Mau tau kenapa gue gak pernah peduli dengan segala bentuk gerakan ganyang Malaysia yang heboh sekarang? Dan cenderung menganggap gerakan itu sebagai tidak perlu dan membabi buta?
Mungkin foto-foto di
http://glennmarsalim.multiply.com/photos/album/75
bisa cerita banyak.
Thursday, December 06, 2007
Tuesday, November 06, 2007
Ngobrolin Iklan, Yuk! - Budiman Hakim
Monday, November 05, 2007
Gak Lebih Gak Kurang
Tadi pagi,
gue bangun jam 9 an lebih lah.
Pas keluar kamar,
gue bisa denger suara Mbak Pargi nyuci baju.
Terus gue lanjutin dengan
nyiapin makan pagi sendiri.
Mbak Pargi nawarin bantuan.
Gue tolak karena memang
gue lagi pengen bikin sarapan sendiri.
Sambil makan pagi gue baca koran,
dilanjutkan ngobrol sama Mbak Pargi.
Cerita tentang waktu lebaran kemaren,
sebenarnya dia sudah mau dilamar.
Lamaran itu dia tolak,
karena lamaran itu bersyarat.
Dia harus tinggal di kampung.
Mbak Pargi belum mau.
Sesudah sarapan, gue mandi.
Bersiap-siap mengantarkan CD.
Ke sebuah agency di bilangan Proklamasi.
Sekalian ambil bayaran.
Dari situ, gue ke Plaza Senayan.
Tadi pagi gue liat kulkas kosong.
Gue beli nasi bogana dan lain-lain.
Semua gue bawa pulang.
Pas pulang lagi, Mbak Pargi lagi menyapu.
Sambil dengerin radio pake earphone.
Dia agak terkejut karena gue pulang cepet.
Gue minta dia ngelanjutin dengerin radio sambil nyapu.
Di depan gue sekarang ada nasi bogana.
Di samping laptop. Internetan.
Cek imel, blog, multiply, friendster.
Kirim kerjaan sedikit.
Gak terasa gue tertidur sebentar.
Mungkin karena nasi bikin ngantuk.
Gak sampai 30 menit.
Pas bangun lagi, Mbak Pargi sudah pulang.
Dengan berat, gue bersiap ke gym.
Rencananya hari ini mau jalan kaki aja.
30 menit bisa sampai.
Udara mendung mendukung rencana ini.
Sambil berjalan ke gym,
gue mendengarkan ipod.
Unbreakable-nya Shanty kiriman teman.
Lumayan. Jadi semangat jalan.
Sesampai di gym, gue ikutan kelas spinning.
Sambil mengayuh sepeda,
terbayang lemak nasi bogana ikut terbakar.
Badan gue basah kayak baru mandi.
Sesudah gym, gak pake mandi
gue memutuskan untuk berjalan kaki pulang.
Jalanan masih macet.
Kali ini gak dengerin ipod.
Hujan rintik-rintik kecil.
Bau tanah mulai tercium.
Langkah sengaja gue lambatkan.
Udah lama gak mengalami ini.
Kena air hujan.
Kena angin kota Jakarta.
Mendengarkan suara sekeliling.
Nyebrang jembatan busway.
Mendengarkan suara wajan nasi goreng jalanan.
Klakson mobil gak sabar.
Suara kenek berteriak lantang.
Satpam mengatur lalu lintas.
Bau sampah di pinggir jalan.
Kucing mati di aspal.
Semilir bau badan satpam yang sibuk kerja.
Dengkuran pengemis di halte bis.
Satu-satunya kata yang ada di hati gue,
"alhamdulillah, alhamdulillah..."
Buat gue, inilah nikmatnya hidup.
Inilah hiburan yang sebenarnya.
Gue memang gak punya semua.
Dan memang gak akan pernah punya semua.
Apa yang gue alami hari ini,
Adalah kenikmatan dari Allah.
Sebelum perjalanan selesai,
gue cuma bisa bersyukur.
Inilah yang gue mau. Cukup seadanya.
Gak lebih dan gak kurang.
gue bangun jam 9 an lebih lah.
Pas keluar kamar,
gue bisa denger suara Mbak Pargi nyuci baju.
Terus gue lanjutin dengan
nyiapin makan pagi sendiri.
Mbak Pargi nawarin bantuan.
Gue tolak karena memang
gue lagi pengen bikin sarapan sendiri.
Sambil makan pagi gue baca koran,
dilanjutkan ngobrol sama Mbak Pargi.
Cerita tentang waktu lebaran kemaren,
sebenarnya dia sudah mau dilamar.
Lamaran itu dia tolak,
karena lamaran itu bersyarat.
Dia harus tinggal di kampung.
Mbak Pargi belum mau.
Sesudah sarapan, gue mandi.
Bersiap-siap mengantarkan CD.
Ke sebuah agency di bilangan Proklamasi.
Sekalian ambil bayaran.
Dari situ, gue ke Plaza Senayan.
Tadi pagi gue liat kulkas kosong.
Gue beli nasi bogana dan lain-lain.
Semua gue bawa pulang.
Pas pulang lagi, Mbak Pargi lagi menyapu.
Sambil dengerin radio pake earphone.
Dia agak terkejut karena gue pulang cepet.
Gue minta dia ngelanjutin dengerin radio sambil nyapu.
Di depan gue sekarang ada nasi bogana.
Di samping laptop. Internetan.
Cek imel, blog, multiply, friendster.
Kirim kerjaan sedikit.
Gak terasa gue tertidur sebentar.
Mungkin karena nasi bikin ngantuk.
Gak sampai 30 menit.
Pas bangun lagi, Mbak Pargi sudah pulang.
Dengan berat, gue bersiap ke gym.
Rencananya hari ini mau jalan kaki aja.
30 menit bisa sampai.
Udara mendung mendukung rencana ini.
Sambil berjalan ke gym,
gue mendengarkan ipod.
Unbreakable-nya Shanty kiriman teman.
Lumayan. Jadi semangat jalan.
Sesampai di gym, gue ikutan kelas spinning.
Sambil mengayuh sepeda,
terbayang lemak nasi bogana ikut terbakar.
Badan gue basah kayak baru mandi.
Sesudah gym, gak pake mandi
gue memutuskan untuk berjalan kaki pulang.
Jalanan masih macet.
Kali ini gak dengerin ipod.
Hujan rintik-rintik kecil.
Bau tanah mulai tercium.
Langkah sengaja gue lambatkan.
Udah lama gak mengalami ini.
Kena air hujan.
Kena angin kota Jakarta.
Mendengarkan suara sekeliling.
Nyebrang jembatan busway.
Mendengarkan suara wajan nasi goreng jalanan.
Klakson mobil gak sabar.
Suara kenek berteriak lantang.
Satpam mengatur lalu lintas.
Bau sampah di pinggir jalan.
Kucing mati di aspal.
Semilir bau badan satpam yang sibuk kerja.
Dengkuran pengemis di halte bis.
Satu-satunya kata yang ada di hati gue,
"alhamdulillah, alhamdulillah..."
Buat gue, inilah nikmatnya hidup.
Inilah hiburan yang sebenarnya.
Gue memang gak punya semua.
Dan memang gak akan pernah punya semua.
Apa yang gue alami hari ini,
Adalah kenikmatan dari Allah.
Sebelum perjalanan selesai,
gue cuma bisa bersyukur.
Inilah yang gue mau. Cukup seadanya.
Gak lebih dan gak kurang.
Tuesday, September 11, 2007
Spiritual yang Menjadi Ritual?
Semenjak saya lahir di dunia ini, setiap tahun umat Islam di Indonesia menjalankan ibadah puasa. Banyak teman-teman saya yang khusuk menjalankan ibadah puasa, banyak yang setengah-setengah, banyak juga yang tidak sama sekali.
Walau minim pengetahuan soal agama, saya percaya puasa dimaksudkan agar setiap umat manusia yang menjalankannya, kembali ingat akan kefitrahannya. Kembali pada kebaikan. Menjauhi dosa. Intinya, berharap untuk kembali menjadi manusia yang disayang Allah.
Kalau benar, setiap umat Islam di negara ini menjalankan ibadah puasa dan memahami benar maksudnya, mengapa angka kriminalitas di tanah air kita tidak pernah berkurang? Mengapa koruptor bertambah jumlahnya? Mengapa kita semakin tidak menyayangi sesama? Mengapa semakin hari saya lebih sering mendengar orang menjelekkan orang lain? Mengapa semakin banyak orang yang syirik, iri, jahat, dan tega melakukan kebiadaban bahkan pada anaknya sendiri?
Apakah semangat spiritual puasa sudah menjadi ritual tanpa arti semata?
Natal tahun 2002. Seluruh umat di Amerika merayakan Natal. Di depan gedung putih yang termasyur, berdirilah pohon terang, pohon damai. Ribuan manusia negara itu serentak menyanyikan lagu Natal. "Damai, damai, damai lah senantiasa..."
19 Maret 2003, 3,5 bulan setelah itu, Bush menyatakan perang Irak. Ribuan manusia meninggal sia-sia. Milyaran bahkan triliunan uang ikut terbuang sia-sia. Dan sampai sekarang, 2007, hasil perang Irak masih diperdebatkan.
Apakah semangat spiritual Natal sudah menjadi ritual tanpa arti semata?
Dari SD sampai SMA, saya adalah seorang katolik yang sangat patuh. Setiap minggu, bahkan kadang setiap hari, saya pergi ke gereja. Perlahan tapi pasti, saya sering merasa ada yang kurang kalau Minggu tidak pergi ke gereja. Seperti tidak sikat gigi di pagi hari. Kebiasaan ini berlanjut sampai kuliah, dan masa-masa awal saya bekerja.
Sampai di suatu Minggu. Saya sedang mengikuti misa. Mendengar khotbah pastor yang panjang, saya kehilangan fokus. Benar-benar tidak mengerti sama sekali arti khotbah. Dilanjutkan dengan berdiri, berlutut, berdoa, semua seolah bergerak secara otomatis.
Ketika pulang, tiba-tiba saya merasa sangat bersalah. Bahkan berdosa. Bagaimana mungkin untuk menghadap Sang Pencipta saya tidak melakukannya dengan sungguh-sungguh. Badan di gereja tapi pikiran entah ke mana. Mulut berdoa tapi hati tak tau merasa apa.
Saat itu, saya benar-benar merasa, ke gereja setiap Minggu tidak lagi menjadi kebutuhan spiritual rohani lagi. Tapi sekedar memenuhi ritual. Sama seperti sikat gigi. Bahkan kadang, sikat gigi dilakukan lebih dihayati ketimbang ke gereja.
Sebentar lagi penghujung tahun tiba. Puasa, Lebaran, Natal, Tahun Baru, Sin Cia, dan banyak lagi hari besar keagamaan datang berturutan. Saya cuma bisa berdoa, semoga hari-hari besar itu bukan lagi sekedar menjadi ritual tanpa arti. Tapi benar-benar bisa kita hayati. Semata untuk mendekatkan diri pada Ilahi, dan menjadi lebih baik di hari nanti.
Selamat Menjalankan Ibadah Puasa 2007.
Walau minim pengetahuan soal agama, saya percaya puasa dimaksudkan agar setiap umat manusia yang menjalankannya, kembali ingat akan kefitrahannya. Kembali pada kebaikan. Menjauhi dosa. Intinya, berharap untuk kembali menjadi manusia yang disayang Allah.
Kalau benar, setiap umat Islam di negara ini menjalankan ibadah puasa dan memahami benar maksudnya, mengapa angka kriminalitas di tanah air kita tidak pernah berkurang? Mengapa koruptor bertambah jumlahnya? Mengapa kita semakin tidak menyayangi sesama? Mengapa semakin hari saya lebih sering mendengar orang menjelekkan orang lain? Mengapa semakin banyak orang yang syirik, iri, jahat, dan tega melakukan kebiadaban bahkan pada anaknya sendiri?
Apakah semangat spiritual puasa sudah menjadi ritual tanpa arti semata?
Natal tahun 2002. Seluruh umat di Amerika merayakan Natal. Di depan gedung putih yang termasyur, berdirilah pohon terang, pohon damai. Ribuan manusia negara itu serentak menyanyikan lagu Natal. "Damai, damai, damai lah senantiasa..."
19 Maret 2003, 3,5 bulan setelah itu, Bush menyatakan perang Irak. Ribuan manusia meninggal sia-sia. Milyaran bahkan triliunan uang ikut terbuang sia-sia. Dan sampai sekarang, 2007, hasil perang Irak masih diperdebatkan.
Apakah semangat spiritual Natal sudah menjadi ritual tanpa arti semata?
Dari SD sampai SMA, saya adalah seorang katolik yang sangat patuh. Setiap minggu, bahkan kadang setiap hari, saya pergi ke gereja. Perlahan tapi pasti, saya sering merasa ada yang kurang kalau Minggu tidak pergi ke gereja. Seperti tidak sikat gigi di pagi hari. Kebiasaan ini berlanjut sampai kuliah, dan masa-masa awal saya bekerja.
Sampai di suatu Minggu. Saya sedang mengikuti misa. Mendengar khotbah pastor yang panjang, saya kehilangan fokus. Benar-benar tidak mengerti sama sekali arti khotbah. Dilanjutkan dengan berdiri, berlutut, berdoa, semua seolah bergerak secara otomatis.
Ketika pulang, tiba-tiba saya merasa sangat bersalah. Bahkan berdosa. Bagaimana mungkin untuk menghadap Sang Pencipta saya tidak melakukannya dengan sungguh-sungguh. Badan di gereja tapi pikiran entah ke mana. Mulut berdoa tapi hati tak tau merasa apa.
Saat itu, saya benar-benar merasa, ke gereja setiap Minggu tidak lagi menjadi kebutuhan spiritual rohani lagi. Tapi sekedar memenuhi ritual. Sama seperti sikat gigi. Bahkan kadang, sikat gigi dilakukan lebih dihayati ketimbang ke gereja.
Sebentar lagi penghujung tahun tiba. Puasa, Lebaran, Natal, Tahun Baru, Sin Cia, dan banyak lagi hari besar keagamaan datang berturutan. Saya cuma bisa berdoa, semoga hari-hari besar itu bukan lagi sekedar menjadi ritual tanpa arti. Tapi benar-benar bisa kita hayati. Semata untuk mendekatkan diri pada Ilahi, dan menjadi lebih baik di hari nanti.
Selamat Menjalankan Ibadah Puasa 2007.
Thursday, September 06, 2007
Apa yang Menjadikan Pekerja Kreatif yang Baik?
Besok jam 8:30 pagi, Student's Creative Awards (SCA)-nya CCI kembali digelar. Setelah 2 tahun menghilang. Dan seperti 2 tahun lalu, kali ini gue juga diajak untuk mengajar. Materinya apa? Sama seperti 2 tahun lalu. TTL. Tapi mungkin kali ini gue akan mencoba memberikan materi TTL dengan cara baru. Supaya gue juga gak bosen.
Malam ini, gue mencoba merenungkan. Apa sih yang menjadikan seorang kreatif itu dibilang kreatif yang baik? Karena kan ujung-ujungnya, SCA dibuat untuk menciptakan tenaga-tenaga kreatif yang lebih baik daripada yang sekarang.
Apakah kalau seorang Art Director, bisa melay-out dengan baik,
bisa menggunakan photoshop dengan handal,
bisa memadu padankan warna dengan ciamik,
bisa menggunakan font dengan super canggih,
bisa disebut sebagai Art Director yang baik?
Demikian pula dengan Copywriter.
