komplen dan keluhan?
Untuk apa pinter nulis copy,
kalau hampir tak pernah ada kata indah keluar dari mulutnya sendiri?
Belakangan ini, gue sering merasa lebih nyaman bekerja dengan anak magang ketimbang karyawan. Kenapa?

Karena anak magang masih punya semangat yang luar biasa. Sehingga gue pun jadi ikut semangat pula. Mereka tidak pernah komplen sana sini. Tapi lebih ke mencari solusi. Dan kalau dapat anak magang dari universitas terpercaya, biasanya mereka lebih disiplin. Dateng kantor dan menyelesaikan kerjaan tepat waktu.

Attitude mereka MASIH baik. Semangat belajar dan bekerja mereka MASIH tinggi. Walau dibayar sedikit, tapi mereka bekerja seolah tidak butuh uang.

Sekarang coba kita lihat ke belakang. Tempat duduk di mana para karyawan bekerja.

Yang satu datang terlambat dengan mata sayu karena semalamnya habis side job. Mau dikasih brief juga udah susah.
Belum lagi yang datang kantor petantang petenteng,
duduk, buka YM, multiply, friendster. Dan pas brief datang bilangnya selalu sibuk.
Atau yang tak pernah berhenti komplen. Mulai dari urusan gaji sampai kopi, OB sampai CD semua dikomplen.

Kalau gue harus memilih, bekerja dengan orang yang pandai, pinter cemerlang dengan attitude buruk atau bekerja dengan orang yang biasa-biasa saja dengan attitude yang baik, jelas yang kedua menjadi pilihannya.

Sempurna kalau bisa dapat kedua-duanya. Pandai dan berattitude baik. Tapi seperti kata Dorce, kesempurnaan hanya milik Allah.

“Talents are best nurtured in solitude, but character is best formed in the stormy billows of the world”
–Johann Wolgang von Goethe-

atau

“If you can't excell with talent, triumph with effort.”
-Dave Weinbaum-

Sekarang, pertanyaan berikutnya, bagaimana mungkin mengajarkan soal attitude dalam waktu 2 jam?
Waktu yang diberikan untuk gue dalam SCA esok?
Mau tau doa gue setiap kali bertemu dengan anak-anak magang berbakat, dengan attitude yang baik?
“Tuhan, tolong jaga dia agar seperti ini terus adanya…”