Wednesday, March 28, 2007

Konsumen itu Rasis

- oleh Budiman Hakim -

Planet animal adalah salah satu stasiun TV favorit anak saya. Saya juga suka sih. Seneng rasanya ngeliat kelakuan binatang yang sering tampak lebih beradab daripada manusia kayak kita. Mereka berkumpul sesuai dengan jenisnya. Kuda zebra dengan kuda zebra. Bison sama bison, bebek sama bebek, gajah sama gajah, singa sama singa. Ga pernah saya ngeliat gajah kumpul sama zebra atau singa sama bebek. Secara alami dan naluriah mereka berkumpul sesuai dengan spesiesnya.
Pernah ada seekor singa jinak tertarik pada kelompok zebra itu. Si singa ingin bergabung sama mereka. Apa yang terjadi? Kumpulan zebra itu lari menghindar. Mengapa demikian? Karena mereka melihat binatang itu berbeda dengan mereka. Perbedaan itu membuat para zebra curiga, takut dan merasa terancam. Namanya juga singa jinak, si singa mengaum mungkin berusaha menjelaskan bahwa dia tidak bermaksud buruk. Akibatnya lebih fatal! Kelompok zebra itu lari tunggang langgang.
Anak saya terkekeh-kekeh geli sekali melihat kelakuan binatang-binatang itu. Terus dia nanya; Kenapa kuda zebra itu ga mau main sama Singa itu Ayah?
Saya ; Soalnya bentuknya beda. Jadinya zebranya takut.
Leon : Kan singanya udah jinak? Kenapa takut?
Saya : Soalnya zebranya gat au kalo singanya udah jinak. Singa bahasanya beda sama zebra. Mungkin dia tadi mau ngejelasin kalo dia cuma mau main. Tapi kudanya ga ngerti justru malah takut. Aumannya singa kan serem.
Leon : Oh pantas di sekolahan juga gitu. Leon ngerti deh sekarang.
Saya : Kenapa di sekolah?
Leon : Iya di sekolah juga ada kelompok-kelompok. Yang cina ngumpul sama cina. Yang bule ngumpul sama bule. Yang dari afrika juga kumpul sama afrika. Melayu sama melayu.
Saya : Oh ya?
Anak saya sekolah di international school. Jadi berbagai bangsa memang campur aduk di sekolahannya. Surprise juga anak saya punya pengamatan sampai sejauh itu.
Pikiran saya flashback. Waktu kuliah, saya pacaran sama cina. Ga tau kenapa saya selalu tergila-gila sama cewek cina. Buat saya kecantikan perempuan yang paling ideal adalah perempuan cina. Ga usah tanya kenapa. Udah dari sononya. Ayah dan ibu saya marah banget setiap kali saya pacaran sama cina. Maklumlah, orang Padang paling ga suka sama cina. Udah agamanya lain, jadi saingan dagang pula. Tapi karena saya cowo yah saya cuek aja. Pacarannya kan di luar. Omongan bonyok mah anggap aja angin lalu. Sayangnya hubungan saya dengan perempuan cina ga pernah bertahan lama. Halangannya bukan cuma dari keluarga saya.
Suatu hari pas lagi jemput pacar ke rumahnya buat nonton bioskop, saya dipanggil sama bapaknya. Bapaknya sebenernya baik sama saya, tapi jarang-jarang dia panggil saya mau ngobrol. Pasti gejala buruk nih…tapi mukanya sih keliatan adem dan ramah-ramah aja.
Bapak : Bud, saya lihat hubungan kamu makin dekat sama Kiki. Kalian pacarannya serius ya?
Saya : Serius ga serius sih Om. Kan masih kuliah.
Bapak : Kamu aslinya orang mana Bud?
Saya : Padang Om. Kenapa?
Bapak : Begini Om mau ngomong. Coba kamu ngobrol dari hati ke hati sama ibu kamu. Tanya sama beliau ‘Lebih seneng punya mantu orang padang apa orang cina?’
Saya : Kalo itu sih ga perlu ditanya Om. Saya udah tau jawabannya.
Bapak : Keinginan Ibu kamu sangat manusiawi kan?
Saya : Manusiawi sekali sih…
Bapak : Memang begitulah manusia. Kalo kamu tanya orang jawa, mereka juga seneng dapet mantu sesama jawa. Orang batak dapet mantu orang batak. Menado sama menado. Kepada siapa pun kamu Tanya, pasti jawabannya sama. Dan keinginan itu sangat alamiah dan manusiawi sekali…