Apakah kalau Copywriter bisa menulis
dengan bahasa yang singkat pada dan mudah dimengerti,
bisa menulis dengan kata-kata yang mudah diinggat orang,
bisa menulis sesuai dengan strategi iklannya,
bisa menulis tagline yang diingat oleh hampir seluruh penduduk Indonesia,
bisa disebut Copywriter yang baik?
Kenapa kayaknya kalau cuma itu-itu saja acuannya, tenaga kreatif jadi kerdil sekali kesannya. Photoshop lah, warna lah, font lah, headline pendek lah, catchy tagline lah… YUCK! Bosan! Banyak tuh di gudang belakang!
Sejujurnya, semakin hari gue semakin menemukan, kemampuan dan keterampilan di atas emang penting. Tapi ada yang lebih penting dari itu semua. Menurut gue, yang lebih penting dari itu semua, lagi-lagi, menurut gue, adalah attitude.
Untuk apa anak kreatif jago segalanya,
tapi datang terlambat melulu sehingga mengganggu yang lain?
Untuk apa pinter ngelayout,
tapi semua yang keluar dari mulutnya adalah komplen dan keluhan?
Untuk apa pinter nulis copy,
kalau hampir tak pernah ada kata indah keluar dari mulutnya sendiri?
Belakangan ini, gue sering merasa lebih nyaman bekerja dengan anak magang ketimbang karyawan. Kenapa?
Karena anak magang masih punya semangat yang luar biasa. Sehingga gue pun jadi ikut semangat pula. Mereka tidak pernah komplen sana sini. Tapi lebih ke mencari solusi. Dan kalau dapat anak magang dari universitas terpercaya, biasanya mereka lebih disiplin. Dateng kantor dan menyelesaikan kerjaan tepat waktu.
Attitude mereka MASIH baik. Semangat belajar dan bekerja mereka MASIH tinggi. Walau dibayar sedikit, tapi mereka bekerja seolah tidak butuh uang.
Sekarang coba kita lihat ke belakang. Tempat duduk di mana para karyawan bekerja.
Yang satu datang terlambat dengan mata sayu karena semalamnya habis side job. Mau dikasih brief juga udah susah.
Belum lagi yang datang kantor petantang petenteng,
duduk, buka YM, multiply, friendster. Dan pas brief datang bilangnya selalu sibuk.
Atau yang tak pernah berhenti komplen. Mulai dari urusan gaji sampai kopi, OB sampai CD semua dikomplen.
Kalau gue harus memilih, bekerja dengan orang yang pandai, pinter cemerlang dengan attitude buruk atau bekerja dengan orang yang biasa-biasa saja dengan attitude yang baik, jelas yang kedua menjadi pilihannya.
Sempurna kalau bisa dapat kedua-duanya. Pandai dan berattitude baik. Tapi seperti kata Dorce, kesempurnaan hanya milik Allah.
“Talents are best nurtured in solitude, but character is best formed in the stormy billows of the world”
–Johann Wolgang von Goethe-
atau
“If you can't excell with talent, triumph with effort.”
-Dave Weinbaum-
Sekarang, pertanyaan berikutnya, bagaimana mungkin mengajarkan soal attitude dalam waktu 2 jam?
Waktu yang diberikan untuk gue dalam SCA esok?
Mau tau doa gue setiap kali bertemu dengan anak-anak magang berbakat, dengan attitude yang baik?
“Tuhan, tolong jaga dia agar seperti ini terus adanya…”
Malam ini, gue mencoba merenungkan. Apa sih yang menjadikan seorang kreatif itu dibilang kreatif yang baik? Karena kan ujung-ujungnya, SCA dibuat untuk menciptakan tenaga-tenaga kreatif yang lebih baik daripada yang sekarang.
Apakah kalau seorang Art Director, bisa melay-out dengan baik,
bisa menggunakan photoshop dengan handal,
bisa memadu padankan warna dengan ciamik,
bisa menggunakan font dengan super canggih,
bisa disebut sebagai Art Director yang baik?
Demikian pula dengan Copywriter.
Apakah kalau Copywriter bisa menulis
dengan bahasa yang singkat pada dan mudah dimengerti,
bisa menulis dengan kata-kata yang mudah diinggat orang,
bisa menulis sesuai dengan strategi iklannya,
bisa menulis tagline yang diingat oleh hampir seluruh penduduk Indonesia,
bisa disebut Copywriter yang baik?
Kenapa kayaknya kalau cuma itu-itu saja acuannya, tenaga kreatif jadi kerdil sekali kesannya. Photoshop lah, warna lah, font lah, headline pendek lah, catchy tagline lah… YUCK! Bosan! Banyak tuh di gudang belakang!
Sejujurnya, semakin hari gue semakin menemukan, kemampuan dan keterampilan di atas emang penting. Tapi ada yang lebih penting dari itu semua. Menurut gue, yang lebih penting dari itu semua, lagi-lagi, menurut gue, adalah attitude.
Untuk apa anak kreatif jago segalanya,
tapi datang terlambat melulu sehingga mengganggu yang lain?
Untuk apa pinter ngelayout,
tapi semua yang keluar dari mulutnya adalah komplen dan keluhan?
Untuk apa pinter nulis copy,
kalau hampir tak pernah ada kata indah keluar dari mulutnya sendiri?
Belakangan ini, gue sering merasa lebih nyaman bekerja dengan anak magang ketimbang karyawan. Kenapa?
Karena anak magang masih punya semangat yang luar biasa. Sehingga gue pun jadi ikut semangat pula. Mereka tidak pernah komplen sana sini. Tapi lebih ke mencari solusi. Dan kalau dapat anak magang dari universitas terpercaya, biasanya mereka lebih disiplin. Dateng kantor dan menyelesaikan kerjaan tepat waktu.
Attitude mereka MASIH baik. Semangat belajar dan bekerja mereka MASIH tinggi. Walau dibayar sedikit, tapi mereka bekerja seolah tidak butuh uang.
Sekarang coba kita lihat ke belakang. Tempat duduk di mana para karyawan bekerja.
Yang satu datang terlambat dengan mata sayu karena semalamnya habis side job. Mau dikasih brief juga udah susah.
Belum lagi yang datang kantor petantang petenteng,
duduk, buka YM, multiply, friendster. Dan pas brief datang bilangnya selalu sibuk.
Atau yang tak pernah berhenti komplen. Mulai dari urusan gaji sampai kopi, OB sampai CD semua dikomplen.
Kalau gue harus memilih, bekerja dengan orang yang pandai, pinter cemerlang dengan attitude buruk atau bekerja dengan orang yang biasa-biasa saja dengan attitude yang baik, jelas yang kedua menjadi pilihannya.
Sempurna kalau bisa dapat kedua-duanya. Pandai dan berattitude baik. Tapi seperti kata Dorce, kesempurnaan hanya milik Allah.
“Talents are best nurtured in solitude, but character is best formed in the stormy billows of the world”
–Johann Wolgang von Goethe-
atau
“If you can't excell with talent, triumph with effort.”
-Dave Weinbaum-
Sekarang, pertanyaan berikutnya, bagaimana mungkin mengajarkan soal attitude dalam waktu 2 jam?
Waktu yang diberikan untuk gue dalam SCA esok?
Mau tau doa gue setiap kali bertemu dengan anak-anak magang berbakat, dengan attitude yang baik?
“Tuhan, tolong jaga dia agar seperti ini terus adanya…”
Monday, August 13, 2007
9 WEJANGAN SUNYI
dalam perjalanan saya sebagai freelancer, sering saya ditanyain "apa sih rahasia-nya biar bisa jadi freelancer?"
selama ini saya diam saja, karena merasa masih baru sebagai freelancer. belum pantaslah untuk bilang freelancer harus begini begitu.
pun sekarang saya tetap merasa belum pantas. masih banyak freelancer yang sudah lebih senior dan sepuh.
sampai minggu kemaren. dalam perjalanan pulang dari makan siang bersama ibu saya. saya jadi teringat akan masa lalu kami.
ibu saya seperti layaknya ibu-ibu keturunan tionghoa lainnya, bukanlah ibu yang romantis. memberikan wejangan di bawah sinar bulan purnama misalnya.
cara ibu agak beda. dia adalah seorang penjahit. wejangannya bukan kata-kata. tapi apa yang dia lakukan di depan saya, anaknya. bisa jadi, ibu sendiri tak tahu bahwa ia sedang memberikan wejangan.
ke-9 wejangan sunyi inilah yang saya hendak bagikan kepada teman-teman. kali-kali ada gunanya. barangkali bisa bikin semangat. atau setidaknya, bisa buat baca-baca.
1. ada tuhan di atas segalanya.
hidup ibu saya, sejauh ingatan saya, tak pernah mudah seperti saudara-saudara kami yang punya perusahaan besar. tapi ibu tak pernah hilang percaya diri. ibu selalu yakin kalau semua orang, punya mangkok-nya sendiri-sendiri. dan tuhan sudah mengaturnya dengan bijaksana.
kadang kita sering melupakan tuhan. padahal, rezeki dari tuhan.
2. kasih lebih.
ibu saya selalu mengajarkan untuk selalu memberi lebih dari yang diminta. kalau ada pesanan yang punya sisa kain banyak, ibu selalu menyimpannya dengan hati-hati. ketika klien itu datang itu menawarkan untuk menjadikan sisa bahan untuk yang lain. sekedar blus atau bahkan sapu tangan. semua tanpa biaya.
kalau ada tagline pasti jadinya "kami memberi lebih!"
3. minta bayaran lebih rendah dari seharusnya.
ibu punya banyak langganan. kualitas jahitannya, sudah diakui sama dengan tailor terkenal. tapi, ibu gak pernah minta bayaran yang sama. selalu lebih murah.
mungkin maksudnya, supaya punya nilai lebih. kualitas tailor, harga rumahan.
4. jujur soal duit.
pernah suatu ketika seseorang mengirim bayaran dalam amplop. ternyata uang dalam amplop itu lebih dari yang seharusnya. kontan, klien itu ditelepon dan sisa uang dikembalikan.
lebih baik miskin daripada makan duit haram.
lebih baik pinjam duit orang daripada mencuri duit orang.
5. tepat waktu.
namanya penjahit, ibu selalu menepati janjinya. selesai senin berarti senin. jam 3 berarti jam 3. tetangga kami dulu, seorang penjahit juga. dia hampir tak pernah menepati janjinya. padahal, jahitan celananya sangat bagus! sayang, klien-nya pun semakin hari semakin sedikit.
waktu itu adalah uang.
kalau tak mau waktu kita dibuang percuma jangan buang waktu orang lain.
6. jangan cari musuh.
kembali ke tetangga itu tadi. walau seharusnya dia adalah kompetitor tapi ibu saya mengajaknya bekerja sama. pesanan ibu dibagi. karena kebetulan ibu tak pandai menjahit celana. ibu saya jadi manager yang mengatu jadwalnya. kekurangan ibu ditutupi, kekurangan dia disempurnakan.
sering kebencian akan musuh bikin kita jadi lemah. padahal kalau musuh diajak kerja sama bisa jadi menguatkan diri kita sendiri.
di kemudian hari, saya menyadari kalau wejangan nomor 6 ini ada tertulis di sun tzu, art of war. bisa jadi, ibu saya sendiri tidak mengetahuinya.
7. bikin sebisanya dari apa yang ada.
istilah inggrisnya, make a chicken salad out of chicken shit.
ada saatnya pesanan menurun. padahal uang sekolah saya tetap harus dibayar. ibu kreatif dalam arti sebenarnya. ia pun jualan es batu dan es mambo. bikin ikatan rambut dari kain perca. jualan handuk pengering tangan dan gagang kulkas.
bahkan sering, penghasilan sampingan ini melebihi penghasilan utamanya.
8. lihat ke depan.
banyak yang pernah menyakiti hati ibu atau kami sekeluarga. tapi ibu, tak pernah bosan untuk selalu mengingatkan bahwa biar bagaimana pun juga, ia tetap ayah saya, ia tetap tante saya, ia tetap sahabat, ia tetap teman.
lihat ke depan, karena masa lalu itu milik masa lalu. kita bisa belajar daripadanya tapi bukan untuk hidup di masa lalu.
9.jangan serakah.
terkadang, pesanan melebihi kemampuan ibu. kalau mau serakah, pasti semua diterima. tapi entah kenapa, ibu selalu membagi orderan. salah satunya ya ke tetangga yang merupakan kompetitor itu. saya, anaknya yang masih abg saat itu, geram dan gemas dibuatnya. dalam otak picik saya, kalau semua dikerjakan sendiri, kami bisa jadi lebih cepat kaya.
padahal, bukan kaya diraih. ibu bisa sakit dan malah keluar uang.
mungkin ada 90 wejangan yang tak pernah terucapkan. 900! bahkan 9000! tapi mungkin bukan seberapa banyak yang terucapkan yang penting. tapi seberapa banyak yang kita bisa laksanakan.
selama ini saya diam saja, karena merasa masih baru sebagai freelancer. belum pantaslah untuk bilang freelancer harus begini begitu.
pun sekarang saya tetap merasa belum pantas. masih banyak freelancer yang sudah lebih senior dan sepuh.
sampai minggu kemaren. dalam perjalanan pulang dari makan siang bersama ibu saya. saya jadi teringat akan masa lalu kami.
ibu saya seperti layaknya ibu-ibu keturunan tionghoa lainnya, bukanlah ibu yang romantis. memberikan wejangan di bawah sinar bulan purnama misalnya.
cara ibu agak beda. dia adalah seorang penjahit. wejangannya bukan kata-kata. tapi apa yang dia lakukan di depan saya, anaknya. bisa jadi, ibu sendiri tak tahu bahwa ia sedang memberikan wejangan.
ke-9 wejangan sunyi inilah yang saya hendak bagikan kepada teman-teman. kali-kali ada gunanya. barangkali bisa bikin semangat. atau setidaknya, bisa buat baca-baca.
1. ada tuhan di atas segalanya.
hidup ibu saya, sejauh ingatan saya, tak pernah mudah seperti saudara-saudara kami yang punya perusahaan besar. tapi ibu tak pernah hilang percaya diri. ibu selalu yakin kalau semua orang, punya mangkok-nya sendiri-sendiri. dan tuhan sudah mengaturnya dengan bijaksana.
kadang kita sering melupakan tuhan. padahal, rezeki dari tuhan.
2. kasih lebih.
ibu saya selalu mengajarkan untuk selalu memberi lebih dari yang diminta. kalau ada pesanan yang punya sisa kain banyak, ibu selalu menyimpannya dengan hati-hati. ketika klien itu datang itu menawarkan untuk menjadikan sisa bahan untuk yang lain. sekedar blus atau bahkan sapu tangan. semua tanpa biaya.
kalau ada tagline pasti jadinya "kami memberi lebih!"
3. minta bayaran lebih rendah dari seharusnya.
ibu punya banyak langganan. kualitas jahitannya, sudah diakui sama dengan tailor terkenal. tapi, ibu gak pernah minta bayaran yang sama. selalu lebih murah.
mungkin maksudnya, supaya punya nilai lebih. kualitas tailor, harga rumahan.
4. jujur soal duit.
pernah suatu ketika seseorang mengirim bayaran dalam amplop. ternyata uang dalam amplop itu lebih dari yang seharusnya. kontan, klien itu ditelepon dan sisa uang dikembalikan.
lebih baik miskin daripada makan duit haram.
lebih baik pinjam duit orang daripada mencuri duit orang.
5. tepat waktu.
namanya penjahit, ibu selalu menepati janjinya. selesai senin berarti senin. jam 3 berarti jam 3. tetangga kami dulu, seorang penjahit juga. dia hampir tak pernah menepati janjinya. padahal, jahitan celananya sangat bagus! sayang, klien-nya pun semakin hari semakin sedikit.
waktu itu adalah uang.
kalau tak mau waktu kita dibuang percuma jangan buang waktu orang lain.
