Tuesday, August 30, 2005
Voces Inocentes
Judul itu berarti Innocent Voices. Film yang menceritakan tentang anak kecil
laki-laki di El Salvador sekitar pertengahan tahun 80an. Di usia 8-12 tahun
mereka dipaksa untuk memilih bergabung dengan tentara atau gerilyawan.
Chava nama salah satunya. Wajahnya mengingatkan kita pada Maradonna kecil.
Di tengah kekumuhan dan kemiskinan luar biasa
Chava hidup bersama seorang adik kecil dan seorang kakak perempuan.
Ibu mereka bekerja sebagai tukang jahit.
Tinggal bersama di rumah gubuk beratap seng.
Basah saat hujan dan hanya sinar matahari adalah lampu satu-satunya.
Desingan peluru dan meriam, datang bagai tamu tak undang.
Muram, kelam dan bau!
Chava hidup dalam ancaman jika suatu hari dirampas untuk dipaksa jadi tentara.
Sekolah dan gereja bukanlah lagi tempat yang aman untuk bersembunyi.
Jadilah mereka bersembunyi di atas genteng rumah mereka.
Berpuluh anak laki-laki terbaring terlentang di atas genteng seng.
Tiba-tiba kepedihan itu menjadi pemandangan yang puitis.
Di akhir cerita memang Chava lolos. Ia lari ke USA dan kembali bergabung bersama
keluarganya 8 tahun kemudian.
Film ini adalah film terbaik yang pernah gue tonton sejak Children of Heaven.
Mungkin loe akan berpikir kalau gue suka film-film itu karena menceritakan
tentang kemiskinan dan anak kecil. Gue gak akan menyangkal itu. Entah kenapa
kemiskinan membuat gue merasa kaya dan anak kecil mengingatkan gue
pada semangat untuk tetap hidup.
Kemiskinan itu menjadikan yang kaya tampak semakin kaya. Dan pengalaman masa
lalu gue yang miskin (bukan berarti sekarang udah kaya) mengajarkan banyak
keindahan hidup. Bahwa hidup adalah perjuangan. Perjuangan untuk meraih
keinginan, impian dan harapan. Dan dalam perjuangan itulah akan kita temukan
arti hidup sebenarnya.
Inget film-film Walt Disney? Kenapa hati kita tertawa dan menangis? Padahal tidak ada
yang nyata di film-film itu. Bener-bener kekanakan.
Gue pikir karena memang di dalam diri kita ada anak
kecil yang menanti untuk ditemukan. Ada anak kecil yang ingin dimanja, ditepuk-tepuk
pantatnya sebelum bobo, ingin dimengerti, ingin dipahami...
Dan ketika keduanya bergabung dalam satu film, bisa dipastikan,
kita seperti berkaca untuk kemudian melihat kelebihan sebelum
menyesali kekurangan. Mengingatkan kita untuk tidak putus asa
karena masih banyak yang lebih lemah dan berkekurangan dibanding kita.
Apalagi yang bisa kita harapkan dari pulang noton
dengan mata sembab tapi hati ringan?
Masih salah gue menjadi seorang melankolis?
Ah... nonton aja sendiri!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
jadi penasaran, kalo Children of Heaven sih emang topmarkotop deh...
Post a Comment