Friday, October 28, 2011

Selangkah Lebih Maju?

Waktu itu gue masih karyawan di sebuah biro iklan multinasional.
Waktu itu lepas jam kerja, yang berarti jam lembur.
Meeting baru aja berakhir dan pantat gue baru aja mendarat di kursi.
Seorang Planner asing mendatangi meja gue.
Orang iklan dari mana pun, sama aja. Selalu besar.
We are the most awarded advertising agency in the world.
We are connected in 50.000.000.0000 countries in the world.
We handle more than 5 billion big brands in the world.
Whateva.

Planner itu berkata dengan suaranya yang besar
"love your presentation, you did great. international standard and a step ahead"
Gue mengangguk-angguk. Senyum-senyum kecil. Pengen buru-buru pulang.
Kejadian ini sekitar 8 tahun yang lalu. Sampai sekarang masih melekat di benak gue.
Setiap kali mengenangnya, gue selalu merasa ada yang salah dengan 'pujian' itu.

Coba deh pikirin...

International Standard?
Kenapa gue mesti bikin iklan berstandar internasional? Maunya iklan ya standar nasional aja.
Disenangi oleh orang Indonesia, cukuplah.
A Step Ahead?
Kenapa iklan yang selangkah lebih maju dibilang bagus? Iklan kan soal kekinian. Saat ini. Detik ini.
Bukan soal 1 atau 1000 tahun ke depan.

Kemaren dulu, gue baru berkesempatan kerja freelance di sebuah agency di Singapore.
Konon kabarnya agency ini apalah desway deswey canggih aja gitu pokoknya.
Gue ambil job ini karena gue lagi pengen renovasi ranjang dan kamar tidur.
Jadi di tengah kehebohan meeting itu, gue memikirkan mau model ranjang yang seperti apa nanti.

Meeting terus bergulir mereka sedang membahas bran bren bran bren in the future and what what what international standard.
Sampai seseorang berkebangsaan asing dengan kata "Regional" di depan statusnya berkata
sambil melihat tajam ke arah gue "do you wanna say something?"
Gue yang lagi mikirin ranjang jati langsung sat set sat set berkata "yes..."
Padahal bingung mau ngomong apa.

"Why do we have to think about how this brand gonna be in the future?
Haven't we seen enough, how consumers may love the brand but not buying the product?
Isn't advertising is all about now, today at this particular moment and not about tomorrow?

None of you is Indonesian, and i am the only Indonesian here.
Don't you want to know about me before you write strategy or even before you take this job?
Don't you want to know how to be friends with me?
Don't you want to know what we, Indonesian like and dislike?"

Krik... krik... krik... Ruangan sunyi. Bodo ah...

Di kejauhan matahari pagi baru akan terbit.

Friday, September 30, 2011

Monday, August 22, 2011

Dukung KPK



i don't understand nor interested in politics. but i believe we still need KPK.

Sunday, August 07, 2011

Mengapresiasi Bukan Menghakimi

http://akademiberbagi.org/news/2011/08/03/49/mengapresiasi_bukan_menghakimi.html

“The deepest principle in human nature is the craving to be appreciated” *William James*


Selalu menyenangkan mendengarkan orang-orang kreatif sharing. Selalu ada hal baru dan berbeda yang kita peroleh. Seperti kelas Kamis (28/7/2011) gurunya Glenn Marsalim orang yang bekerja sebagai freelancer dibidang periklanan dan pasti banyak orang sudah tahu dengan prestasinya. Malam itu di kantor SITTI (Jalan Senopati – Jaksel) Glenn berbagi ilmu tentang Apresiasi Iklan.

Banyak orang kreatif, banyak orang bisa membuat iklan, tetapi jarang yang bisa mengapresiasi dengan baik. Apresiasi berbeda dengan menilai atau menghakimi. Butuh kepekaan dan background pengetahuan yang cukup untuk dapat mengapresiasi sebuah iklan.


Dalam proses pembuatannya, terutama iklan TV, Glenn menuturkan sebuah proses yang panjang dan rumit untuk sebuah hasil yang paling lama 60 detik atau bahkan 30 detik. Perlu menselaraskan antara keinginan klien, keinginan kreatif dan maunya konsumen dan itu bukan hal yang mudah. Mengupas satu per satu iklan di TV sungguh mengasyikkan. Kita diajak Glenn untuk menghargai sebuah proses. Ya proses yang seringkali diabaikan. Kita lebih sering fokus akan hasil hasil dan hasil.