6. jangan cari musuh.
kembali ke tetangga itu tadi. walau seharusnya dia adalah kompetitor tapi ibu saya mengajaknya bekerja sama. pesanan ibu dibagi. karena kebetulan ibu tak pandai menjahit celana. ibu saya jadi manager yang mengatu jadwalnya. kekurangan ibu ditutupi, kekurangan dia disempurnakan.
sering kebencian akan musuh bikin kita jadi lemah. padahal kalau musuh diajak kerja sama bisa jadi menguatkan diri kita sendiri.
di kemudian hari, saya menyadari kalau wejangan nomor 6 ini ada tertulis di sun tzu, art of war. bisa jadi, ibu saya sendiri tidak mengetahuinya.
7. bikin sebisanya dari apa yang ada.
istilah inggrisnya, make a chicken salad out of chicken shit.
ada saatnya pesanan menurun. padahal uang sekolah saya tetap harus dibayar. ibu kreatif dalam arti sebenarnya. ia pun jualan es batu dan es mambo. bikin ikatan rambut dari kain perca. jualan handuk pengering tangan dan gagang kulkas.
bahkan sering, penghasilan sampingan ini melebihi penghasilan utamanya.
8. lihat ke depan.
banyak yang pernah menyakiti hati ibu atau kami sekeluarga. tapi ibu, tak pernah bosan untuk selalu mengingatkan bahwa biar bagaimana pun juga, ia tetap ayah saya, ia tetap tante saya, ia tetap sahabat, ia tetap teman.
lihat ke depan, karena masa lalu itu milik masa lalu. kita bisa belajar daripadanya tapi bukan untuk hidup di masa lalu.
9.jangan serakah.
terkadang, pesanan melebihi kemampuan ibu. kalau mau serakah, pasti semua diterima. tapi entah kenapa, ibu selalu membagi orderan. salah satunya ya ke tetangga yang merupakan kompetitor itu. saya, anaknya yang masih abg saat itu, geram dan gemas dibuatnya. dalam otak picik saya, kalau semua dikerjakan sendiri, kami bisa jadi lebih cepat kaya.
padahal, bukan kaya diraih. ibu bisa sakit dan malah keluar uang.
mungkin ada 90 wejangan yang tak pernah terucapkan. 900! bahkan 9000! tapi mungkin bukan seberapa banyak yang terucapkan yang penting. tapi seberapa banyak yang kita bisa laksanakan.
Monday, July 30, 2007
Borobudur
While God waits for His temple to be built of love,
men bring stones. - Rabindranath Tagore
Tagore himself visited Japan several times, and Japanese haiku were translated into Bengali by Tagore early in the 20th century. However, Kalyan Dasgupta writes in 2001 that to this day, haiku as a literary expression does not seem to evoke much more than a queer reaction among the general reading public in either West Bengal or Bangladesh.
And so, when he published Jaapaani Haaiku (Calcutta: 2000)--a Bengali anthology of Japanese haiku--Dasgupta felt the need to describe for his readers "what the Japanese have sought from haiku," including "elegance" and "simplicity." Such information on how to receive haiku is essential if one wishes to import the form to a non-Japanese language and culture.
The title of this poem, ‘Fireflies’, comes from the first verse of the bilingual ‘Lekhan’ (1926)—‘My fancies are fireflies. . .’ It consists of 256 epigrams and short verses and shares structural similarity with Tagore’s other notable epigrammatic poem, ‘Stray Birds’. These poems resemble the sayings of a wise man rather than poetry. The possibility of the influence of Japanese Haiku can be suggested. The compact style conveys memorable poetic expressions with great force and intensity. The brevity and crispness of these verses combined with the wit and wisdom contained in them make these poems extremely delightful and reader friendly. The Bengali version of some these poems are also to be found in ‘Sphulinga’ (1946) apart from ‘Lekhan’.
The beautiful promenade on the shore of lake Balaton was named after Rabindranath Tagore (it was called Kolos promenade, then Deák promenade previously). The world-famous Hindu poet heart disease was treated here in 1926. He completed the ‘Fireflies’ during this stay in Balatonfüred. After his recovery he planted a lime-tree in the health-park. This act was motivated by an old Indian legend saying that if the tree takes root, its planter will live long so that he or she can see the new sprouts. "If I am not present in this world any more, oh my tree, let your new leaves rustle in spring above those who roam about; the poet loved you until his death." - wrote the poet. In fact, Tagore lived for another 17 years after having planted the tree. A Hindu grove has been created around the memorial tree and statue of the poet in the past decades. Several presidents of the Indian Republic including Indira Gandhi saluted the memory of Tagore by planting trees.
Monday, July 23, 2007
Di Sela-sela Nyari Duit
Gue menyempatkan diri untuk baca-baca buku. Kadang-kadang ada aja yang minta saran untuk beli buku. Gue suka bingung juga, karena gue sendiri kalau ke toko buku ya pasti bingung mau beli yang mana. Buka satu-satu baca sedikit-sedikit untuk cari tau isi bukunya, baru dibeli.
Nah kali ini gue mau kasih resensi buku-buku yang menurut gue bagus dan pantas untuk dibeli.
1. Gitanjali - Rabindranath Tagore
Buku ini adalah salau satu masterpiece dunia dan pernah memenangkan hadiah Nobel di tahun 1913 untuk literatur. Ditulis oleh Tagore yang banyak dipengaruhi oleh Gandhi di mana kemerdekaan berpikir menjadi begitu penting.
W.B. Yeats 1865-1939, penulis puisi besar dari Irish dan pemenang hadiah Nobelmengatakan bahwa puisi dan pemikiran Tagore "This work has stirred my blood as nothing for years..."
Tagore dalam Gitanjali menekankan pentingnya kemerdekaan dan pembauran ide dan nilai (dari berbagai bangsa) untuk lahirnya dunia baru yang lebih luas dan saling menghargai.
Where the mind is without fear
and the head is held high;
Where knowledge is free;
Where the world has not been broken up
into fragments by narrow domestic walls;
Where words come out from the depth of truth;
Where tireless striving stretches its arms towards perfection;
Where the clear stream of reason has no lost its way
into the dreary desert sand of dead habit;
Where the mid is lead forward by thee into ever-widening thought and action ---
Into that heaven of freedom, my Father,
let my country awake.
Idola baru gue: Rabindranath Tagore.
Harganya: Rp 76.000,- di Kinokuniya
2. The Dip - Seth Godin
Secara mengejutkan Godin kali ini menelurkan coffee-table book. Dan isinya buka soal teori-teori marketing seperti biasanya, tapi seperti tagline di judulnya "A little book that teaches you when to quit (and when to stick)
Sedari kecil, kita selalu diajarkan untuk tidak pernah menyerah. Tapi di buku ini, Godin mengatakan bahwa banyak orang-orang besar dan pemenang dunia, menyerah dan kalah sebelumnya. Tapi semua tergantung dari keadaannya dan bagaimana kita bisa membaca situasi. Seperti kata orang "you do not have to win all but pick your battle!"
Godin membaginya dalam 3 keadaan, The Dip, The Cul-De-Sac dan The Cliff. The Dip adalah keadaan di mana kita tidak boleh menyerah, The Cul-De-Sac seperti namanya, jalan buntu, yang berarti saatnya untuk menyerah dan The Cliff yang menawarkan kita untuk sedikit nekad dan berani meloncat.
Lumayan menyegarkan di tengah terpaan kerjaan yang bikin kita bingung 'mesti ngapain ya?'
Harganya Rp 129.000,- di Aksara
3. 1001 Paintings You Must See Before You Die - Geoff Dyer/Stephen Farthing
Salah satu cita-cita dalam hidup gue adalah pengen mengembara keliling dunia dan melihat lukisan-lukisan kelas dunia dengan mata kepala gue sendiri. Monalisa, Sunflower, The Last Supper, Sistine Madonna dan lainnya.
Bukan pesimis, tapi sepertinya cita-cita itu hanya milik para milyarder. Selain biaya transportasi akomodasi, tak semua lukisan dunia itu bisa dilihat oleh orang biasa. Ada banyak yang sudah menjadi koleksi pribadi bangsawan dan taipan dunia. Pun bisa dilihat di museum, seringkali karya agung dunia itu direstorasi dan disimpan dalam lemari besi.
Buku ini benar-benar menghibur! Tak hanya lukisan, tapi juga sedikit cerita tentang pelukisnya dan mengapa lukisan itu menjadi begitu istimewa dalam perjalanan seni dunia. Perjalanan dimulai dari Pra-1400 sampai 1900-an.
Tebal dan menurut gue, setiap Art Director harus punya buku ini. Akan membuka pikiran dan cakrawala baru. Bagaimana para pelukis dunia berkomunikasi.
Harganya Rp 274.000,- di Aksara
4. What Would Buddha Do? dan What Would Buddha Do at Work?- Franz Metcalf
Agama Buddha, adalah salah satu agama yang menarik perhatian gue. Entah kenapa, bagi gue, Buddha itu adalah puisi. Kepelikan dunia menjadi begitu sederhana dan jernih. Kadang gue sering tercampur baur dengan Haiku dan Zen.
Sampai akhirnya gue menemukan buku ini. Di dalamnya berisikan pertanyaan-pertanyaan seperti What would Buddha do about matterial possesion? What would Buddha do about women's right? What would Buddha do about angry clients? What would Buddha do about lazy employee? What would Buddha do about affair at works? Dan ratusan pertanyaan-pertanyaan relevan dan sehari-hari yang dijawab dengan sangat sederhana tapi dalam.
Franz Metcalf meramu jawaban-jawaban dari kitab-kitab dan interpretasinya. Menarik untuk dijadiin hadiah untuk karyawan atau boss.
Harganya seratusan lebih, ada di Kinokuniya dan Etnobook.
5. The Sacred East - General Editor C. Scott Littleton
Seperti yang gue tulis di atas, gue sering bingung membedakan antara Buddha, Hindhu, dan Konghucu. Haiku itu Buddha atau Hindhu sih? Zen?
Nah di buku ini, semua dijelaskan lengkap dengan sejarahnya. Mulai dari arti setiap simbol sampai tata krama keagamaan. Menjawab keraguan adanya penyembahan berhala yang selama ini dijejalkan ke otak gue sejak SD. Sampai tentang maksud ritual keagamaan yang pada dasanya menjadikan manusia menjadi lebih baik dan menjaga hubungan rumah tangga.
Menariknya, karena buku ini ditulis oleh orang barat, beberapa ide-ide besar yang selama ini seolah berasal dari barat ternyata telah merasuki perbendaharaan barat. Seperti Karma, meditasi dan kebangkitan.
Harganya seratusan juga di Etnobook
Nah kali ini gue mau kasih resensi buku-buku yang menurut gue bagus dan pantas untuk dibeli.
1. Gitanjali - Rabindranath Tagore
Buku ini adalah salau satu masterpiece dunia dan pernah memenangkan hadiah Nobel di tahun 1913 untuk literatur. Ditulis oleh Tagore yang banyak dipengaruhi oleh Gandhi di mana kemerdekaan berpikir menjadi begitu penting.
W.B. Yeats 1865-1939, penulis puisi besar dari Irish dan pemenang hadiah Nobelmengatakan bahwa puisi dan pemikiran Tagore "This work has stirred my blood as nothing for years..."
Tagore dalam Gitanjali menekankan pentingnya kemerdekaan dan pembauran ide dan nilai (dari berbagai bangsa) untuk lahirnya dunia baru yang lebih luas dan saling menghargai.
Where the mind is without fear
and the head is held high;
Where knowledge is free;
Where the world has not been broken up
into fragments by narrow domestic walls;
Where words come out from the depth of truth;
Where tireless striving stretches its arms towards perfection;
Where the clear stream of reason has no lost its way
into the dreary desert sand of dead habit;
Where the mid is lead forward by thee into ever-widening thought and action ---
Into that heaven of freedom, my Father,
let my country awake.
Idola baru gue: Rabindranath Tagore.
Harganya: Rp 76.000,- di Kinokuniya
2. The Dip - Seth Godin
Secara mengejutkan Godin kali ini menelurkan coffee-table book. Dan isinya buka soal teori-teori marketing seperti biasanya, tapi seperti tagline di judulnya "A little book that teaches you when to quit (and when to stick)
Sedari kecil, kita selalu diajarkan untuk tidak pernah menyerah. Tapi di buku ini, Godin mengatakan bahwa banyak orang-orang besar dan pemenang dunia, menyerah dan kalah sebelumnya. Tapi semua tergantung dari keadaannya dan bagaimana kita bisa membaca situasi. Seperti kata orang "you do not have to win all but pick your battle!"
Godin membaginya dalam 3 keadaan, The Dip, The Cul-De-Sac dan The Cliff. The Dip adalah keadaan di mana kita tidak boleh menyerah, The Cul-De-Sac seperti namanya, jalan buntu, yang berarti saatnya untuk menyerah dan The Cliff yang menawarkan kita untuk sedikit nekad dan berani meloncat.
Lumayan menyegarkan di tengah terpaan kerjaan yang bikin kita bingung 'mesti ngapain ya?'
Harganya Rp 129.000,- di Aksara
3. 1001 Paintings You Must See Before You Die - Geoff Dyer/Stephen Farthing
Salah satu cita-cita dalam hidup gue adalah pengen mengembara keliling dunia dan melihat lukisan-lukisan kelas dunia dengan mata kepala gue sendiri. Monalisa, Sunflower, The Last Supper, Sistine Madonna dan lainnya.
Bukan pesimis, tapi sepertinya cita-cita itu hanya milik para milyarder. Selain biaya transportasi akomodasi, tak semua lukisan dunia itu bisa dilihat oleh orang biasa. Ada banyak yang sudah menjadi koleksi pribadi bangsawan dan taipan dunia. Pun bisa dilihat di museum, seringkali karya agung dunia itu direstorasi dan disimpan dalam lemari besi.
Buku ini benar-benar menghibur! Tak hanya lukisan, tapi juga sedikit cerita tentang pelukisnya dan mengapa lukisan itu menjadi begitu istimewa dalam perjalanan seni dunia. Perjalanan dimulai dari Pra-1400 sampai 1900-an.
Tebal dan menurut gue, setiap Art Director harus punya buku ini. Akan membuka pikiran dan cakrawala baru. Bagaimana para pelukis dunia berkomunikasi.
Harganya Rp 274.000,- di Aksara
4. What Would Buddha Do? dan What Would Buddha Do at Work?- Franz Metcalf
Agama Buddha, adalah salah satu agama yang menarik perhatian gue. Entah kenapa, bagi gue, Buddha itu adalah puisi. Kepelikan dunia menjadi begitu sederhana dan jernih. Kadang gue sering tercampur baur dengan Haiku dan Zen.
Sampai akhirnya gue menemukan buku ini. Di dalamnya berisikan pertanyaan-pertanyaan seperti What would Buddha do about matterial possesion? What would Buddha do about women's right? What would Buddha do about angry clients? What would Buddha do about lazy employee? What would Buddha do about affair at works? Dan ratusan pertanyaan-pertanyaan relevan dan sehari-hari yang dijawab dengan sangat sederhana tapi dalam.
Franz Metcalf meramu jawaban-jawaban dari kitab-kitab dan interpretasinya. Menarik untuk dijadiin hadiah untuk karyawan atau boss.
Harganya seratusan lebih, ada di Kinokuniya dan Etnobook.
