Sunday, December 31, 2006
Antara Mitos dan Harapan
Sudah sejak 5 tahun belakangan ini, setiap kali pergantian tahun, gue selalu nge-basi. Alias gak ke mana-mana. Di rumah aja. Kadang sendiri kadang sama temen. Yang pasti gak meninggalkan kaki dari rumah.
Dan setiap pergantian tahun itu pula, gue melakukan hal-hal yang sudah diwariskan oleh keluarga kepada gue. Sebelumnya, gue melakukan semuanya sebagai kewajiban. Tapi semakin bertambahnya umur, gue merasa semakin melakukannya dengan sepenuh hati.
Yang pertama, menyalakan hio dan lilin.
Bisa di balkon, atau di taman. Seinget gue, ritual ini dimaksudkan untuk gue mengenang leluhur. Semacam ucapan selamat tahun baru dan memohon doa restu supaya di tahun yang baru ini semua selamat.
Sambil menyalakan lilin dan hio, gue mengenang arwah almarhum kakak, kakek dan nenek gue. Gue hendak menyapa mereka karena gue yakin roh mereka selama ini selalu ada bersama gue. Mendampingi, menasehati dan melindungi. Dan gue pun berdoa, semoga Tuhan memberikan ketenangan bagi arwah mereka.
Yang kedua, mandi jeruk nipis alias 'belanger'.
Ketika siraman terakhir, gue menyiram tubuh dengan air perasan jeruk nipis. Hal ini dimaksudkan untuk membuang segala hal buruk di tahun yang lama dan membersihkan diri untuk menyambut tahun yang baru.
Sambil menyiram tubuh, gue berdoa mohon ampunan dari Tuhan atas segala dosa dan kesalahan yang udah gue lakukan selama ini. Semoga hati dan jiwa gue ikut dibasuh dengan air jeruk nipis. Kenapa jeruk nipis? Nah ini gue gak tau. Tapi gak apa-apa. Baunya gue suka juga.
Yang ketiga, lemari makanan gak boleh kosong.
Sesedikit apapun, semurah apapun, lemari makanan harus ada isinya. Harus ada makanannya. Mungkin maksudnya, supaya di tahun yang baru, tidak kelaparan dan selalu dipenuhi dengan rezeki. Amin!
Tahun ini, kebeneran gue lagi niat masak! Penuhlah lemari makanan dan kulkas dengan masakan. Ada ayam kodok, ada spageti - saos tomatnya bikin sendiri loh! Bukan beli jadi. Lebih enak ternyata!-, ada bacang, ada coklat, ada diet coke, ada nu green tea dan banyak lagi.
Dalam hati gue bersyukur banget, ternyata gue masih disayang Tuhan. Ada makanan. Berlimpah malah. Insya Allah, Tuhan gak melupakan dan terus sayang.
Yang keempat, dompet gak boleh kosong.
Seratus perak sekalipun, dompet harus ada isinya. Maksudnya kayaknya sama kayak lemari makanan. Supaya rezeki berupa uang, Insya Allah selalu ada.
Yang kelima, perut gak boleh lapar.
Namanya orang Cenes (Chinese-red), perut harus kenyang. Inget kan bagaimana kalau orang Cenes ngadain pesta? Makanan berlimpah ruah. Tujuannya, supaya gak ada tamu yang pulang dengan kelaparan. Perut kenyang hati senang.
Tahun ini gue berdoa, supaya gak ada lagi kelaparan di dunia ini. Siapa bisa berpikir, bekerja dan berkarya kalau kelaparan? Gue yakin, kita semua berdoa yang sama. Semoga Tuhan mendengarkan doa kita ini.
Setelah melakukan semua ritual di atas, gue selalu jadi malas untuk keluar rumah. Mungkin ini penyebab gue selalu di rumah aja. Gue ngerasa lebih baik berpikir, merasa dan dikelilingi oleh orang-orang yang kita sayangi. Teman, saudara dan berbagi rasa. Berbincang. Sambung hati. Menghargai waktu. Karena gak ada satu dari kita yang bisa tau sampai kapan Tuhan menganugerahi kita dengan waktu seperti malam ini.
Atau bahkan sendirian seperti malam ini. Ritual-ritual di atas bener-bener membuat gue merasa tidak sendirian. Gue jadi inget semua kejadian di tahun ini. Tahun yang buat gue bener-bener penuh kejutan. Sedikit aneh. Ada kejutan yang menggembirakan dan banyak juga kejutan yang menyedihkan. Tapi toh, gue masih di sini, dengan perut kenyang, diatapi kenyamanan, dan masih ada rezeki.