Saya : Speechless menunggu vonis.
Bapak : Begitu juga saya. Saya kan cina. Saya akan lebih seneng kalo dapet mantu cina juga. Ini ga ada hubungannya dengan rasis loh Bud. Kamu jangan salah paham. Bukan karena kami cina dan kamu pribumi. Sama sekali bukan itu.
Saya : Iya Om (hampir ga terdengar)
Bapak : Keinginan saya ini ga ada bedanya dengan keinginan semua orang di belahan bumi ini. Sama persis dengan keinginan ibu kamu. Saya minta maaf tapi semoga kamu bisa memahami keinginan saya.
Sejak itu kami pun back street. Kalo mau pacaran, janjian di suatu tempat. Pokoknya saya ga pernah datang lagi ke rumah Kiki begitu juga sebaliknya. Sayangnya hubungan kami tercium juga oleh keluarganya. Kiki langsung diberhentikan dari kuliah dan langsung dikirim ke Manila bersekolah di sana. Dan saya…jomblo lagi.
Sekarang saya sudah berkeluarga dan punya anak. Tapi saya coba juga mawas diri, mencoba menganalisa dari sudut pandang orang tua. Ternyata bener loh. Kalo saya bandingkan dengan binatang-binatang di Planet animal, saya bandingkan dengan apa yang terjadi di sekolah anak saya, semuanya jadi masuk akal. Semua orang ingin bergaul dan berkumpul dengan spesiesnya. Kalo saya ingin diterima menikah dengan Kiki, saya harus merubah diri jadi cina. Sayangnya itu ga mungkin kan? Orang saya item begini? Cuma stevi wonder yang percaya kalo saya ngaku orang cina.
Tapi saya berkesimpulan bahwa rasisme itu tidak akan pernah mati sampai dunia kiamat. Rasisme itu alamiah dan bisa diterima selama tidak gontok-gontokan satu sama lain. Saya kira begitulah seharusnya kita memahami konsumen. Kita harus yakin bahwa konsumen itu rasis. Mereka bergaul dengan orang yang sejenis dengan mereka. Yang kaya bergaul sama yang kaya, yang menengah bergaul sama yang menengah. Yang seneng olahraga bergaul sama yang suka olahraga. Yang suka drugs bergaul dengan sesamanya.
Selain masyarakat bahasa, juga ada masyarakat lifestyle, ada masyarakat ekonomi, masyarakat politik dan lain-lain. Pemikiran seperti itu harus dipertimbangkan kalau kita ingin menjual sesuatu. Kita harus menjadi bagian dari mereka. Kita harus terlihat sama dengan mereka. Jangan melakukan kesalahan seperti singa di atas. Kalo kita mau menawarkan sesuatu ke pada zebra, kita harus menjadi zebra. Kalo kita mau menjual sesuatu pada orang padang, jadilah orang padang dahulu. Kalo kita udah diterima, sudah dikenal, sudah dipercaya maka akan semakin muluslah jualan kita.
Di era modern yang memuakkan ini, konsumen semakin sibuk. Mereka ga ada waktu lagi untuk nonton TV, baca Koran, nonton bioskop. Karena itu sudah bukan jamannya lagi menganggap konsumen sebagai penonton. Konsumen bukanlah penonton, mereka adalah participant.
Mereka hanya mau mendengarkan sesuatu yang disampaikan temannya. Karena kita harus berteman dengan konsumen. Sesama teman tentunya berdialog sangat penting. Hanya orang bodoh yang berkomunikasi dengan temannya pakai monolog. So, mulai sekarang cobalah membuat iklan dua arah. Biarkan konsumen berdialog dengan kita.
Buatlah sesuatu yang unexpected. Yang belom pernah dibuat orang. Sekali dalam hidup kita perlu membuat sesuatu yang penting. Lupakan semua teori. Teori adalah kesimpulan dari masa lalu sementara pekerjaan kita adalah memprediksi masa depan. Jangan putus asa, advertising is in our blood. Feel it, receive it and embrace it.