Sebuah iklan dikatakan bagus atau jelek, itu sangat tergantung siapa yang menilai. Iklan-iklan yang bagus dan menang award belum tentu booming di pasaran, walaupun ada beberapa. Mengapresiasi iklan bukan menilai bagus atau jelek, tetapi bagaimana sebuah penciptaan karya yang punya nilai lebih. Seperti contohnya, salah satu iklan yang dibuat Ipang Wahid. Dalam iklan Lebaran yang dibuat pada tahun 2002 untuk perusahaan rokok kalau tidak salah, Ipang Wahid menggambarkan suasana lebaran yang penuh kegembiraan dengan menyelipkan gambar barongsai yang menari. Itu untuk pertamakalinya ada yang berani memasang adegan barongsai di iklan lebaran yang notabene adalah perayaan umat muslim. Sekarang sudah bertaburan iklan-iklan dengan barongsai, apapun perayaan keagamaannya. Menurut Glenn, karya Ipang tersebut dianggap pendobrak dan pertama yang kemudian ditiru oleh kreatif lainnya.


“Otak kita seperti palet warna. Setiap kebencianmu pada sebuah karya akan menghilangkan satu warna. Semakin banyak yang kamu tidak suka akan semakin banyak warna yang hilang. Lalu, kamu mau melukis pakai apa?” Sebuah kalimat dari Glenn Marsalim yang sungguh dalam maknanya. Ketika kita seringkali mencela karya orang, apalagi tanpa alasan yang jelas, maka kita semakin memenjarakan kreativitas kita. Ego adalah kutub yang berlawanan dari kretivitas. Sebuah karya, apapun hasilnya patut untuk diapresiasi. Dan setiap orang telah mengeluarkan daya upayanya untuk menghasilkan karya terbaiknya.


Masih banyak iklan-iklan yang diulik dalam kelas saat itu, dan penjelasan Glenn selalu memberikan kita wawasan baru yang mungkin buat mahasiswa periklanan –di kelas itu ada beberapa mahasiswa design & iklan- tidak diperoleh di bangku kuliahnya.


Saya selalu happy setiap mengikuti kelas Akademi Berbagi, karena para guru tidak melulu memberikan teori tetapi pengalaman berharga mereka ketika menjalani profesinya. Dan Glenn adalah salah satunya. Makhluk luar biasa yang selalu rendah hati dengan bilang : “aku ini apa, aku ndak pede je ngajar di kelasmu.”


Sekali lagi, makasih Glenn butuh orang-orang yang tidak biasa sepertimu untuk menggugah wawasan dan pikiran kami yang lebih sering ribet dengan hasil dan nilai tanpa menghargai sebuah proses panjang yang selalu mengandung pembelajaran.


TRUST YOUR GUT. TRUST YOUR INSTINCTS - GLENN MARSALIM

By: Ainun Chomsun

Twitter Service Pulkam Helps Indonesians Return Home [INTERVIEW]

We are three days into the holy month of Ramadan. After a month of fasting there will be a holiday time called Eid, where people will buy new things, (many of them picking up new gadgets) and return to their hometowns. @pulkam, short for ‘Pulang Kampung’ (or ‘going back home’) is a Twitter account where users can share their pulkam/mudik experience, or even promote their hometown. One of the founders of this movement, so to speak, is Glenn Marsalim. Here’s a brief chat we had with him.

1. Who is the creator of @pulkam? When it was founded?

It was started two years ago during the IndonesiaUnite movement on Twitter, if anyone still can remember. It was myself, Iwet Ramadhan, Alfa Aphrodita and Patrick van Diest.We then discussed about this idea on Twitter and soon many attracted to join. Pinot, an Indonesian in Kuwait, is one of them and he is the biggest contributor on the team. I am basically maintaining the concept of pulkam.
2. What is the reason for making the pulkam account? Besides of course marking the Lebaran holiday after the month of Ramadan?