Semua bisa seperti ini pasti juga karena doa keluarga dan teman-teman gue. Karenanya gue pengen bilang terima kasih sebesar-besarnya. Terima kasih mau berjalan bersama gue selama ini. Terima kasih mau mendoakan gue. Semoga Tuhan mengizinkan kita bergandengan untuk waktu yang lama.
Semakin gue menyadari, semua ritual tadi sebenarnya hanya untuk mengingatkan, bahwa gue hanya manusia biasa. Manusia yang berasal dari manusia berjuta tahun yang lalu. Manusia yang ada dan hidup karena kekuatan yang maha besar. Kekuatan yang mengatur segalanya. Kekuatan dahsyat yang harus selalu diindahkan dan dihormati.
Di antara mitos dan harapan,
semoga kekuatan yang maha segalanya itu
berbaik hati untuk selalu mendampingi kita.
21.44pm. Sebentar lagi Tahun Baru.
Selamat Tahun Baru!
Thursday, December 21, 2006
Selamat Natal dan Tahun Baru
Teman-teman, anonymous dan semuanya...
Selamat Natal dan Tahun Baru.
Semoga yang terbaik untuk semua.
Terima kasih buat segala masukan, kritikan, sindiran, pujian dan segalanya
yang bisa jadi cermin yang berarti untuk gue terus berjalan.
Glenn
Selamat Natal dan Tahun Baru.
Semoga yang terbaik untuk semua.
Terima kasih buat segala masukan, kritikan, sindiran, pujian dan segalanya
yang bisa jadi cermin yang berarti untuk gue terus berjalan.
Glenn
Sunday, December 17, 2006
Tips Bikin Iklan yang Lebih Baik
Semenjak pertama kali buka-buka iklan, gue jatuh cinta pada iklan-iklan klasik zaman David Ogilvy, Leo Burnett, Bernbach dan banyak lagi. Sampai sekarang banyak iklan dari era tersebut masih dimuat pada buku-buku iklan masa kini. Dan sampai sekarang, siapa bisa lupa iklan Rolls Royce Alarm Clock? Lemon VW? Buat gue pribadi, iklan pada zaman itu adalah literatur yang sampai sekarang masih sering gue buka.
Saat ini, gue punya satu pertanyaan. Dari mana para guru periklanan dunia itu mendapatkan inspirasinya? Dari mana mereka mempelajari tentang iklan? Yang pasti, belum ada Archive. Apalagi internet. Tapi bagaimana iklannya bisa mengembara melintasi benua dan tetap relevan untuk hampir semua umat di dunia? Apa inspirasi Bernbach, sehingga iklannya bisa berlayar puluhan tahun dan setiap kali melihatnya kita masih bisa mengaguminya?
Perasaan gue mengatakan, kehidupan lah inspirasi mereka. Perasaan gue ini diciptakan oleh beberapa fakta.
Mustahil untuk siapapun mendapatkan beasiswa dalam bidang sejarah dari Christ Church College, Oxford, kalau dia tidak tertarik dengan kehidupan dan manusia. Dia adalah David Ogilvy.
Seorang jurnalis lulusan University of Michigan pasti tidak akan menjadi jurnalis kalau dia tidak memiliki ketertarikan pada sekitarnya. Pada kehidupan dan manusianya? Dan jurnalis itu adalah Leo Burnett.
Dan masih banyak lagi guru-guru iklan dunia, yang tidak sekolah iklan model DesKomVis, Graphic Design, Komunikasi dan lainnya seperti sekarang ini.
Dari itu semua, gue mengambil kesimpulan, guru terbaik untuk bikin iklan adalah kehidupan kita. Sekitar kita. Orang-orang di sekililing kita. Dan bukan Archive, Cutting Edge atau buku-buku pemenang iklan lainnya.
Karena memiliki keyakinan ini, gue agak kebingungan setiap kali ada yang bilang "Aku pengen ngobrol2 sama Glenn. Pengen belajar soal iklan. Gimana sih caranya dapetin ide?" Bingung karena sampai sekarang iklan adalah misteri buat gue. Dan tidak pernah terbersit sedikitpun untuk memecahkan misteri itu. Dan ketika gue jawab "Mungkin kita harus jadi lebih peka pada sekitar kita. pada orang-orang di sekeliling kita. Dengar dan mendengarkan. Lihat dan memperhatikan. Mencoba memahami." Mereka menjawab "Aduh agak terlalu abstrak. coba kasih tips-tips dan kiat-kiat cara singkat bikin iklan!"