5. The Sacred East - General Editor C. Scott Littleton
Seperti yang gue tulis di atas, gue sering bingung membedakan antara Buddha, Hindhu, dan Konghucu. Haiku itu Buddha atau Hindhu sih? Zen?
Nah di buku ini, semua dijelaskan lengkap dengan sejarahnya. Mulai dari arti setiap simbol sampai tata krama keagamaan. Menjawab keraguan adanya penyembahan berhala yang selama ini dijejalkan ke otak gue sejak SD. Sampai tentang maksud ritual keagamaan yang pada dasanya menjadikan manusia menjadi lebih baik dan menjaga hubungan rumah tangga.
Menariknya, karena buku ini ditulis oleh orang barat, beberapa ide-ide besar yang selama ini seolah berasal dari barat ternyata telah merasuki perbendaharaan barat. Seperti Karma, meditasi dan kebangkitan.
Harganya seratusan juga di Etnobook
Wednesday, June 27, 2007
Percakapan Di Sebuah Cafe
x:
sumpah mati gue bosen kerja! capek... enak ya loe, freelancer...
g:
"ya cobain aja jadi freelancer..."
x:
"ya loe enak, single... gue kan ada anak bini"
g:
"emang apa hubungannya?"
x:
"iya kan gue butuh steady income"
g:
"emang kalau freelancer gak punya steady income? kalau karyawan gak mungkin dipecat?"
x:
"problemnya adalah, loe nggak pernah ngerasain punya tanggungan keluarga... ya seenggak-enggaknya kalau karyawan tiap bulan kan dapet duit"
g:
"ok... tapi sekarang kalau loe gak enjoy kerjaan loe, terus loe stress, sampe di rumah marah-marah. loe gak pernah pulang. gak ada waktu buat keluarga. keluarga loe juga gak enjoy kan?
x:
"iya sih... tapi loe tau sendiri lah, apa-apa mahal, uang sekolah anak gue aja 3 juta sebulan"
g:
"ah gila, anak loe sekolah di mana emang?"
x:
"tiiiit (sebuah nama sekolah elit)"
g:
"ya udah gak usah sekolah di situ... tarakanita gitu kan gak semahal itu... kanisius..."
x:
"iya tapi gue pengen dong anak gue masuk sekolah internasional"
g:
"berarti itu maunya loe dong?"
x:
"iya lah... ambisi semua orang tua kan anaknya sekolah di sekolah terbaik?"
g:
"pastinya.... kan setiap orang tua pasti sayang sama anaknya"
x:
"iya lah"
g:
"kalau sayang berarti kerja harusnya bukan beban dong?"
x:
"iya sih..."
g:
"terus kenapa komplen meluluk sekarang?"
x:
"ah loe gak ngerti lah glenn! loe gak punya keluarga, loe bisa bebas, loe single"
g:
"ya udah loe cerai aja gimana?"
x:
"sialan! ajarin cara cerai dong, kayaknya menarik nih!"
g:
"hahaha, maksud gue gini, kan waktu loe dulu nikah, loe dah tau dong konsekwensinya? dan bahwa harga barang dan biaya hidup meningkat itu udah diprediksi sama jayabaya kan?"
x:
"iya... terus..."
g:
"iya kan berarti loe dah tau dong bahwa hidup berkeluarga itu memang susah hari begini. kecuali nanti pas udah tua, mungkin gantian gue yang susah gak ada yang ngurus."
x:
"ergh... belum tentu juga sih.... belum tentu anak gue bakal ngurus gue pas tua nanti..."
g:
"nah tumben loe pinter!"
x:
"hahahaha anjing loe!"
g:
"hehehe, udah ah, gue mau ke plaza indonesia dulu. mau ngelayout sambil makan di california pizza kitchen. loe mau ngapain?"
x:
"gue balik kantor. nanti jam 3 ada internal"
g:
"ok deh, have fun ya!"
x:
"ergh... kayaknya loe deh yang have fun ya!"
g:
"loe juga bisa kok!... bye..."
x:
"loe sih enak, single... sialan loe. jadi kepikiran cerai nih..."
g:
"hahahahahah bukan salah gue... bye"
x:
"bye"
sumpah mati gue bosen kerja! capek... enak ya loe, freelancer...
g:
"ya cobain aja jadi freelancer..."
x:
"ya loe enak, single... gue kan ada anak bini"
g:
"emang apa hubungannya?"
x:
"iya kan gue butuh steady income"
g:
"emang kalau freelancer gak punya steady income? kalau karyawan gak mungkin dipecat?"
x:
"problemnya adalah, loe nggak pernah ngerasain punya tanggungan keluarga... ya seenggak-enggaknya kalau karyawan tiap bulan kan dapet duit"
g:
"ok... tapi sekarang kalau loe gak enjoy kerjaan loe, terus loe stress, sampe di rumah marah-marah. loe gak pernah pulang. gak ada waktu buat keluarga. keluarga loe juga gak enjoy kan?
x:
"iya sih... tapi loe tau sendiri lah, apa-apa mahal, uang sekolah anak gue aja 3 juta sebulan"
g:
"ah gila, anak loe sekolah di mana emang?"
x:
"tiiiit (sebuah nama sekolah elit)"
g:
"ya udah gak usah sekolah di situ... tarakanita gitu kan gak semahal itu... kanisius..."
x:
"iya tapi gue pengen dong anak gue masuk sekolah internasional"
g:
"berarti itu maunya loe dong?"
x:
"iya lah... ambisi semua orang tua kan anaknya sekolah di sekolah terbaik?"
g:
"pastinya.... kan setiap orang tua pasti sayang sama anaknya"
x:
"iya lah"
g:
"kalau sayang berarti kerja harusnya bukan beban dong?"
x:
"iya sih..."
g:
"terus kenapa komplen meluluk sekarang?"
x:
"ah loe gak ngerti lah glenn! loe gak punya keluarga, loe bisa bebas, loe single"
g:
"ya udah loe cerai aja gimana?"
x:
"sialan! ajarin cara cerai dong, kayaknya menarik nih!"
g:
"hahaha, maksud gue gini, kan waktu loe dulu nikah, loe dah tau dong konsekwensinya? dan bahwa harga barang dan biaya hidup meningkat itu udah diprediksi sama jayabaya kan?"
x:
"iya... terus..."
g:
"iya kan berarti loe dah tau dong bahwa hidup berkeluarga itu memang susah hari begini. kecuali nanti pas udah tua, mungkin gantian gue yang susah gak ada yang ngurus."
x:
"ergh... belum tentu juga sih.... belum tentu anak gue bakal ngurus gue pas tua nanti..."
g:
"nah tumben loe pinter!"
x:
"hahahaha anjing loe!"
g:
"hehehe, udah ah, gue mau ke plaza indonesia dulu. mau ngelayout sambil makan di california pizza kitchen. loe mau ngapain?"
x:
"gue balik kantor. nanti jam 3 ada internal"
g:
"ok deh, have fun ya!"
x:
"ergh... kayaknya loe deh yang have fun ya!"
g:
"loe juga bisa kok!... bye..."
x:
"loe sih enak, single... sialan loe. jadi kepikiran cerai nih..."
g:
"hahahahahah bukan salah gue... bye"
x:
"bye"
Monday, June 04, 2007
Kuis
Sunday, June 03, 2007
Kuis
Saturday, April 28, 2007
Jawabannya Ada di Tokyo Story
Dengan berbagai alasan, saya sering mendapat pertanyaan "iklan yang baik itu yang kayak apa sih?" Selama ini saya tidak pernah bisa memberikan jawaban yang memuaskan diri saya sendiri. Kalau mau jawab bahwa iklan yang baik adalah iklan yang ada ide-nya, kok saya kurang sreg. Ada ide tapi kalau gak menyentuh tombol-tombol hati, buat apa? Kemudian kalau saya jawab, iklan yang baik adalah iklan yang menyentuh perasaan, kok juga kurang sesuai.
Saya pun terus menerus mencoba mencari jawabannya. Karena saya yakin, setiap orang boleh punya definisinya sendiri-sendiri akan iklan yang baik.
Tuhan memang Maha Pemurah. Seorang teman dari Malaysia mengirimkan DVD. Salah satunya adalah Tokyo Story. Arahan Yasujiro Ozu. Dibuat tahun 1953, dengan cerita yang sangat sederhana. Sepasang kakek nenek mengunjungi anak-anaknya di Tokyo. Sesampainya di Tokyo anak-anaknya terlalu sibuk untuk menemani mereka. Karenanya, sepasang manusia rapuh itu pun dikirim ke spa! Di spa itu lah mereka merasa begitu tidak diinginkan dan memutuskan untuk pulang balik ke kampung halamannya. Sesampainya di kampung, sang nenek meninggal dunia.
Jangan berharap spesial efek, kamera pun tidak bergerak. Dari awal sampai akhir film, hampir tidak ada intonasi ucapan yang berlebihan. Dan dengan sensitivitas kelas dewa, Ozu menampilkan sisi sisi kemanusiaan tanpa niat untuk menggurui melainkan berbagi. Dari awal sampai akhir film, perlahan-lahan diri saya dilucuti tanpa ampun. Beberapa kali saya melihat diri saya sendiri di film itu melalui berbagai karakter. Dan saya pun merelakan diri untuk jatuh cinta tanpa syarat.
Bagaimana sebuah film yang dibuat pada tahun 1953, 20 tahun sebelum kelahiran saya, bisa begitu menyentuh dan relevan? Bisa jadi, karena film ini bagaikan cermin bening yang memantulkan diri setiap yang menyaksikannya. Begitu bening sampai borok dan tahi lalat terlihat jelas. Jelas, pemahaman akan manusia dan kemanusiaan adalah syarat mutlak untuk membuat film seperti ini. Tanpa itu, saya yakin film ini tidak akan masuk dalam 1 dari 10 film terbaik dunia.
Dan menurut saya, iklan harus belajar dari film. Iklan yang baik adalah iklan yang merupakan cerminan masyarakatnya. Cerminan pendapat, kata hati, pikiran dan perasaan yang melihat iklan tersebut. Dengan begitu, merek yang diiklankan akan melekat di hati. "Nah iya.. hahaha itu gue banget tuh... bener bener!" Kurang lebih seperti itulah harusnya ekspresi orang yang menyaksikan iklan kita.
Beberapa kali saya menyaksikan iklan di tv dan print di Indonesia, yang membuat saya merasa terasing. Membuat saya merasa bahwa ikan itu tidak dibuat untuk saya. Bahkan tidak jarang, saya merasa dikecilkan oleh iklan tersebut.
Bukan tidak mungkin jawaban saya akan berubah suatu saat, tapi untuk saat ini dengan yakin saya akan menjawab, iklan yang baik adalah iklan yang menjadi cermin. Dan saya semakin yakin bahwa iklan harus belajar dari film. Akan lebih menarik mendengar cerita Ozu ketika beliau mencari ide untuk filmnya ketimbang pandapat orang iklan terkemuka sekelas David Droga sekalipun. Mengapa? Karena terbukti Ozu lebih memahami manusia dan kemanusiaan yang merupakan nyawa dari iklan.
Sebelum saya kebanyakan omong dan ceramah, coba deh beli DVD Tokyo Story. Mungkin, mungkin setelah menyaksikannya sendiri Anda akan setuju dengan pendapat saya.
Thursday, April 26, 2007
IBUNDA
Pertama kali aku nonton film ini di layar kaca waktu umur masih SMA.
Setelah itu aku pergi ke luar untuk sekolah.
Ibunda pun pelan-pelan terlupakan.
Tapi ada beberapa bagian dari film ini yang nempel di kepala dan di hati aku.
Aku masih ingat gemulainya Tuti Indra Malaon,
Aku masih ingat rumahnya, gordynnya, cangkirnya, payungnya...
Aku bahkan masih ingat beberapa kutipan dialognya.
Kemudian beberapa kali aku mencoba mengekspresikannya lewat iklan-iklan.
Aku sering bilang ke director:
"Eh coba deh pake referensi film Ibunda.
Menurut aku cocok dengan board ini karena memang waktu ide ini dibuat,
setting film Ibunda itulah yang ada di kepala aku.
Bahkan ketika scriptnya ditulis, yang terngiang di kepala adalah
kelembutan suara Ibunda"
Tapi entah kenapa... selalu gagal. Selalu jadi berlebihan.
Baru kemarin aku berbelanja DVD, dan aku menemukan VCD Ibunda.
Tinggal 2 copy, aku borong semua.
Aku takut kalau aku tidak bisa menemukannya kembali.
Buru-buru aku pulang ke rumah dan tanpa cuci muka dahulu
apalagi ganti baju, aku langsung menonton Ibunda.
Aku seperti menemukan kembali mata air yang selama ini aku cari.
Sumber inspirasi yang selama ini, perlahan hilang.
Yang selama ini aku cari kalau menonton film Indonesia.
Dan yang menjadi referensi kalau aku menulis naskah iklan.
Setiap kata-katanya adalah kehangatan.
Dipenuhi dengan kelembutan yang sudah lama hilang
baik di layar kaca maupun perak.
Salah satu yang telah menjadikan aku seperti sekarang ini,
adalah film Ibunda.
Monday, April 23, 2007
Nonton Deh Kala!
Tuesday, April 10, 2007
A, B, C, D atau E?
200453720-001.jpg, www.gettyimages.com
Dunia iklan itu ternyata lebih sempit dari dunia sebenarnya.
Di dunia iklan, manusia hanya terbagi dalam 5 kasta. A, B, C, D dan E. A berarti kaya raya, B hampir kaya, C itu menengah, D miskin dan E sangat miskin. A berarti sophisticated, C-E itu norak. A berarti makan di hotel bintang 10 dan D makan di warung, E entah makan di mana. A berarti pakai baju bermerek, E compang camping.
Seperti itukah kehidupan kita?
Kehidupan saya, kamu dan dia?
Kalau menurut list yang dibuat oleh orang iklan, saya adalah kelas A. Alhamdulillah. Tapi, apa makan siang saya hari ini? Sayur asem dan pepes ikan di pinggir jalan, yang kalau menurut orang iklan itu adalah makanan kelas C, D dan E. Apa yang saya kenakan hari ini? Kaos oblong ada gambar Benyamin S dalam posisi Guevara yang saya beli di Pasar Festival obral. Yang kalau menurut catatan orang iklan, adalah kaos yang dibeli oleh kelas B & C.
Mbak Pargi. Kalau menurut daftar, maka Mbak Pargi masuk dalam kelas C. Mau tau sabun mandi Mbak Pargi? Dove. Mau tau makan siang Mbak Pargi apa? Masak sendiri dengan kualitas bahan masakan yang lebih segar dan berkelas dibanding saya. Mau tau gak HP mbak Pargi apa? Nokia yang ada kamera dan 3G!
Pernah jalan-jalan ke Pecenongan? Yang kalau menurut logika orang iklan, Pecenongan adalah warung pinggir jalan adalah murah adalah kelas CD. Mungkin kita akan terkejut melihat jejeran mobil mewah kayak di showroom semua di Pecenongan! Pernah ke supermarket di Hero Menteng? Hero Menteng adalah supermarket berkelas adalah mahal adalah AB. Siang besok ke sana deh! Mungkin kita akan terkejut melihat Mbak Pargi dan teman-temannya berbelanja untuk dirinya sendiri dan untuk majikannya.
Kulkas adalah barang mewah buat penduduk pedalaman Pulau Bangka. Seorang pekerja di tambang timah ternyata sanggup membeli Kulkas yang iklannya pake Duo Ratu. Sesampainya di rumah, dia baru menyadari kalau aliran listrik belum sampai ke rumahnya. Alhasil, kulkas itu jadi lemari baju! Atau tetangga ibu saya yang dari kelas C. Suatu hari datang bertandang ke rumah ibu saya, rencananya mau pinjam uang. Dia membawa buah tangan, 12 donut J.CO!