To promote Indonesian cultures, culinaries, customs, and more. In marketing speak they’d call it ‘user-generated content’. In my understanding, it is sharing. We Indonesians are very proud of our kampung halaman(hometown) and we would love people to know about it and invite everyone to come.
Pinot added:

The original idea of @pulkam was sharing the mudik experience with others. Then I was thinking, why not help people on their mudik journey so they can arrive at their mudik destination safe and sound? So then @pulkam also provided traffic information, train and flight schedules, locations, streets, ATMs, fuel stations and even hotel or tourist places. Basically, we just gathered all the info from the internet, and then reshared it to @pulkam followers. It nothing really special, but now the followers have a real mudik friend.

3. So far you have garnered over 5000 followers. How can you leverage this?

I dont think the number of followers is really the main point. It’s more about participation. When we can help our followers on their pulang kampung journey, and the followers are happily and proudly tweeting their pictures and their stories, then we know pulkam had achieved it’s goal. I don’t see the point of having 100,000 folowers but very little participation or conversation. Last year we have the most followers in comparison to similar Twitter accounts belonging many prominent brands.
4. How many replies or retweets you usually can get when it’s peak season?

We have never really counted it, but I would guess it’s around 50 replies in an hour.
5. Besides Twitter, is there any other technology that you are currently using?

We have Facebook, Tumblr, and just last night Pinot floated the idea of using Radio Amatir (Amateur Radio). But I must say, the most important technology we use is human technology. We have volunteers on the road to report traffic conditions directly to us.
6. What is the plan for this year? How many people will help you running the service?

The plan is to maintain the character of pulkam: Friendly, exciting, fun and most importantly we want to maintain a sense of belonging. Pulkam is really from all of us and for all of us. We want to let it remain spontaneous. Especially during this time when Twitter has become so jaded with brands and hidden advertising. I guess it’s good to give an alternative. Back to fitrah. Let’s just share.
7. With so much interest over the past year, will you entertain any advertising possibilities? Or it’s just purely social?

Since day one we were already working together with some brands. Tri, Telkomsel and TechLife were participating in giving prizes for photo competitions. We also worked with social media accounts such as @infoll, @lagimakan, and @ayosehat. This year, we will be working with Bistip. At this moment it’s purely social with help from sponsors. But no, we don’t make money out of pulkam yet. Maybe in the future. If you sit in our “master control” room, and read all the tweets and tweetpics about people’s kampung halaman, then you will understand that money isn’t everything.

By: Joshua Kevin
Joshua Kevin is passionate about tech startups, entrepreneurship, social media and he's doing his best in keeping up with all of that. Also an Apprentice at #StartupLokal community and Associate at East Ventures. He's a Sophomore at Bina Nusantara University, Indonesia and yearning for more Youthpreneurship activities there.

http://www.penn-olson.com/2011/08/03/pulkam/

Monday, March 28, 2011

Kata Hanny Tentang Glenn

siang ini mendadak dapet DM dari @beradadisini
dia menulis tentang gue di blognya.
pas baca, gue pikir hanny terlalu baik hati :)

Tentang Glenn
oleh Hanny Kusumawati
diambil dari blognya:
http://beradadisini.wordpress.com/2011/03/28/tentang-glenn/

Saya lupa tepatnya, mungkin tahun 2003 atau 2004. Itu pertama kalinya saya mengenal sosok Glenn Marsalim. Saya masih kuliah. Di kampus ada semacam Ad Festival. Saya hadir, walau saya dari jurusan marketing communications. Waktu itu saya selalu merasa salah jurusan. Awalnya saya memang ingin masuk jurusan advertising, tapi entah mengapa lalu dibujuk dan diyakinkan oleh salah satu Dean di kampus untuk masuk marketing communications saja. Datang ke Ad Festival macam ini jadi salah satu cara saya untuk mengobati penyesalan saya karena kadung ‘salah jurusan’.

Dalam acara ini, Glenn jadi salah satu pembicara. Ia Creative Director dari salah satu biro iklan ternama yang sedang naik daun saat itu. Di antara sekian banyak orang iklan yang bicara siang itu, Glenn satu-satunya yang menarik perhatian saya. Saya ingat sosoknya yang rame, santai, bicaranya mengalir cepat seperti orang sedang meluncur di atas skateboard.