Sunday, March 11, 2007

Menghitung Mundur atau Maju?

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Joy has a friend called Fear.
But my faithfull instinct
showed me that after Fear comes Courage.
And Courage has another friend, called Wonder.

Cirque Du Soleil - Journey of A Man

Sebelum gue memutuskan menjadi freelancer dulu, adalah penggalan puisi ini yang meyakinkan gue. Dan sekarang, di tengah kebimbangan lagi, weekend kemaren gue menontonnya lagi. Dan lagi-lagi, gue merasa semakin yakin untuk mengambil keputusan baru yang bisa jadi akan merubah hidup gue ke depan.

Lebih dari sekedar bosan atau jenuh, tapi gue memang sudah tidak percaya. Dan sering gue jadi membenci diri gue sendiri karena apa yang gue lakukan sekarang. Lebih sering lagi merasa kecil.

Belum yakin sepenuhnya. Tapi semakin yakin. Dan seperti biasa, gue hanya bisa kembali menyerahkannya pada yang bikin gue.

Sunday, March 04, 2007

My Very Own Java Jazz

seorang temen tersayang, x, menelepon gue.

x:
"eh loe mau nonton sergio mendes gak?"

g:
"ergh... kenapa emangnya?"

menyadari keraguan gue, x nyelak.

x:
"first of all, loe tau sergio mendes gak?"

g:
"tau. tapi satu lagu-nya doang."

x:
"ooooooh ya udah kalau gitu... ada tiket nganggur mau kasih ke loe. tapi ya udah lah ya..."

g:
"oh ok ok, thanks ya... bye!"

klik. telepon ditutup. terus gue berpikir seandainya dia tau lagu-lagu yang ada di ipod gue bisa diketawain abis nih. pikir punya pikir lagi, apa salahnya dengan diketawain. akhirnya gue sms-in si x lagi.

g:
"gue gak dengerin jazz. artis fave gue tuh rossa, agnes monica, reza, ada band, vina, ungu gitu. gue bisa nyanyiin lagu-lagu mereka dengan sepenuh hati."

x:
"aku gak mau temenan ama loe lagi."

sial memang x ini!

jumat kemaren, karena bisa pulang cepet, gue mampir ke pasar festival. mau cuci mobil sekalian makan bakso afung. waktu gue lagi makan, di seberang meja ada segerombolan orang-orang nyentrik seperti biasanya. buat yang belum pernah ke pasar festival, di food courtnya itu ada sebuah panggung. biasanya di panggung itu diisi oleh band-band gak terkenal, atau lomba dance sma dan lain lain yang bukan menghibur malah bikin berisik suasana.

belum lagi makanan gue selesai, orang-orang nyentrik itu bangun dari kursi mereka. dalam hati gue ngomong "duh mulai deh nih, berisik! buruan ah makan biar bisa cabut."

gak berapa lama di kejauhan kedengeran suara pria paruh baya ngomong "walau yang nonton sedikit, tapi kami tetep semangat menghibur. sekarang kami akan memainkan lagu here, there and everywhere." dengan sinisnya gue mikir, ya jelas lah dikit, ngapain juga orang nontonin loe. tapi yang ini lumayan, nyebutin judul lagu yang berbahasa inggris itu bener. gak seperti biasanya. hehehe!

dan ketika mereka mulai pelan pelan bulu kuduk gue berdiri. lagu here, there and everywhere seolah menjadikan suasana food court yang hingar bingar jadi senyap dan syahdu. dan harus gue akui permainan gitarnya terdengar mapan dan tenang. gue menikmati setiap nadanya sambil mikir lagi "eh tumben nih keren banget band-nya."

pas selesai, buru-buru gue ke depan panggung pengen liat siapa gerangan yang sedang bermain. dan di depan mata gue, ada ireng maulana and friends sedang mencoba menghibur penonton yang memang sedikit. sudah sedikit, sambil makan dan tidak peduli pula. padahal seinget gue, ireng maulana adalah nama besar di dunia permusikan yang tidak terlalu gue kenal itu. walau mereka mencoba menikmati memainkan alat musiknya masing-masing, tapi ada semburat kesedihan terpancar di wajah mereka. mungkin karena penonton sepi dan tidak apresiatif.

Photobucket - Video and Image Hosting

gue pun berinisiatif mengeluarkan kamera digital untuk memotret mereka. gue pengen mereka merasa bahwa masih ada yang mengidolakan mereka pun di tempat seperti ini. dan ternyata trik gue bekerja sesuai rencana. mereka tersenyum dan bahkan ireng, berpose di depan kamera gue.

namanya jagoan musik, penonton yang tadinya senyap perlahan mulai apresiatif. tepuk tangan mulai terdengar.

karena mobil gue udah beres, maka gue pun meninggalkan ireng dan teman-temannya. sambil jalan gue sms si x lagi.

g:
"di pasfes ada ireng maulana main lagu here, there and everywhere. penontonnya sepi banget. gue sedih jadinya."

x membalas sms gue:
"lah ngapain kok dia gak di java jazz"

g:
"udah gak kepake kali?"

x:
"kasian"

kami berdua sampai sekarang gak tau alasan sebenarnya kenapa dia gak ada di java jazz. yang pasti malam jumat itu gue terhibur banget. di saat yang bersamaan java jazz dimulai. gue juga punya pengalaman java jazz gue sendiri. pertama kali nonton ireng maulana performing live!