Entahlah, mungkin saya salah. Keliru dan tidak akurat. Tapi di dunia saya, tidak ada A, B, C, D dan E. Kaya dan miskin itu relatif. Intelektualitas pun bukan hal yang sejajar dengan kekayaan. Kaya tapi lulusan SD, bejibun. Miskin tapi terpelajar juga banyak! Di dunia saya, makanan adalah makanan. Tidak ada lagi label A, B, C. Steak dulu hanya makanan orang kaya. Sekarang semua orang bisa makan steak. Inget Abuba? Dulu burger paling cool adalah McDonald. Sekarang Blenger Burger buatan lokal yang lagi diminati.
Di dunia kreatif iklan, saya kesulitan kalau disuruh bikin iklan sophisticated atau kampungan hanya karena yang sophisticated itu untuk kelas A dan kampungan itu untuk C. Buat saya, sophisticated bisa untuk A dan bisa untuk E. Sebaliknya, buat saya, kampungan itu bisa untuk E bisa juga untuk A. Lagian, kotak dari mana lagi ini sophisticated dan kampungan. Eksklusif dan Norak. Percaya atau tidak, banyak iklan yang dimaksudkan eksklusif tapi jadi norak. Yang norak malah jadi menghibur dan elegan.
Iklan favorit saya bulan ini adalah Sejati. Kok bisa ya? Padahal, hitam di atas putih saya itu A loh! Itu iklan kan bedangdutan. Eits, siapa bilang dangdut hanya untuk E? Belakangan ini banyak banget teman-teman saya yang memasukkan ringtone lagu dangdut "SMS" ke HP-nya. Bahkan seorang Direktur perusahaan. Siapa bilang Dangdut gak cocok untuk anak muda? Inget lagu Mendadak Dangdut? Diputer di CITOS!
Lagi-lagi saya mungkin salah. Tapi saya percaya, selama iklan kita berbicara dengan bahasa kalbu, menghibur, menyenangkan, tidak ofensif, maka dari kelas apapun yang menyaksikannya pasti bisa tersentuh. Selama iklan yang kita bikin sesuai dengan kata nurani, bisa jadi semua iklan kita lintas kelas. Bahkan lintas benua dan waktu.
Saya ingin mengajak teman-teman iklan untuk mulai mempertanyakan kotak-kotak yang selama ini kita bikin sendiri. Siapa bilang wayang gak bisa buat ABG? Siapa bilang kalau untuk kelas "A" harus selalu makan di Restoran? Kata siapa C gak bisa mengapresiasi lagu klasik? Siapa bilang kalau A pasti terpelajar dan berselera tinggi?
Kotak-kotakan bertuliskan A, B, C, D dan E adalah mainan anak kecil ketika dia mulai belajar alfabet. Tapi ketika kita mulai bisa membaca, kotak-kotak itu malah jadi menghambat. Kotak-kotak itu milik mahasiswa. Ketika mulai masuk ke dunia iklan sebenarnya, maka jadikanlah dunia sekitarmu jadi inspirasi dan guru kita.
Demikian menghambat juga ketika kreatif mencari ide. Mentang-mentang di brief bilang untuk A, langsung semua ide norak dibunuh? Pas dibilang untuk C, langsung jadi Srimulatan. Dan kebanyakan gagal pula :).
Iklan adalah soal komunikasi. Dan komunikasi punya satu kesejatian. Dari hati ke hati. Dan semua manusia di dunia ini sama. Sama-sama ingin hidup enak, damai, ingin disayangi, ingin dimengerti (gak cuma wanita kayak lagu itu!). Sama-sama makan kalau lapar, minum kalau haus, sedih kalau ditinggal pacar. Semua orang bangga kalau dipuji dan semua pengen diakui. Dan lainnya.
Bukankah kesadaran ini sudah lebih dari cukup untuk mencari ide dan memahami keluarga, saudara, teman, tetangga, dan semua yang hidup bersama kita, yang oleh orang iklan dinamakan target audience. Seolah target yang siap ditembak. Penamaan yang jauh dari kesan 'manusia'. Apalagi pemahamannya.
Wednesday, March 28, 2007
Konsumen itu Rasis
- oleh Budiman Hakim -
Planet animal adalah salah satu stasiun TV favorit anak saya. Saya juga suka sih. Seneng rasanya ngeliat kelakuan binatang yang sering tampak lebih beradab daripada manusia kayak kita. Mereka berkumpul sesuai dengan jenisnya. Kuda zebra dengan kuda zebra. Bison sama bison, bebek sama bebek, gajah sama gajah, singa sama singa. Ga pernah saya ngeliat gajah kumpul sama zebra atau singa sama bebek. Secara alami dan naluriah mereka berkumpul sesuai dengan spesiesnya.
Pernah ada seekor singa jinak tertarik pada kelompok zebra itu. Si singa ingin bergabung sama mereka. Apa yang terjadi? Kumpulan zebra itu lari menghindar. Mengapa demikian? Karena mereka melihat binatang itu berbeda dengan mereka. Perbedaan itu membuat para zebra curiga, takut dan merasa terancam. Namanya juga singa jinak, si singa mengaum mungkin berusaha menjelaskan bahwa dia tidak bermaksud buruk. Akibatnya lebih fatal! Kelompok zebra itu lari tunggang langgang.
Anak saya terkekeh-kekeh geli sekali melihat kelakuan binatang-binatang itu. Terus dia nanya; Kenapa kuda zebra itu ga mau main sama Singa itu Ayah?
Saya ; Soalnya bentuknya beda. Jadinya zebranya takut.
Leon : Kan singanya udah jinak? Kenapa takut?
Saya : Soalnya zebranya gat au kalo singanya udah jinak. Singa bahasanya beda sama zebra. Mungkin dia tadi mau ngejelasin kalo dia cuma mau main. Tapi kudanya ga ngerti justru malah takut. Aumannya singa kan serem.
Leon : Oh pantas di sekolahan juga gitu. Leon ngerti deh sekarang.
Saya : Kenapa di sekolah?
Leon : Iya di sekolah juga ada kelompok-kelompok. Yang cina ngumpul sama cina. Yang bule ngumpul sama bule. Yang dari afrika juga kumpul sama afrika. Melayu sama melayu.
Saya : Oh ya?
Anak saya sekolah di international school. Jadi berbagai bangsa memang campur aduk di sekolahannya. Surprise juga anak saya punya pengamatan sampai sejauh itu.
Pikiran saya flashback. Waktu kuliah, saya pacaran sama cina. Ga tau kenapa saya selalu tergila-gila sama cewek cina. Buat saya kecantikan perempuan yang paling ideal adalah perempuan cina. Ga usah tanya kenapa. Udah dari sononya. Ayah dan ibu saya marah banget setiap kali saya pacaran sama cina. Maklumlah, orang Padang paling ga suka sama cina. Udah agamanya lain, jadi saingan dagang pula. Tapi karena saya cowo yah saya cuek aja. Pacarannya kan di luar. Omongan bonyok mah anggap aja angin lalu. Sayangnya hubungan saya dengan perempuan cina ga pernah bertahan lama. Halangannya bukan cuma dari keluarga saya.
Suatu hari pas lagi jemput pacar ke rumahnya buat nonton bioskop, saya dipanggil sama bapaknya. Bapaknya sebenernya baik sama saya, tapi jarang-jarang dia panggil saya mau ngobrol. Pasti gejala buruk nih…tapi mukanya sih keliatan adem dan ramah-ramah aja.
Bapak : Bud, saya lihat hubungan kamu makin dekat sama Kiki. Kalian pacarannya serius ya?
Saya : Serius ga serius sih Om. Kan masih kuliah.
Bapak : Kamu aslinya orang mana Bud?
Saya : Padang Om. Kenapa?
Bapak : Begini Om mau ngomong. Coba kamu ngobrol dari hati ke hati sama ibu kamu. Tanya sama beliau ‘Lebih seneng punya mantu orang padang apa orang cina?’
Saya : Kalo itu sih ga perlu ditanya Om. Saya udah tau jawabannya.
Bapak : Keinginan Ibu kamu sangat manusiawi kan?
Saya : Manusiawi sekali sih…
Bapak : Memang begitulah manusia. Kalo kamu tanya orang jawa, mereka juga seneng dapet mantu sesama jawa. Orang batak dapet mantu orang batak. Menado sama menado. Kepada siapa pun kamu Tanya, pasti jawabannya sama. Dan keinginan itu sangat alamiah dan manusiawi sekali…
Saya : Speechless menunggu vonis.
Bapak : Begitu juga saya. Saya kan cina. Saya akan lebih seneng kalo dapet mantu cina juga. Ini ga ada hubungannya dengan rasis loh Bud. Kamu jangan salah paham. Bukan karena kami cina dan kamu pribumi. Sama sekali bukan itu.
Saya : Iya Om (hampir ga terdengar)
Bapak : Keinginan saya ini ga ada bedanya dengan keinginan semua orang di belahan bumi ini. Sama persis dengan keinginan ibu kamu. Saya minta maaf tapi semoga kamu bisa memahami keinginan saya.
Sejak itu kami pun back street. Kalo mau pacaran, janjian di suatu tempat. Pokoknya saya ga pernah datang lagi ke rumah Kiki begitu juga sebaliknya. Sayangnya hubungan kami tercium juga oleh keluarganya. Kiki langsung diberhentikan dari kuliah dan langsung dikirim ke Manila bersekolah di sana. Dan saya…jomblo lagi.
Sekarang saya sudah berkeluarga dan punya anak. Tapi saya coba juga mawas diri, mencoba menganalisa dari sudut pandang orang tua. Ternyata bener loh. Kalo saya bandingkan dengan binatang-binatang di Planet animal, saya bandingkan dengan apa yang terjadi di sekolah anak saya, semuanya jadi masuk akal. Semua orang ingin bergaul dan berkumpul dengan spesiesnya. Kalo saya ingin diterima menikah dengan Kiki, saya harus merubah diri jadi cina. Sayangnya itu ga mungkin kan? Orang saya item begini? Cuma stevi wonder yang percaya kalo saya ngaku orang cina.
Tapi saya berkesimpulan bahwa rasisme itu tidak akan pernah mati sampai dunia kiamat. Rasisme itu alamiah dan bisa diterima selama tidak gontok-gontokan satu sama lain. Saya kira begitulah seharusnya kita memahami konsumen. Kita harus yakin bahwa konsumen itu rasis. Mereka bergaul dengan orang yang sejenis dengan mereka. Yang kaya bergaul sama yang kaya, yang menengah bergaul sama yang menengah. Yang seneng olahraga bergaul sama yang suka olahraga. Yang suka drugs bergaul dengan sesamanya.
Selain masyarakat bahasa, juga ada masyarakat lifestyle, ada masyarakat ekonomi, masyarakat politik dan lain-lain. Pemikiran seperti itu harus dipertimbangkan kalau kita ingin menjual sesuatu. Kita harus menjadi bagian dari mereka. Kita harus terlihat sama dengan mereka. Jangan melakukan kesalahan seperti singa di atas. Kalo kita mau menawarkan sesuatu ke pada zebra, kita harus menjadi zebra. Kalo kita mau menjual sesuatu pada orang padang, jadilah orang padang dahulu. Kalo kita udah diterima, sudah dikenal, sudah dipercaya maka akan semakin muluslah jualan kita.
Di era modern yang memuakkan ini, konsumen semakin sibuk. Mereka ga ada waktu lagi untuk nonton TV, baca Koran, nonton bioskop. Karena itu sudah bukan jamannya lagi menganggap konsumen sebagai penonton. Konsumen bukanlah penonton, mereka adalah participant.
Mereka hanya mau mendengarkan sesuatu yang disampaikan temannya. Karena kita harus berteman dengan konsumen. Sesama teman tentunya berdialog sangat penting. Hanya orang bodoh yang berkomunikasi dengan temannya pakai monolog. So, mulai sekarang cobalah membuat iklan dua arah. Biarkan konsumen berdialog dengan kita.
Buatlah sesuatu yang unexpected. Yang belom pernah dibuat orang. Sekali dalam hidup kita perlu membuat sesuatu yang penting. Lupakan semua teori. Teori adalah kesimpulan dari masa lalu sementara pekerjaan kita adalah memprediksi masa depan. Jangan putus asa, advertising is in our blood. Feel it, receive it and embrace it.
Planet animal adalah salah satu stasiun TV favorit anak saya. Saya juga suka sih. Seneng rasanya ngeliat kelakuan binatang yang sering tampak lebih beradab daripada manusia kayak kita. Mereka berkumpul sesuai dengan jenisnya. Kuda zebra dengan kuda zebra. Bison sama bison, bebek sama bebek, gajah sama gajah, singa sama singa. Ga pernah saya ngeliat gajah kumpul sama zebra atau singa sama bebek. Secara alami dan naluriah mereka berkumpul sesuai dengan spesiesnya.
Pernah ada seekor singa jinak tertarik pada kelompok zebra itu. Si singa ingin bergabung sama mereka. Apa yang terjadi? Kumpulan zebra itu lari menghindar. Mengapa demikian? Karena mereka melihat binatang itu berbeda dengan mereka. Perbedaan itu membuat para zebra curiga, takut dan merasa terancam. Namanya juga singa jinak, si singa mengaum mungkin berusaha menjelaskan bahwa dia tidak bermaksud buruk. Akibatnya lebih fatal! Kelompok zebra itu lari tunggang langgang.
Anak saya terkekeh-kekeh geli sekali melihat kelakuan binatang-binatang itu. Terus dia nanya; Kenapa kuda zebra itu ga mau main sama Singa itu Ayah?
Saya ; Soalnya bentuknya beda. Jadinya zebranya takut.
Leon : Kan singanya udah jinak? Kenapa takut?
Saya : Soalnya zebranya gat au kalo singanya udah jinak. Singa bahasanya beda sama zebra. Mungkin dia tadi mau ngejelasin kalo dia cuma mau main. Tapi kudanya ga ngerti justru malah takut. Aumannya singa kan serem.
Leon : Oh pantas di sekolahan juga gitu. Leon ngerti deh sekarang.
Saya : Kenapa di sekolah?
Leon : Iya di sekolah juga ada kelompok-kelompok. Yang cina ngumpul sama cina. Yang bule ngumpul sama bule. Yang dari afrika juga kumpul sama afrika. Melayu sama melayu.
Saya : Oh ya?
Anak saya sekolah di international school. Jadi berbagai bangsa memang campur aduk di sekolahannya. Surprise juga anak saya punya pengamatan sampai sejauh itu.
Pikiran saya flashback. Waktu kuliah, saya pacaran sama cina. Ga tau kenapa saya selalu tergila-gila sama cewek cina. Buat saya kecantikan perempuan yang paling ideal adalah perempuan cina. Ga usah tanya kenapa. Udah dari sononya. Ayah dan ibu saya marah banget setiap kali saya pacaran sama cina. Maklumlah, orang Padang paling ga suka sama cina. Udah agamanya lain, jadi saingan dagang pula. Tapi karena saya cowo yah saya cuek aja. Pacarannya kan di luar. Omongan bonyok mah anggap aja angin lalu. Sayangnya hubungan saya dengan perempuan cina ga pernah bertahan lama. Halangannya bukan cuma dari keluarga saya.
Suatu hari pas lagi jemput pacar ke rumahnya buat nonton bioskop, saya dipanggil sama bapaknya. Bapaknya sebenernya baik sama saya, tapi jarang-jarang dia panggil saya mau ngobrol. Pasti gejala buruk nih…tapi mukanya sih keliatan adem dan ramah-ramah aja.