Ada sedikit ‘kesongongan’ juga; yang membuat pribadinya jadi menarik-menarik nyeremin. Dia sempat bilang, iklan-iklan karya mahasiswa yang dipamerkan semuanya ‘biasa banget, nggak ada yang spesial.’ Waktu itu Glenn juga memutar banyak iklan keren dari luar negeri. Terus setelah selesai diputar, ada anak-anak yang kasak-kusuk. Apa sih maksudnya iklan yang tadi itu? Terus Glenn menyambar,”Kalo lo nggak ngerti, berarti lo emang bukan target audience-nya.” Dan dia pun lanjut ngomong lagi dengan cueknya.

Siang itu, Glenn cuma bicara nggak lebih dari setengah jam. Jujur aja, saya sendiri lupa apa yang waktu itu dibicarakan sama Glenn. Saya cuma ingat, sejak siang itu, sejak dengerin Glenn ngomong, saya jadi punya cita-cita pingin jadi orang kreatif. Lalu nanti jadi Creative Director di biro iklan terkenal. Pingin banget bisa bikin copy yang keren dan memproduksi iklan yang bikin saya merinding nontonnya: sama seperti iklan-iklan luar negeri yang ditunjukkan Glenn ke saya hari itu. Sejak siang itu, saya punya idola baru selain Eminem. Namanya Glenn Marsalim.

Gara-gara dia, saya jadi rajin browsing tentang advertising dan iklan, ide-ide kreatif, juga baca buku-buku soal iklan dan desain. ‘Numpang baca’, tepatnya. Biasanya di salah satu sudut QB Books Jalan Sunda yang sekarang sudah tutup. Kocek saya kurang tebal untuk bisa membeli buku-buku iklan dan desain itu walaupun kepingin.

Di akhir-akhir semester, saya pun menulis surat lamaran magang ke biro-biro iklan terkenal. Isi surat sengaja dibuat sekreatif mungkin. Pakai quote dari Disney juga kalo nggak salah. Pokoknya ada sesuatu tentang keinginan mencipta atau semacamnya. Total ada sekitar 10 biro iklan yang saya kirimi surat permohonan magang, alamatnya semua saya dapat dari salah satu buku direktori iklan punya dosen saya; yang saya fotokopi daftar kontaknya. Dari sepuluh-sepuluhnya, nggak ada satu pun yang dibalas.

Saya sakit hati.

Saya jadi ingin membuktikan diri, bahwa kreativitas itu bukan cuma ada di dunia iklan. Kreatif bisa di mana aja. Ide bukan cuma punya orang iklan. Dengan modal sakit hati inilah saya kemudian menekuni kuliah marketing communications saya dan mencurahkan kreativitas saya dalam setiap tugas yang diberikan. Saya meriset, browsing Internet, gigit-gigit pensil, nyari ide, dan memberikan 110%, lebih dari apa yang diminta. Lalu senang sekali baca buku The Fall of Advertising and The Rise of PR berulang-ulang, tertawa ‘ha-ha-ha’ lalu bilang tuh, kan, iklan sudah mati! Iklan sudah mati! (untuk menghibur diri).

Tapi nggak bisa dipungkiri, walau sempat sakit hati karena tak ada biro iklan yang mau menerima saya untuk magang, saya terlanjur jatuh cinta pada iklan. Saya cinta desain. Saya suka mengulik kalimat untuk bikin copy yang bagus. Saya suka semangat orang iklan ketika lagi cari ide. Tapi ternyata untuk melakukan semua itu, saya memang tak perlu masuk biro iklan. Pekerjaan saya yang sekarang menuntut saya melakukan semua itu. Saya masih sering browsing iklan luar negeri untuk nyari inspirasi; terutama kalau lagi perlu ide buat bikin campaign. Saya juga masih suka ngintip buku-buku desain: packaging, logo, kartu nama, cover buku, web…

And I’m happy! This is the thing I’ve always wanted to do, and here I am, doing all those stuff!

Lantas, percaya atau tidak, di suatu waktu, sekitar tahun 2005-2006, akhirnya saya sempat kerja dengan Glenn Marsalim untuk suatu proyek. Saat itu Glenn lebih banyak melakukan supervisi saja untuk tim iklan yang sedang bekerja sama dengan perusahaan tempat saya bekerja. Kita nggak pernah ketemu untuk meeting. Glenn lebih banyak kasih masukan ke timnya via email, di mana saya ter-cc di dalamnya. Terharu rasanya melihat nama saya ada di satu email yang sama dengan Glenn dan bagaimana saya bisa mengoreksi copy iklan via email bersama Glenn Marsalim!

