Menghakimi itu, gak enak. Gak gue banget!
Kalau menilai, gue bisa melakukan itu.
Karena itu udah job desk sehari-hari.
Dan gue kadang-kadang menikmatinya.
Tapi untuk menghakimi?
Gue ngerasa gue gak punya hak untuk melakukan itu.
Padahal kekuasaan untuk menghakimi
udah diberikan kepada gue.
dan belakangan gue ketahui,
banyak yang pengen memiliki kekuasaan itu.
Dalam sebuah sinetron karya Asrul Sani,
sekitar tahun 80an akhir, ada cerita
dimana seorang tentara sedang dihakimi
oleh malaikat di Surga.
"Saya membunuh orang itu karena saya diperintahkan
oleh panglima perang. Dan kalau saya tidak membunuhnya,
maka panglima akan memecat atau bahkan membunuh saya!'
"Tapi orang yang kau bunuh tidak bersalah!"
"Ah! Seandainya para malaikat agung ada bersama
saya dan panglima perang pada waktu itu. Untuk memberitahukan
mana yang salah dan benar. Tentu pembunuhan itu tidak akan terjadi."
"Tentara, kami ada bersamamu pada saat itu.
Walau kami tidak terlihat. Tapi kami bersuara! Kami mengemukakan pendapat.
Tapi mengapa suara kami tidak kau dengarkan?"
"Karena kalian bukan panglima perang yang akan memecat
dan membunuh saya kalau saya tidak membunuh orang itu."
Kebenaran dan kebenaran yang diadu.
Suara terbanyak akan menentukan
mana kebenaran yang sesungguhnya
dan mana kebenaran yang merupakan kesalahan terselubung.
Padahal, bukan kesalahan yang sedang diselubungi,
tapi kebenaran yang lain.
Untuk siang itu, sepuluh hakim duduk mengelilingi
meja hijau dalam artian sesungguhnya.
Walau gue sering dimarahin karena kebanyakan mikir,
apa daya, gue berpikir keras
ketika penghakiman itu sedang berlangsung.
Gue berpikir, kenyataan bahwa melepas antata
karya dan pencipta, bukan tugas yang mudah.
Menghakimi makanannya atau kokinya?
Kalau makanannya saja, bisa jadi
makanan enak karena kebetulah sesuai selera yang makan.
Kalau kokinya saja, bukti apa yang
bisa memenangkannya?
Ketika sedang berpikir keras,
gue inget cerita Asrul Sani di atas.
Selain 10 hakim agung,
ada seorang malaikat agung yang sedang berbicara.
Gue terdiam dan mendengarkannya berbicara.
Kalau gue harus memberikan kesaksian
tentang salah satu hal terindah bekerja di
dunia periklanan, adalah pelatihan untuk menilai.
Menilai karya sendiri sebelum menilai karya orang lain.
Dan untuk menilai karya sendiri,
memang membutuhkan kejujuran tingkat tinggi.
Karena juri atau hakim terbaik dan sesungguhnya
adalah diri sendiri.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
jangan dilihat dari angle menghakimi kali glenn, tp mengutarakan pendapat. hasil akhir itu anggap aja konsekwensi logis dari sebuah pembahasan. gak tlalu ngebebanin diri sendiri kan?
Post a Comment