Bapak : Bud, saya lihat hubungan kamu makin dekat sama Kiki. Kalian pacarannya serius ya?
Saya : Serius ga serius sih Om. Kan masih kuliah.
Bapak : Kamu aslinya orang mana Bud?
Saya : Padang Om. Kenapa?
Bapak : Begini Om mau ngomong. Coba kamu ngobrol dari hati ke hati sama ibu kamu. Tanya sama beliau ‘Lebih seneng punya mantu orang padang apa orang cina?’
Saya : Kalo itu sih ga perlu ditanya Om. Saya udah tau jawabannya.
Bapak : Keinginan Ibu kamu sangat manusiawi kan?
Saya : Manusiawi sekali sih…
Bapak : Memang begitulah manusia. Kalo kamu tanya orang jawa, mereka juga seneng dapet mantu sesama jawa. Orang batak dapet mantu orang batak. Menado sama menado. Kepada siapa pun kamu Tanya, pasti jawabannya sama. Dan keinginan itu sangat alamiah dan manusiawi sekali…
Saya : Speechless menunggu vonis.
Bapak : Begitu juga saya. Saya kan cina. Saya akan lebih seneng kalo dapet mantu cina juga. Ini ga ada hubungannya dengan rasis loh Bud. Kamu jangan salah paham. Bukan karena kami cina dan kamu pribumi. Sama sekali bukan itu.
Saya : Iya Om (hampir ga terdengar)
Bapak : Keinginan saya ini ga ada bedanya dengan keinginan semua orang di belahan bumi ini. Sama persis dengan keinginan ibu kamu. Saya minta maaf tapi semoga kamu bisa memahami keinginan saya.
Sejak itu kami pun back street. Kalo mau pacaran, janjian di suatu tempat. Pokoknya saya ga pernah datang lagi ke rumah Kiki begitu juga sebaliknya. Sayangnya hubungan kami tercium juga oleh keluarganya. Kiki langsung diberhentikan dari kuliah dan langsung dikirim ke Manila bersekolah di sana. Dan saya…jomblo lagi.
Sekarang saya sudah berkeluarga dan punya anak. Tapi saya coba juga mawas diri, mencoba menganalisa dari sudut pandang orang tua. Ternyata bener loh. Kalo saya bandingkan dengan binatang-binatang di Planet animal, saya bandingkan dengan apa yang terjadi di sekolah anak saya, semuanya jadi masuk akal. Semua orang ingin bergaul dan berkumpul dengan spesiesnya. Kalo saya ingin diterima menikah dengan Kiki, saya harus merubah diri jadi cina. Sayangnya itu ga mungkin kan? Orang saya item begini? Cuma stevi wonder yang percaya kalo saya ngaku orang cina.
Tapi saya berkesimpulan bahwa rasisme itu tidak akan pernah mati sampai dunia kiamat. Rasisme itu alamiah dan bisa diterima selama tidak gontok-gontokan satu sama lain. Saya kira begitulah seharusnya kita memahami konsumen. Kita harus yakin bahwa konsumen itu rasis. Mereka bergaul dengan orang yang sejenis dengan mereka. Yang kaya bergaul sama yang kaya, yang menengah bergaul sama yang menengah. Yang seneng olahraga bergaul sama yang suka olahraga. Yang suka drugs bergaul dengan sesamanya.
Selain masyarakat bahasa, juga ada masyarakat lifestyle, ada masyarakat ekonomi, masyarakat politik dan lain-lain. Pemikiran seperti itu harus dipertimbangkan kalau kita ingin menjual sesuatu. Kita harus menjadi bagian dari mereka. Kita harus terlihat sama dengan mereka. Jangan melakukan kesalahan seperti singa di atas. Kalo kita mau menawarkan sesuatu ke pada zebra, kita harus menjadi zebra. Kalo kita mau menjual sesuatu pada orang padang, jadilah orang padang dahulu. Kalo kita udah diterima, sudah dikenal, sudah dipercaya maka akan semakin muluslah jualan kita.
Di era modern yang memuakkan ini, konsumen semakin sibuk. Mereka ga ada waktu lagi untuk nonton TV, baca Koran, nonton bioskop. Karena itu sudah bukan jamannya lagi menganggap konsumen sebagai penonton. Konsumen bukanlah penonton, mereka adalah participant.
Mereka hanya mau mendengarkan sesuatu yang disampaikan temannya. Karena kita harus berteman dengan konsumen. Sesama teman tentunya berdialog sangat penting. Hanya orang bodoh yang berkomunikasi dengan temannya pakai monolog. So, mulai sekarang cobalah membuat iklan dua arah. Biarkan konsumen berdialog dengan kita.
Buatlah sesuatu yang unexpected. Yang belom pernah dibuat orang. Sekali dalam hidup kita perlu membuat sesuatu yang penting. Lupakan semua teori. Teori adalah kesimpulan dari masa lalu sementara pekerjaan kita adalah memprediksi masa depan. Jangan putus asa, advertising is in our blood. Feel it, receive it and embrace it.
Sunday, March 11, 2007
Menghitung Mundur atau Maju?
Joy has a friend called Fear.
But my faithfull instinct
showed me that after Fear comes Courage.
And Courage has another friend, called Wonder.
Cirque Du Soleil - Journey of A Man
Sebelum gue memutuskan menjadi freelancer dulu, adalah penggalan puisi ini yang meyakinkan gue. Dan sekarang, di tengah kebimbangan lagi, weekend kemaren gue menontonnya lagi. Dan lagi-lagi, gue merasa semakin yakin untuk mengambil keputusan baru yang bisa jadi akan merubah hidup gue ke depan.
Lebih dari sekedar bosan atau jenuh, tapi gue memang sudah tidak percaya. Dan sering gue jadi membenci diri gue sendiri karena apa yang gue lakukan sekarang. Lebih sering lagi merasa kecil.
Belum yakin sepenuhnya. Tapi semakin yakin. Dan seperti biasa, gue hanya bisa kembali menyerahkannya pada yang bikin gue.
Sunday, March 04, 2007
My Very Own Java Jazz
seorang temen tersayang, x, menelepon gue.
x:
"eh loe mau nonton sergio mendes gak?"
g:
"ergh... kenapa emangnya?"
menyadari keraguan gue, x nyelak.
x:
"first of all, loe tau sergio mendes gak?"
g:
"tau. tapi satu lagu-nya doang."
x:
"ooooooh ya udah kalau gitu... ada tiket nganggur mau kasih ke loe. tapi ya udah lah ya..."
g:
"oh ok ok, thanks ya... bye!"
klik. telepon ditutup. terus gue berpikir seandainya dia tau lagu-lagu yang ada di ipod gue bisa diketawain abis nih. pikir punya pikir lagi, apa salahnya dengan diketawain. akhirnya gue sms-in si x lagi.
g:
"gue gak dengerin jazz. artis fave gue tuh rossa, agnes monica, reza, ada band, vina, ungu gitu. gue bisa nyanyiin lagu-lagu mereka dengan sepenuh hati."
x:
"aku gak mau temenan ama loe lagi."
sial memang x ini!
jumat kemaren, karena bisa pulang cepet, gue mampir ke pasar festival. mau cuci mobil sekalian makan bakso afung. waktu gue lagi makan, di seberang meja ada segerombolan orang-orang nyentrik seperti biasanya. buat yang belum pernah ke pasar festival, di food courtnya itu ada sebuah panggung. biasanya di panggung itu diisi oleh band-band gak terkenal, atau lomba dance sma dan lain lain yang bukan menghibur malah bikin berisik suasana.
belum lagi makanan gue selesai, orang-orang nyentrik itu bangun dari kursi mereka. dalam hati gue ngomong "duh mulai deh nih, berisik! buruan ah makan biar bisa cabut."
gak berapa lama di kejauhan kedengeran suara pria paruh baya ngomong "walau yang nonton sedikit, tapi kami tetep semangat menghibur. sekarang kami akan memainkan lagu here, there and everywhere." dengan sinisnya gue mikir, ya jelas lah dikit, ngapain juga orang nontonin loe. tapi yang ini lumayan, nyebutin judul lagu yang berbahasa inggris itu bener. gak seperti biasanya. hehehe!
dan ketika mereka mulai pelan pelan bulu kuduk gue berdiri. lagu here, there and everywhere seolah menjadikan suasana food court yang hingar bingar jadi senyap dan syahdu. dan harus gue akui permainan gitarnya terdengar mapan dan tenang. gue menikmati setiap nadanya sambil mikir lagi "eh tumben nih keren banget band-nya."
pas selesai, buru-buru gue ke depan panggung pengen liat siapa gerangan yang sedang bermain. dan di depan mata gue, ada ireng maulana and friends sedang mencoba menghibur penonton yang memang sedikit. sudah sedikit, sambil makan dan tidak peduli pula. padahal seinget gue, ireng maulana adalah nama besar di dunia permusikan yang tidak terlalu gue kenal itu. walau mereka mencoba menikmati memainkan alat musiknya masing-masing, tapi ada semburat kesedihan terpancar di wajah mereka. mungkin karena penonton sepi dan tidak apresiatif.
gue pun berinisiatif mengeluarkan kamera digital untuk memotret mereka. gue pengen mereka merasa bahwa masih ada yang mengidolakan mereka pun di tempat seperti ini. dan ternyata trik gue bekerja sesuai rencana. mereka tersenyum dan bahkan ireng, berpose di depan kamera gue.
namanya jagoan musik, penonton yang tadinya senyap perlahan mulai apresiatif. tepuk tangan mulai terdengar.
karena mobil gue udah beres, maka gue pun meninggalkan ireng dan teman-temannya. sambil jalan gue sms si x lagi.
g:
"di pasfes ada ireng maulana main lagu here, there and everywhere. penontonnya sepi banget. gue sedih jadinya."
x membalas sms gue:
"lah ngapain kok dia gak di java jazz"
g:
"udah gak kepake kali?"
x:
"kasian"
kami berdua sampai sekarang gak tau alasan sebenarnya kenapa dia gak ada di java jazz. yang pasti malam jumat itu gue terhibur banget. di saat yang bersamaan java jazz dimulai. gue juga punya pengalaman java jazz gue sendiri. pertama kali nonton ireng maulana performing live!
x:
"eh loe mau nonton sergio mendes gak?"
g:
"ergh... kenapa emangnya?"
menyadari keraguan gue, x nyelak.
x:
"first of all, loe tau sergio mendes gak?"
g:
"tau. tapi satu lagu-nya doang."
x:
"ooooooh ya udah kalau gitu... ada tiket nganggur mau kasih ke loe. tapi ya udah lah ya..."
g:
"oh ok ok, thanks ya... bye!"
klik. telepon ditutup. terus gue berpikir seandainya dia tau lagu-lagu yang ada di ipod gue bisa diketawain abis nih. pikir punya pikir lagi, apa salahnya dengan diketawain. akhirnya gue sms-in si x lagi.
g:
"gue gak dengerin jazz. artis fave gue tuh rossa, agnes monica, reza, ada band, vina, ungu gitu. gue bisa nyanyiin lagu-lagu mereka dengan sepenuh hati."
x:
"aku gak mau temenan ama loe lagi."
sial memang x ini!
jumat kemaren, karena bisa pulang cepet, gue mampir ke pasar festival. mau cuci mobil sekalian makan bakso afung. waktu gue lagi makan, di seberang meja ada segerombolan orang-orang nyentrik seperti biasanya. buat yang belum pernah ke pasar festival, di food courtnya itu ada sebuah panggung. biasanya di panggung itu diisi oleh band-band gak terkenal, atau lomba dance sma dan lain lain yang bukan menghibur malah bikin berisik suasana.
belum lagi makanan gue selesai, orang-orang nyentrik itu bangun dari kursi mereka. dalam hati gue ngomong "duh mulai deh nih, berisik! buruan ah makan biar bisa cabut."
gak berapa lama di kejauhan kedengeran suara pria paruh baya ngomong "walau yang nonton sedikit, tapi kami tetep semangat menghibur. sekarang kami akan memainkan lagu here, there and everywhere." dengan sinisnya gue mikir, ya jelas lah dikit, ngapain juga orang nontonin loe. tapi yang ini lumayan, nyebutin judul lagu yang berbahasa inggris itu bener. gak seperti biasanya. hehehe!
dan ketika mereka mulai pelan pelan bulu kuduk gue berdiri. lagu here, there and everywhere seolah menjadikan suasana food court yang hingar bingar jadi senyap dan syahdu. dan harus gue akui permainan gitarnya terdengar mapan dan tenang. gue menikmati setiap nadanya sambil mikir lagi "eh tumben nih keren banget band-nya."
pas selesai, buru-buru gue ke depan panggung pengen liat siapa gerangan yang sedang bermain. dan di depan mata gue, ada ireng maulana and friends sedang mencoba menghibur penonton yang memang sedikit. sudah sedikit, sambil makan dan tidak peduli pula. padahal seinget gue, ireng maulana adalah nama besar di dunia permusikan yang tidak terlalu gue kenal itu. walau mereka mencoba menikmati memainkan alat musiknya masing-masing, tapi ada semburat kesedihan terpancar di wajah mereka. mungkin karena penonton sepi dan tidak apresiatif.
gue pun berinisiatif mengeluarkan kamera digital untuk memotret mereka. gue pengen mereka merasa bahwa masih ada yang mengidolakan mereka pun di tempat seperti ini. dan ternyata trik gue bekerja sesuai rencana. mereka tersenyum dan bahkan ireng, berpose di depan kamera gue.
namanya jagoan musik, penonton yang tadinya senyap perlahan mulai apresiatif. tepuk tangan mulai terdengar.
karena mobil gue udah beres, maka gue pun meninggalkan ireng dan teman-temannya. sambil jalan gue sms si x lagi.
g:
"di pasfes ada ireng maulana main lagu here, there and everywhere. penontonnya sepi banget. gue sedih jadinya."
x membalas sms gue:
"lah ngapain kok dia gak di java jazz"
g:
"udah gak kepake kali?"
x:
"kasian"
kami berdua sampai sekarang gak tau alasan sebenarnya kenapa dia gak ada di java jazz. yang pasti malam jumat itu gue terhibur banget. di saat yang bersamaan java jazz dimulai. gue juga punya pengalaman java jazz gue sendiri. pertama kali nonton ireng maulana performing live!
Thursday, March 01, 2007
Tuesday, February 20, 2007
Karya Kebanggaan Gue
Wednesday, February 14, 2007
Persiapan Masa Depan
teman-teman, buka dan kasih komen ya... http://glennmarsalim.multiply.com/photos/album/60
Sunday, February 11, 2007
Mahal atau Murah?
Kirain ada geledek beneran berhubung lagi musim hujan, ternyata geledek yang ini lebih ngagetin.
Weekend ini gue menghabiskan waktu ngopi-ngopi dengan temen-temen iklan dan PH. Ada yang dari agency multinasional, lokal, afiliasi, non afiliasi, semua melebur jadi satu di meja kayu dan kopi. Sampai salah seorang dari mereka bilang
"Eh Glenn, agency gue sering banget pengen 'make' loe, tapi jiper. Soalnya loe mahal sih!"
Gue kaget dan bingung tapi pasang muka tetep cool. Terus gue tanya balik.
"Emang tau harga gue? Tau dari mana?"
"Tau dari orang-orang."
"Orang-orang mana?"
"Yah banyak... kata orang loe mahal."
"Ah gila... ngaco..."