Suatu hari, kantor saya via @kapkap, mengundang—siapa lagi kalau bukan—Glenn Marsalim datang ke kantor untuk sharing session kami di hari Jumat. Itu pertama kalinya saya ketemu Glenn lagi (in person) sejak jaman kuliah. Pada rentang waktu sebelum itu, selain kerja bareng via email kita yang singkat, saya masih suka melihat Glenn melintas di beberapa acara iklan (tapi malu menyapa). Saya cuma rajin ngikutin tulisan-tulisan di blognya dan belakangan mengikuti kicaunya di Twitter.

Jumat pagi itu, waktu ketemu Glenn lagi dan dengerin dia ngomong, saya sadar that he had turned into a different person. Mungkin semua orang berubah. Dari saat ketika saya denger Glenn bicara di kampus, sekarang Glenn sudah berubah jadi orang yang lebih soft, lebih membumi, lebih apa adanya… atau mungkin pasnya: he’s becoming more of himself. Dia adalah Glenn yang tanpa embel-embel. Dia bukan lagi Creative Director dari biro iklan anu, atau copywriter iklan anu… tapi dia adalah Glenn. Yang suka desain, yang suka iklan, yang suka film, yang suka jajanan pinggir jalan…

Hari itu juga, Glenn berkisah tentang hidupnya, tentang keputusannya jadi freelancer. Dan di situ, saya tau bahwa Glenn memang sudah berubah. Dia Glenn yang sama, tapi sekaligus juga Glenn yang berbeda. Satu hal yang saya ingat, Glenn bilang gini:

“Ketika lo balik ke rumah, lo liat piala-piala yang pernah lo menangin, terus lo tanya sama diri lo sendiri: berapa orang yang lo bentak, yang lo sakitin… sampai akhirnya lo bisa menangin piala-piala itu? Sebanding nggak sih? Dapetin piala tapi dalam perjalanan lo, lo udah nyakitin berapa banyak orang? Udah ngomong jahat sama berapa orang? Sampai sekarang, walau gue udah berubah, orang masih sering bilang ‘Glenn… Glenn yang galak itu ya?’. Segitu susahnya ngilangin image itu…”

Glenn ngingetin saya lagi, bahwa sukses itu bukan soal apa yang udah kita capai. Tapi tentang bagaimana kita mencapainya. Sampai sekarang, saya selalu inget kata-kata Glenn ini. Mudah-mudahan saya nggak pernah lupa. Kalau dulu sosok Glenn mengingatkan saya pada kreativitas, iklan, dan desain, sekarang sosoknya mengingatkan saya pada perjalanan menjadi manusia. Pada cinta. Pada kesederhanaan. Pada semangat melakukan sesuatu karena suka, bukan karena dibayar berapa.

Dan saya jadi menulis posting ini karena tadi malam di-group hugs Glenn via Twitter

Monday, March 07, 2011

Puncak atau Klimaks?



selengkapnya baca di sini:

http://fanabis.blogdetik.com/2011/03/06/glenn-marsalim-memutuskan-berhenti-ketika-di-puncak/

Thursday, February 10, 2011

From The Past into The Present for The Future



Desember 2010, gue sedang membersihkan portofolio yang sudah berdebu setinggi 3 meter.
Beberapa dengan sangat menyesal harus gue buang.
Entah karena memang sudah rusak atau
memang gue anggap sudah tidak relevan dengan masa sekarang.
Dunia periklanan bergerak secepat 30 detik saja.

Ketika itu memang gue sedang merencanakan untuk meninggalkan dunia advertising.
Perasaan dan insting gue mengatakan, sekarang waktu yang tepat untuk cabut.
Di tengah debu2 beterbangan itulah, gue terus berpikir "mau ngapain ya?"
Gue bukan orang yang suka dengan rencana yang mapan.
Entah kenapa, gue percaya alam punya rencana yang lebih baik
sebaik apapun rencana gue.