Seandainya gue tau, pasti udah gue kasih tau. Sayangnya gue gak tau. Mungkin gue masih bodoh. Tapi William Bernbach pernah bersabda:
"I think I had the advantage of not knowing too much about advertising, and therefore I could be fresher and more original about it. As soon as you become a slave to the rules, you’re doing what everybody else does; when you do what everybody else does, you don’t stand out."
Dan sekarang gue berpikir, mungkin ada baiknya kalau orang iklan bukan lulusan sekolah iklan. Ada baiknya kalau buku-buku iklan, ditiadakan dari laci kita. Ada baiknya kalau kita menjadi katak dalam tempurung. Karena di tengah zaman yang serba pandai dan teoritis, di tengah era yang disebut-sebut sebagai globalisasi ini, menjadi bodoh dan naif bisa jadi menghasilkan karya yang lebih jujur, orisinal dan segar.
---
NB: Tulisan ini gue dedikasikan untuk semua teman yang punya keinginan besar masuk dalam dunia iklan. Tapi karena satu dan lain hal, tidak bisa dan tidak mampu bersekolah di sekolah iklan.
Saat ini, gue punya satu pertanyaan. Dari mana para guru periklanan dunia itu mendapatkan inspirasinya? Dari mana mereka mempelajari tentang iklan? Yang pasti, belum ada Archive. Apalagi internet. Tapi bagaimana iklannya bisa mengembara melintasi benua dan tetap relevan untuk hampir semua umat di dunia? Apa inspirasi Bernbach, sehingga iklannya bisa berlayar puluhan tahun dan setiap kali melihatnya kita masih bisa mengaguminya?
Perasaan gue mengatakan, kehidupan lah inspirasi mereka. Perasaan gue ini diciptakan oleh beberapa fakta.
Mustahil untuk siapapun mendapatkan beasiswa dalam bidang sejarah dari Christ Church College, Oxford, kalau dia tidak tertarik dengan kehidupan dan manusia. Dia adalah David Ogilvy.
Seorang jurnalis lulusan University of Michigan pasti tidak akan menjadi jurnalis kalau dia tidak memiliki ketertarikan pada sekitarnya. Pada kehidupan dan manusianya? Dan jurnalis itu adalah Leo Burnett.
Dan masih banyak lagi guru-guru iklan dunia, yang tidak sekolah iklan model DesKomVis, Graphic Design, Komunikasi dan lainnya seperti sekarang ini.
Dari itu semua, gue mengambil kesimpulan, guru terbaik untuk bikin iklan adalah kehidupan kita. Sekitar kita. Orang-orang di sekililing kita. Dan bukan Archive, Cutting Edge atau buku-buku pemenang iklan lainnya.
Karena memiliki keyakinan ini, gue agak kebingungan setiap kali ada yang bilang "Aku pengen ngobrol2 sama Glenn. Pengen belajar soal iklan. Gimana sih caranya dapetin ide?" Bingung karena sampai sekarang iklan adalah misteri buat gue. Dan tidak pernah terbersit sedikitpun untuk memecahkan misteri itu. Dan ketika gue jawab "Mungkin kita harus jadi lebih peka pada sekitar kita. pada orang-orang di sekeliling kita. Dengar dan mendengarkan. Lihat dan memperhatikan. Mencoba memahami." Mereka menjawab "Aduh agak terlalu abstrak. coba kasih tips-tips dan kiat-kiat cara singkat bikin iklan!"
Seandainya gue tau, pasti udah gue kasih tau. Sayangnya gue gak tau. Mungkin gue masih bodoh. Tapi William Bernbach pernah bersabda:
"I think I had the advantage of not knowing too much about advertising, and therefore I could be fresher and more original about it. As soon as you become a slave to the rules, you’re doing what everybody else does; when you do what everybody else does, you don’t stand out."
Dan sekarang gue berpikir, mungkin ada baiknya kalau orang iklan bukan lulusan sekolah iklan. Ada baiknya kalau buku-buku iklan, ditiadakan dari laci kita. Ada baiknya kalau kita menjadi katak dalam tempurung. Karena di tengah zaman yang serba pandai dan teoritis, di tengah era yang disebut-sebut sebagai globalisasi ini, menjadi bodoh dan naif bisa jadi menghasilkan karya yang lebih jujur, orisinal dan segar.
---
NB: Tulisan ini gue dedikasikan untuk semua teman yang punya keinginan besar masuk dalam dunia iklan. Tapi karena satu dan lain hal, tidak bisa dan tidak mampu bersekolah di sekolah iklan.