Pas gue mulai agak tenang karena mengira itu cuma asumsi dia doang, geledek kedua kembali menyambar ketika teman-teman semeja bilang bahwa isu itu benar adanya. Dan yang lebih bikin gue kaget, ada agency lokal yang boss-nya juga temen gue, urung pake jasa gue karena mengira gue mahal.
OK... Kalau gue menulis sekarang "eh gue murah loh..." atau "eh gue gak mahal loh..." pasti jadi ngambang. Karena mahal dan murah itu relatif. Tapi yang pengen gue sampaikan, bahwa gue gak pernah mematok harga. Beneran! Bahkan di banyak kasus, gue mengerjakan tanpa meminta bayaran sama sekali karena sebuah alasan sederhana, gue seneng sama kerjaannya. Gue pernah bantuin agency temen yang baru buka, tanpa meminta imbalan sedikitpun, karena gue merasa pengen membantu dan jadi bagian dari agency baru ini.
Bahkan tarif untuk agency-agency yang lebih mapan atau semi-mapan, setiap kali mereka menanyakan tarif, selalu gue balikin "budgetnya loe berapa?" Dan hampir tidak pernah gue menolak kerjaan karena kemurahan. Lebih banyak karena waktunya gak pas. Kadang gue ambil juga tapi gue kasih tau sebelumnya tentang jadwal gue. Biar gak ada yang kecewa di kemudian hari.
Salah satu alasan gue menjadi freelancer karena gue pengen punya keleluasaan untuk memilih. Selama ini lebih banyak gue mengambil kerjaan karena alasan-alasan yang mungkin buat orang lain tolol. Karena bossnya baik lah, karena brand-nya lucu lah, karena kantornya deket sama tempat tinggal gue lah, karena ECD-nya imut lah, dan lain lain. Hampir belum pernah, insya allah tidak akan pernah, gue mengambil atau menolak kerjaan dengan alasan uang semata.
Gue perlu uang. Karena untuk hidup gue perlu uang. Tapi gue gak mau hidup untuk uang. Karenanya gue jadi freelancer.
Weekend ini gue menghabiskan waktu ngopi-ngopi dengan temen-temen iklan dan PH. Ada yang dari agency multinasional, lokal, afiliasi, non afiliasi, semua melebur jadi satu di meja kayu dan kopi. Sampai salah seorang dari mereka bilang
"Eh Glenn, agency gue sering banget pengen 'make' loe, tapi jiper. Soalnya loe mahal sih!"
Gue kaget dan bingung tapi pasang muka tetep cool. Terus gue tanya balik.
"Emang tau harga gue? Tau dari mana?"
"Tau dari orang-orang."
"Orang-orang mana?"
"Yah banyak... kata orang loe mahal."
"Ah gila... ngaco..."
Pas gue mulai agak tenang karena mengira itu cuma asumsi dia doang, geledek kedua kembali menyambar ketika teman-teman semeja bilang bahwa isu itu benar adanya. Dan yang lebih bikin gue kaget, ada agency lokal yang boss-nya juga temen gue, urung pake jasa gue karena mengira gue mahal.
OK... Kalau gue menulis sekarang "eh gue murah loh..." atau "eh gue gak mahal loh..." pasti jadi ngambang. Karena mahal dan murah itu relatif. Tapi yang pengen gue sampaikan, bahwa gue gak pernah mematok harga. Beneran! Bahkan di banyak kasus, gue mengerjakan tanpa meminta bayaran sama sekali karena sebuah alasan sederhana, gue seneng sama kerjaannya. Gue pernah bantuin agency temen yang baru buka, tanpa meminta imbalan sedikitpun, karena gue merasa pengen membantu dan jadi bagian dari agency baru ini.
Bahkan tarif untuk agency-agency yang lebih mapan atau semi-mapan, setiap kali mereka menanyakan tarif, selalu gue balikin "budgetnya loe berapa?" Dan hampir tidak pernah gue menolak kerjaan karena kemurahan. Lebih banyak karena waktunya gak pas. Kadang gue ambil juga tapi gue kasih tau sebelumnya tentang jadwal gue. Biar gak ada yang kecewa di kemudian hari.
Salah satu alasan gue menjadi freelancer karena gue pengen punya keleluasaan untuk memilih. Selama ini lebih banyak gue mengambil kerjaan karena alasan-alasan yang mungkin buat orang lain tolol. Karena bossnya baik lah, karena brand-nya lucu lah, karena kantornya deket sama tempat tinggal gue lah, karena ECD-nya imut lah, dan lain lain. Hampir belum pernah, insya allah tidak akan pernah, gue mengambil atau menolak kerjaan dengan alasan uang semata.
Gue perlu uang. Karena untuk hidup gue perlu uang. Tapi gue gak mau hidup untuk uang. Karenanya gue jadi freelancer.
Tuesday, January 30, 2007
IDE
Sejak awal bekerja di bisnis iklan ini, kata 'IDE' sudah jadi seperti makanan sehari-hari.
"Ah gak ada idenya!"
"Idenya apa?"
"Eksekusinya bagus tapi ide-nya biasa aja!"
"Anak kreatif kan idenya banyak."
Dan ribuan lagi yang kesemuanya menempatkan ide sebagai kata yang sakral. Apalagi katanya, bisnis iklan adalah bisnis menjual ide.
Di perjalanan saya sekarang, setelah 2 tahun menjadi tenaga lepas a.k.a freelancer dunia iklan, saya memiliki dua pertanyaan tentang ide.
1. Apakah Ide Itu?
2. Mengapa Perlu Ide?
Pertanyaan yang pertama sudah sering saya tanyakan ke banyak orang. Mulai dari orang iklan senior sampai mahasiswa. Mulai dari sutradara film sampai tetangga. Dan tentunya kita bisa menebak, semua memberikan jawaban yang berbeda-beda. Semua punya idenya sendiri-sendiri tentang apakah itu ide. Bahkan para pemikir ulung kelas dunia pun memiliki pendapatnya sendiri-sendiri.
"A new combination of old elements." - Pareto
"In advertising an idea results from a new combination of specific knowledge about products and people with general knowledge about life and events." - James Webb Young
"…that moment of insight becomes the creative act as a joining of two previously incompatible ideas." - Lyall Watson
Saya tidak akan pernah lupa, bagaimana saya, Mbak Jeanny Hardono dan Oom Budiman Hakim, beradu pendapat soal ide dalam iklan. Ada yang bilang itu ide eksekusi, ide awal, sampai irisan antara what to say dan ide. Gila! Bener-bener seru dan memusingkan. Atau yang terakhir ketika saya diundang ke acara PEKIK di Jogja, saya diundang menjadi pembicara seminar bertema "How to create great ideas?"
Kalau semua orang memiliki pendapatnya sendiri-sendiri, mungkinkah kita menjual ide? Karena kemudian pertanyaannya menjadi ide menurut siapa -bukan ide siapa- yang dijual? Menurut CD? Menurut Planner? Menurut Account? Menurut klien? Dan kalaupun kemudian ide itu menjadi satu persepsi, pertanyaan berikutnya apakah konsumen menerima -bukan sekedar mengerti- ide tersebut? Apakah konsumen mempercayai ide tersebut? Dan yang paling penting apakah konsumen peduli dengan ide tersebut?
Bayangin, kalau anak-anak kreatif bilang "eh gue mau cari ide dulu nih!" Ide itu apa aja gak jelas kok ya dicari? Hehehe!
Dari keribetan itu, saya kemudian memiliki pertanyaan kedua "Mengapa Perlu Ide?"
Di tengah serbuan jutaan iklan perhari dan kesulitan kehidupan modern, mencari perhatian konsumen dengan iklan jelas bukan kerjaan gampang. Iklan kita bisa dilihat orang saja sudah bagus banget! Karena artinya iklan kita menarik.
Nah, untuk bikin iklan yang menarik, perlukah ide?
Kalau saja kita mau meluangkan waktu untuk memperhatikan sekeliling kita, kita akan memahami mengapa konsumen acuh sama iklan. Bosan. Jawabannya, iklan-iklannya terlihat sama semua. Otak kita bekerja seperti layaknya scanner dan hanya berhenti hanya kalau ada yang menarik.
Coba jawab dengan jujur pertanyaan ini, mana yang lebih menarik perhatian kita pertama kali. Yang cakep tapi bodoh atau yang jelek tapi pinter? Bohong lah kalau ada yang bilang kepinteran itu bisa menarik perhatian pertama! Kan gak keliatan.
Sama seperti iklan. Iklan yang katanya beride brilian adalah iklan yang pinter. Tapi tanpa dibungkus dengan eksekusi yang menarik, iklan itu kemungkinan besar tidak akan terlihat. Dan kalau tidak terlihat, mau ide secanggih apapun akan terbuang percuma.
Sebaliknya, kalau iklannya bodoh atau tak beride itu tadi dibungkus dengan eksekusi yang menarik, setidak-tidaknya masih dilihat orang.
Mau pinter mau bodoh, yang penting menarik perhatian dulu!
Buka telinga dan dengar bagaimana konsumen menilai iklan kita.
"Duh si Aming lucu banget!"
"Tuh cewek Pond's anjrit mulus abis bo!"
"Loe liat iklan Clear yang baru gak? Teteknya tuh cewek gede banget ya!"
Dan cuma orang iklan yang komen:
"Aduh idenya bagus banget! Idenya brilian!"
Kalau suruh memilih, saya lebih senang dan bangga kalau iklan saya diomongin konsumen. Bukan orang iklan yang jumlahnya gak lebih dari seperseratus jumlah penduduk Indonesia.
Eksekusi menjadi begitu penting hari begini. Ini mungkin juga salah satu alasan mengapa di dua tahun belakangan, craft mendapat tempat tersendiri di ajang award periklanan.
Bukan berarti saya mau bilang ide itu tidak penting, secara saya juga belum punya pendapat tentang apa itu ide, tapi kalau boleh saya ingin menyarankan agar kita lebih rileks dalam membuat iklan. Iklan bisa dibuat dari eksekusinya dulu atau idenya dulu. Karena apapun itu, yang penting iklannya menarik. Pernah denger istilah 'idenya di eksekusi'? Menurut saya tidak ada salahnya. Dan bahkan banyak iklan pemenang awards internasional juga memiliki ide di eksekusinya.
Saya menulis ini bukan tanpa sebab. Setelah bekerja dengan banyak kreatif, saya lebih sering menemukan kreatif yang begitu tegang dan saklek dalam membuat iklan. "Stress cari ide dulu!" katanya. Tapi pas udah ketemu yang katanya ide itu dan kemudian dieksekusi, hasilnya ya gitu-gitu aja. Saya merasa pencarian dan pengsakralan ide itu menjadi begitu arogan dan eksklusif sehingga melupakan konsumennya.
Ide begitu luas dan bebas. Bahkan sekedar menaruh logo di cangkir kertas pompa bensin pun bisa disebut ide. Atau bikin cerita cinta lucu untuk iklan TV dan dibagi dalam 4 seri juga bisa disebut ide. Atau menambah jumlah curly fries agar penjualan terdongkrak juga bisa disebut ide.
Bukan masalah kalau iklan kita idenya kecil atau tidak ada idenya sama sekali. Tapi kalau kita bisa membuat konsumen jadi memiliki ide, mengaspirasi, menginspirasi atau setidaknya menghibur, setidaknya iklan jadi sedikit berarti.
(2 tahun jadi freelancer. cepet banget ya... wish me luck!)
"Ah gak ada idenya!"
"Idenya apa?"
"Eksekusinya bagus tapi ide-nya biasa aja!"
"Anak kreatif kan idenya banyak."
Dan ribuan lagi yang kesemuanya menempatkan ide sebagai kata yang sakral. Apalagi katanya, bisnis iklan adalah bisnis menjual ide.
Di perjalanan saya sekarang, setelah 2 tahun menjadi tenaga lepas a.k.a freelancer dunia iklan, saya memiliki dua pertanyaan tentang ide.
1. Apakah Ide Itu?
2. Mengapa Perlu Ide?
Pertanyaan yang pertama sudah sering saya tanyakan ke banyak orang. Mulai dari orang iklan senior sampai mahasiswa. Mulai dari sutradara film sampai tetangga. Dan tentunya kita bisa menebak, semua memberikan jawaban yang berbeda-beda. Semua punya idenya sendiri-sendiri tentang apakah itu ide. Bahkan para pemikir ulung kelas dunia pun memiliki pendapatnya sendiri-sendiri.
"A new combination of old elements." - Pareto
"In advertising an idea results from a new combination of specific knowledge about products and people with general knowledge about life and events." - James Webb Young
"…that moment of insight becomes the creative act as a joining of two previously incompatible ideas." - Lyall Watson
Saya tidak akan pernah lupa, bagaimana saya, Mbak Jeanny Hardono dan Oom Budiman Hakim, beradu pendapat soal ide dalam iklan. Ada yang bilang itu ide eksekusi, ide awal, sampai irisan antara what to say dan ide. Gila! Bener-bener seru dan memusingkan. Atau yang terakhir ketika saya diundang ke acara PEKIK di Jogja, saya diundang menjadi pembicara seminar bertema "How to create great ideas?"
Kalau semua orang memiliki pendapatnya sendiri-sendiri, mungkinkah kita menjual ide? Karena kemudian pertanyaannya menjadi ide menurut siapa -bukan ide siapa- yang dijual? Menurut CD? Menurut Planner? Menurut Account? Menurut klien? Dan kalaupun kemudian ide itu menjadi satu persepsi, pertanyaan berikutnya apakah konsumen menerima -bukan sekedar mengerti- ide tersebut? Apakah konsumen mempercayai ide tersebut? Dan yang paling penting apakah konsumen peduli dengan ide tersebut?
Bayangin, kalau anak-anak kreatif bilang "eh gue mau cari ide dulu nih!" Ide itu apa aja gak jelas kok ya dicari? Hehehe!
Dari keribetan itu, saya kemudian memiliki pertanyaan kedua "Mengapa Perlu Ide?"
Di tengah serbuan jutaan iklan perhari dan kesulitan kehidupan modern, mencari perhatian konsumen dengan iklan jelas bukan kerjaan gampang. Iklan kita bisa dilihat orang saja sudah bagus banget! Karena artinya iklan kita menarik.
Nah, untuk bikin iklan yang menarik, perlukah ide?
Kalau saja kita mau meluangkan waktu untuk memperhatikan sekeliling kita, kita akan memahami mengapa konsumen acuh sama iklan. Bosan. Jawabannya, iklan-iklannya terlihat sama semua. Otak kita bekerja seperti layaknya scanner dan hanya berhenti hanya kalau ada yang menarik.
Coba jawab dengan jujur pertanyaan ini, mana yang lebih menarik perhatian kita pertama kali. Yang cakep tapi bodoh atau yang jelek tapi pinter? Bohong lah kalau ada yang bilang kepinteran itu bisa menarik perhatian pertama! Kan gak keliatan.
Sama seperti iklan. Iklan yang katanya beride brilian adalah iklan yang pinter. Tapi tanpa dibungkus dengan eksekusi yang menarik, iklan itu kemungkinan besar tidak akan terlihat. Dan kalau tidak terlihat, mau ide secanggih apapun akan terbuang percuma.
Sebaliknya, kalau iklannya bodoh atau tak beride itu tadi dibungkus dengan eksekusi yang menarik, setidak-tidaknya masih dilihat orang.
Mau pinter mau bodoh, yang penting menarik perhatian dulu!
Buka telinga dan dengar bagaimana konsumen menilai iklan kita.
"Duh si Aming lucu banget!"
"Tuh cewek Pond's anjrit mulus abis bo!"
"Loe liat iklan Clear yang baru gak? Teteknya tuh cewek gede banget ya!"
Dan cuma orang iklan yang komen:
"Aduh idenya bagus banget! Idenya brilian!"