Di saat itu pula, gue menemukan sebuah kemasan kue yang gue bikin tahun 2003.
Wkatu itu yang bikin kue-nya adalah Bara Pattiradjawane.
Gue yang bikin desain kemasannya.
Regina dan Digna yang marketing.
Kami bekerjasama mengeluarkan produk baru dengan brand "The Sweeters"
*sekarang malu deh:)*

Pemikiran dibalik itu sangat sederhana.
Gue suka sama packaging. Dan gue percaya Indonesia punya banyak produk yang bagus.
Tapi kemasan kita, menurut gue, bukan hanya gak bagus tapi juga gak berkembang.
Daripada berisik komplen sana-sini,
mending kita coba bikin sendiri.

Penjualan saat itu sangat membesarkan hati.
Sambutan di luar dugaan.
Bahkan sempat diliput oleh majalah Cosmopolitan.
Sayangnya, setelah itu proyek ini terhenti.
Gue sibuk, semua sibuk dengan kehidupan masing-masing.

Ketika melihat itu, masih ada yang gue kenang.
Kepuasan dan kebahagiaan ketika mengerjakannya.
Kebahagiaan saat calon pembeli melihat kemasan-nya yang cantik.
Kebahagiaan saat pembeli mencicipi kue-nya dan puas.

Dengan "Love Bites" di tangan,
pikiran gue melayang ke 8 tahun yang lalu.
Waktu itu umur gue belum lagi kepala "3".
Note: Sekarang umur gue kepala "1".

Berhenti sampai di situ.
Tapi gue mulai terpikir untuk berpikir.

---

Twitter. Bisa dibilang mengisi hari-hari gue.
Apalagi gue sering sendirian.
Otomatis berteman di Twitter menjadi begitu menyenangkan.
Gue banyak menemukan teman baru di Twitter.
Salah satunya adalah Natalia Tanyadji.

Nat, panggilan akrabnya, adalah "tukang kue".
Mewarisi bakat dari ibunya, Nat punya bisnis kue dan es krim
yang sudah kodang dengan label 'MAMA'.
Dan tentunya kami sering curhat.

Untuk mengalihkan perhatian kami masing-masing,
entah seperti dibisikin peri, keluarlah sebuah ide
"eh bikin brand baru yuk! loe bikin kukisnya, gue bikin packagingnya.
brand-nya "RedSofa" aja!"
Catatan: RedSofa adalah nama "check-in" point gue di Foursquare.
Entah bagaimana awalnya, yang pasti RedSofa menjadi lumayan terkenal.
Tidak sedikit yang mengira, RedSofa adalah cafe, tempat nongkrong bahkan tempat nonton :)

Ajakan itu mendapat sambutan.
Dengan target untuk dipasarkan menjelang Valentine 2011,
kami berdua mulai bekerja.
Nat di dapurnya, gue di depan komputer.
Dan dengan pertolongan banyak tangan tak terlihat,
29 Januari 2011, RedSofa ChocoLove diluncurkan.

Sambutannya boleh dibilang lumayan.
Untuk sebuah brand baru, dan dengan dukungan teman-teman yang baik hati,
ada penjualan lah setiap hari.
Gue sempet ngomong
"Nat, ini yang beli karena kasian sama kita kali ya!"

Dalam proses memasarkan ini,
gue pun menemukan keseruan baru.
Dan benar saja, gue mulai bisa melepaskan dunia advertising.
Beberapa tawaran proyek iklan
dengan sangat terpaksa gue tolak.
Padahal gue butuh duitnya juga.

Tapi gue berpikir, kalau semua gue ambil,
maka waktu gue akan habis.
Dan gue akan tergulung dalam gelombang yang sama.
Sekali niat, pantang mundur.

---

Apakah ini akan jadi masa depan gue kemudian?
Gak ada yang pernah tau.
Gue gak berniat ke peramal untuk cari tau.
Karena gue terlalu menikmati kejutan-kejutan yang bisa terjadi setiap hari.

Mulai dari pesanan korporat dari brand perhiasan terkenal,
sampai interview dengan The Jakarta Globe.
http://www.thejakartaglobe.com/lifeandtimes/the-dapur-mama-story-sweet-tooth-turns-into-big-business/421869

Dari 2003 ke 2011.
Dari Love Bites ke ChocoLove
Dari The Sweeeters ke RedSofa
Dari Bara Pattiradjawane ke Natalia Tanyadji
Dari dunia periklanan ke kita lihat saja nanti... *siul-siul*

#SeninHitam, 07/02/2011



karena hidup harus dihormati dan kekerasan harus diakhiri.

Monday, January 31, 2011