Kalau suruh memilih, saya lebih senang dan bangga kalau iklan saya diomongin konsumen. Bukan orang iklan yang jumlahnya gak lebih dari seperseratus jumlah penduduk Indonesia.
Eksekusi menjadi begitu penting hari begini. Ini mungkin juga salah satu alasan mengapa di dua tahun belakangan, craft mendapat tempat tersendiri di ajang award periklanan.
Bukan berarti saya mau bilang ide itu tidak penting, secara saya juga belum punya pendapat tentang apa itu ide, tapi kalau boleh saya ingin menyarankan agar kita lebih rileks dalam membuat iklan. Iklan bisa dibuat dari eksekusinya dulu atau idenya dulu. Karena apapun itu, yang penting iklannya menarik. Pernah denger istilah 'idenya di eksekusi'? Menurut saya tidak ada salahnya. Dan bahkan banyak iklan pemenang awards internasional juga memiliki ide di eksekusinya.
Saya menulis ini bukan tanpa sebab. Setelah bekerja dengan banyak kreatif, saya lebih sering menemukan kreatif yang begitu tegang dan saklek dalam membuat iklan. "Stress cari ide dulu!" katanya. Tapi pas udah ketemu yang katanya ide itu dan kemudian dieksekusi, hasilnya ya gitu-gitu aja. Saya merasa pencarian dan pengsakralan ide itu menjadi begitu arogan dan eksklusif sehingga melupakan konsumennya.
Ide begitu luas dan bebas. Bahkan sekedar menaruh logo di cangkir kertas pompa bensin pun bisa disebut ide. Atau bikin cerita cinta lucu untuk iklan TV dan dibagi dalam 4 seri juga bisa disebut ide. Atau menambah jumlah curly fries agar penjualan terdongkrak juga bisa disebut ide.
Bukan masalah kalau iklan kita idenya kecil atau tidak ada idenya sama sekali. Tapi kalau kita bisa membuat konsumen jadi memiliki ide, mengaspirasi, menginspirasi atau setidaknya menghibur, setidaknya iklan jadi sedikit berarti.
(2 tahun jadi freelancer. cepet banget ya... wish me luck!)
Saturday, January 20, 2007
Kreasi Terbaru!
Tuesday, January 16, 2007
Jawaban untuk Kebingungan Setelah Seminar PEKIK - UGM
setelah beberapa kali jadi pembicara atau pengajar di berbagai perguruan tinggi, saya mempunyai satu kesimpulan. ujung-ujungnya yang sangat amat diingin tahukan mahasiswa terbagi dalam dua pertanyaan besar.
1. bagaimana mencari ide brilian dalam waktu sesingkat-singkatnya dan sebrilian-briliannya.
2. bagaimana bisa mendapatkan kerja di advertising agency juga dalam waktu sesingkat-singkatnya. bahkan kalau bisa langsung jadi CD.
sama halnya ketika UGM memanggil saya sabtu kemaren. dengan tema seminar "how to get brilliant ideas?" apalagi? pasti pertanyaan nomor satu di atas yang diinginkan dari saya.
sebenarnya, kalau saya ingin semuanya berjalan dengan mudah dan mulus, yang akan saya lakukan adalah tinggal
mengutip ilmu-ilmu dari buku-buku iklan. misalnya cutting edge, lanturan tapi relevan kemudian saya
rangkum, lengkap dengan contoh-contoh iklannya, kemudian saya presentasikan kembali. selesai. semua pulang dan seolah-olah telah mendapatkan jawabannya.
tapi saya mempunyai pemikiran dan pendapat yang berbeda. menurut saya, tidak ada jalan pintas cepat untuk mencari ide yang briliant dan yang kedua saya sendiri belum pernah merasa mendapatkan ide brilian. dan bahkan, sampai saat ini, apakah ide itu masih menjadi pertanyaan terbesar saya. saya ingat, dengan budiman hakim saya pernah adu pendapat soal ide dan diakhiri dengan kita berdua sepakat untuk tidak sepakat.
menurut saya, yang begitu menarik dan menggairahkan dalam dunia iklan adalah sifatnya yang terus bergerak dan selalu mencari cara untuk mendobrak pola dan formula. kenapa? karena konsumen, dan kita sendiri sebagai pembuatnya, bergerak seiring zaman.
dan untuk menghasilkan iklan yang setidaknya dilirik orang, diperlukan keberanian untuk mendobrak dan mengambil resiko. ada jutaan iklan di luar dan di dalam sini. tanpa ada dobrakan baru, maka iklan kita tidak akan terlihat.
dari mana harapan akan ke'baru'an itu? yang terbesar ada di mahasiswa. jelas.
tapi, kalau misalnya kita pernah melihat pameran karya iklan mahasiswa, terus terang harapan akan kebaruan itu tipis sekali. hampir 90% karya iklan itu masih menggunakan pola-pola lama dan bahkan banyak pula yang kuno. atau misalnya ketika seorang peserta bertanya "saya perhatikan iklan mas glenn terkesan penuh gitu... kok gak ada white space-nya? kok gak ada
breathing space gitu!"
sontak, bulu kuduk saya berdiri. dari mana aturan bahwa iklan cetak harus ada white space? harus ada breathing space? buat saya, ini jauh lebih membingungkan. karena aturan itu tidak pernah ada.
di jogja kemarin, akhirnya saya memberanikan diri untuk presentasi dengan mengisi rongga-rongga di hati dan pikiran mahasiwa yang selama ini mungkin kurang atau belum diisi.
yaitu rongga untuk berimajinasi. untuk sesaat melepaskan diri dari segala aturan iklan. untuk sesekali kembali ke hakikat iklan sebagai komunkasi. dan komunikasi tidak lebih dan tidak kurang, seperti manusia yang satu berbicara dengan manusia yang lain.
dan untuk bisa berbicara dengan manusia lain, kita membutuhkan sensitivitas yang tinggi. kepekaan. butuh kehalusan perasaan. butuh imajinasi. dan bukan sekedar ide.
untuk mahasiswa yang merasa pulang dengan kebingungan, pertanyaan, bahkan tidak puas dengan seminarnya, saya minta maaf. yang saya presentasikan kemaren memang bukan jawaban. karena saya percaya jawaban itu tidak pernah ada.
saya yakin hanya dengan terus memiliki pertanyaan dan mempertanyakan, dan dengan meninggalkan area kenyamanan semu bernama pola dan formula, harapan itu insya allah akan semakin tebal.
1. bagaimana mencari ide brilian dalam waktu sesingkat-singkatnya dan sebrilian-briliannya.
2. bagaimana bisa mendapatkan kerja di advertising agency juga dalam waktu sesingkat-singkatnya. bahkan kalau bisa langsung jadi CD.
sama halnya ketika UGM memanggil saya sabtu kemaren. dengan tema seminar "how to get brilliant ideas?" apalagi? pasti pertanyaan nomor satu di atas yang diinginkan dari saya.
sebenarnya, kalau saya ingin semuanya berjalan dengan mudah dan mulus, yang akan saya lakukan adalah tinggal
mengutip ilmu-ilmu dari buku-buku iklan. misalnya cutting edge, lanturan tapi relevan kemudian saya
rangkum, lengkap dengan contoh-contoh iklannya, kemudian saya presentasikan kembali. selesai. semua pulang dan seolah-olah telah mendapatkan jawabannya.
tapi saya mempunyai pemikiran dan pendapat yang berbeda. menurut saya, tidak ada jalan pintas cepat untuk mencari ide yang briliant dan yang kedua saya sendiri belum pernah merasa mendapatkan ide brilian. dan bahkan, sampai saat ini, apakah ide itu masih menjadi pertanyaan terbesar saya. saya ingat, dengan budiman hakim saya pernah adu pendapat soal ide dan diakhiri dengan kita berdua sepakat untuk tidak sepakat.
menurut saya, yang begitu menarik dan menggairahkan dalam dunia iklan adalah sifatnya yang terus bergerak dan selalu mencari cara untuk mendobrak pola dan formula. kenapa? karena konsumen, dan kita sendiri sebagai pembuatnya, bergerak seiring zaman.
dan untuk menghasilkan iklan yang setidaknya dilirik orang, diperlukan keberanian untuk mendobrak dan mengambil resiko. ada jutaan iklan di luar dan di dalam sini. tanpa ada dobrakan baru, maka iklan kita tidak akan terlihat.
dari mana harapan akan ke'baru'an itu? yang terbesar ada di mahasiswa. jelas.
tapi, kalau misalnya kita pernah melihat pameran karya iklan mahasiswa, terus terang harapan akan kebaruan itu tipis sekali. hampir 90% karya iklan itu masih menggunakan pola-pola lama dan bahkan banyak pula yang kuno. atau misalnya ketika seorang peserta bertanya "saya perhatikan iklan mas glenn terkesan penuh gitu... kok gak ada white space-nya? kok gak ada
breathing space gitu!"
sontak, bulu kuduk saya berdiri. dari mana aturan bahwa iklan cetak harus ada white space? harus ada breathing space? buat saya, ini jauh lebih membingungkan. karena aturan itu tidak pernah ada.
di jogja kemarin, akhirnya saya memberanikan diri untuk presentasi dengan mengisi rongga-rongga di hati dan pikiran mahasiwa yang selama ini mungkin kurang atau belum diisi.
yaitu rongga untuk berimajinasi. untuk sesaat melepaskan diri dari segala aturan iklan. untuk sesekali kembali ke hakikat iklan sebagai komunkasi. dan komunikasi tidak lebih dan tidak kurang, seperti manusia yang satu berbicara dengan manusia yang lain.
dan untuk bisa berbicara dengan manusia lain, kita membutuhkan sensitivitas yang tinggi. kepekaan. butuh kehalusan perasaan. butuh imajinasi. dan bukan sekedar ide.
untuk mahasiswa yang merasa pulang dengan kebingungan, pertanyaan, bahkan tidak puas dengan seminarnya, saya minta maaf. yang saya presentasikan kemaren memang bukan jawaban. karena saya percaya jawaban itu tidak pernah ada.
saya yakin hanya dengan terus memiliki pertanyaan dan mempertanyakan, dan dengan meninggalkan area kenyamanan semu bernama pola dan formula, harapan itu insya allah akan semakin tebal.
Monday, January 01, 2007
Badan Bagus VS Badan Sehat
Gue yakin, di tahun baru ini, pasti banyak yang bikin resolusi untuk punya badan bagus kayak cover majalah men's health atau vogue. Mungkin ada juga yang punya resolusi pengen rajin ke gym. Dari sekali sebulan jadi 3-4 kali seminggu.
Sekarang, ijinin gue berbagi cerita tentang pengalaman gym gue. Bisa jadi berguna, bisa jadi enggak, tapi buat iseng-iseng aja.
Gue mulai ngegym dari tahun 2001. Waktu itu dengan tinggi yang cuma 170, berat 68 kilo gue jadi ndut, muka gue jadi lebar, dan dagu gue jadi ada 3 kayaknya!. Terus gue ngegym. Hanya dalam waktu 3 bulan, berat badan gue susut jadi 60 kilo. Udah ideal banget. Perut gue mulai ngasih liat bayangan sixpack, otot2 mulai nongol dan seneng banget kalau pake baju. Semua baju keliatan bagus. Pede banget kalau ke kolam renang. Semakin terbuka semakin bagus. Hehehe!
Untuk mendapatkan itu semua, gue pernah dikasih tau sebuah teori yang udah gue buktikan sendiri. Badan bagus itu terbentuk dari 70% makanan dan 30% latihan. Kebayang kan? 70%! Jadi, hampir gak ada gunanya kalau latihan 2 jam terus makan nasi goreng kambing. Hehehe bisa bubar jalan! Mau makan karbo banyak tapi badan bagus? Boleh aja! Tapi latihan kayak kuli. Berarti 8-12 jam di gym!
Intinya, banyak orang ke gym frustasi. Ke gym 4 tahun kok masih ndut, gak keliatan ototnya dan lain lain. Bisa dipastiin, makanannya. 'Makanannya kotor' istilahnya. Sementara pernah gak liat orang yang gak repot amat ke gym tapi badannya bagus? Bisa jadi karena makanannya bersih. Atau bisa juga, memang udah anugerahnya Dia! Inget orang kulit hitam? Dari balita udah ada bicep dan tricepnya dengan jelas.
Terus di awal 2006, gak tau kenapa gue mulai ngerasa bahwa memiliki badan bagus itu jadi beban. Gue jadi gak menikmati hidup. Bayangin, gue gak bisa makan popcorn dengan butter pas nonton film komedi. Weekend bangun pagi hanya biar bisa ke gym. Gue sering banget menolak ajakan makan malam teman. Dan banyak pengorbanan lainnya.
Di suatu pagi gue bangun tidur, suara hati gue bertanya pada diri gue sendiri "untuk apa sih sebenarnya punya badan bagus? Emang gue model? Bukan! Cuma orang iklan. Terus yayang gue akan ninggalin kalau badan gue sedikit ndut? Wah ya silakan! Gila aja fisik jadi ukuran cinta." Dan di atas segalanya, karena gym, gue jadi ngerasa orang yang terlalu narsis dan egois. Semua gue lakukan demi keindahan tubuh.
Dan gue pun ngerasa malu sama diri gue sendiri. Gila ya, gue berambisi punya badan bagus. Badan bagus gak ada gunanya untuk orang lain. Badan bagus gak bikin temen-temen jadi makin sayang sama gue. Badan bagus gak bikin klien makin percaya sama gue. Badan bagus gak bikin gue bisa bikin iklan bagus. Badan bagus hanya berguna untuk ego gue doang!
Akhirnya pagi itu gue memutuskan, gue akan terus ke gym tapi bukan untuk punya badan bagus. Bukan untuk ketemuan temen2 baru. Bukan buat gaya-gayaan. Bukan buat kompetisi. Tapi, supaya bisa lebih menikmati hidup. Titik.
Caranya?
Dengan ke gym, badan seger (seger loh ya, bukan bagus), dan gue semakin semangat kerja. Gue jadi gak marah-marah muluk. Insya Allah prestasi kerja gue meningkat. Jumat malam, ada temen ngajakin nonton padahal jadwal gym? Bye-bye gym! Gue pilih temen. Badan bagus hanya akan bersama gue selama gue latihan. Temen, selalu bersama gue. Ada ajakan makan malam nasi goreng kambing di pinggir? Sesekali boleh lah! Bisa sekalian buka telinga buka mata melihat sekeliling. Melihat kehidupan lain di luar kantor.
Intinya, mulai pagi ini, i take control, i conduct, i compose my gym and not the other way around! Bukan untuk punya badan bagus. Tapi badan segar dan sehat. Sering denger orang sakit padahal badannya bagus kan?
Setelah 8 bulan ke gym dengan attitude baru, sekarang badan gue lebih ndut2 dikit. Jadi 62 kilo. Kata temen2 lebih lucu kok! Dan, gak ada lagi rasa bersalah, bete dan sebel hanya karena gue gak bisa ngegym. Hidup terlalu indah kalau untuk dihabiskan dengan mengangkat barbel. Terlalu banyak yang bisa kita lakukan untuk mengisi hidup ketimbang merepotkan diri dengan menghitung kalori.
Gue orang iklan dan gue pengen kasih tau temen-temen. Mens Health, L-Men, Adiraga dan lain-lainnya adalah perangkat bisnis. Digunakan untuk berjualan sesuatu. Apa yang ditampilkan adalah ilusi dan harapan. Bisa jadi motivasi tentunya dan pastinya. Tapi kalau kita termakan, hidup kita bisa taruhannya!
Subscribe to:
Posts (Atom)