Monday, December 04, 2006
karya terbaru kami
Thursday, November 09, 2006
freelancer&co. sekarang terbuka untuk photographer dan pekerja film...
setelah memfokuskan dirinya untuk memenuhi kebutuhan advertising agency, sekarang website freelancerandco.com membuka kesempatan bagi photographer dan pekerja film untuk bergabung.
sutradara dan asisten sutradara, produser, scriptwriter, make-up artist, talent coordinator, fashion stylist, pengarah gaya dll.
syaratnya masih sama, harus tenaga lepas (freelancer) murni. bukan karyawan dan tidak terikat pada perusahaan apapun. untuk lebih jelasnya silakan kunjungi www.freelancerandco.com dan klik di 'tentang kami'.
juga buat anak-anak kreatif kalau ada yang mau bergabung, silakan ya. dan seperti biasa, semua yang masuk akan diseleksi dulu.
buat bayangan aja, profesi yang lagi sering dicari sekarang adalah copywriter, english copywriter, graphic designer dan web designer. nah buat yang ngerasa freelancer posisi di atas, silakan gabung.
salam
glenn
sutradara dan asisten sutradara, produser, scriptwriter, make-up artist, talent coordinator, fashion stylist, pengarah gaya dll.
syaratnya masih sama, harus tenaga lepas (freelancer) murni. bukan karyawan dan tidak terikat pada perusahaan apapun. untuk lebih jelasnya silakan kunjungi www.freelancerandco.com dan klik di 'tentang kami'.
juga buat anak-anak kreatif kalau ada yang mau bergabung, silakan ya. dan seperti biasa, semua yang masuk akan diseleksi dulu.
buat bayangan aja, profesi yang lagi sering dicari sekarang adalah copywriter, english copywriter, graphic designer dan web designer. nah buat yang ngerasa freelancer posisi di atas, silakan gabung.
salam
glenn
Wednesday, November 01, 2006
Gimana Sih Caranya?
berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yang sering ditanyakan kepada gue. ada yang dari orang iklan, mahasiswa iklan, klien, dosen, orang iklan wanna-be dll.
GIMANA SIH CARANYA DAPETIN IDE YANG BAGUS DAN CEPAT?
seandainya gue tau, pastilah gue udah jadi salah satu orang paling kaya di dunia dan kerja bareng stephen spielberg atau steve jobs. dan seandainya ada yang tau dan bisa melakukannya, di mana keseruan mencari ide? perut bergejolak, jantung berdebar-debar, kepala berat sebelah karena ide yang ada sekarang gak bagus sementara waktu terus berlari.
akan sangat sulit untuk gue menjawab pertanyaan di atas karena:
1. gue gak tau 'ide' itu apa. dan menurut gue advertising gak selamanya mesti punya ide. gue sering banget liat iklan yang katanya memiliki ide besar, menonjok dan berkelas internasional. tapi apa yang terjadi setelah gue melihat iklan itu? gue ngerasa kosong. gak jarang ngerasa dibodohi. dan sering ngerasa diadu pinter.
2. ide bagus itu 'bagus' menurut standar siapa? klien? juri awards? konsumen? atau kita sendiri?
GIMANA SIH CARANYA BIKIN IKLAN BAGUS?
lagi-lagi seandainya gue tau, pastilah gue udah kerja bareng dengan david droga atau neil french. pastilah gue udah punya rumah sendiri atau berlayar setiap tahun. pastilah gue udah gak tinggal di jakarta. sejujurnya gue gak tau gimana caranya bikin iklan bagus. malah kadang gue suka gak tau, gimana caranya bikin iklan. beberapa kali setelah 'iklan' gue jadi, terus gue kasih liat ke orang iklan, mereka bilang "ah itu mah bukan iklan. tapi karya seni. lukisan!" see, gue tak tau gimana caranya bikin iklan. apalagi bikin iklan bagus.
GIMANA SIH CARANYA KALAU MAU BIKIN BIRO IKLAN?
seandainya gue tau, pasti gue udah punya biro iklan sendiri dong? tapi gue selalu punya pertanyaan balik. "kenapa mau bikin biro iklan?" dan dari situ barulah terbuka berbagai alasan dan wacana baru. ada yang karena memang suka dengan dunia iklan. ada yang karena memandang bisnis iklan itu uangnya menggiurkan. ada yang karena gak tau lagi duitnya mau diapain. ada yang karena ngerasa bisa bikin biro iklan yang lebih bagus daripada yang udah ada sekarang. dang ratusan alasan lainnya.
untuk pertanyaan yang ini, gue cuma bisa ngasih dari hasil pengamatan gue aja. selama ini biro iklan yang bisa hidup (secara hari gini kata 'berkembang' jadi begitu sakral) adalah biro iklan dengan pemimpin yang memang mencintai dunia iklan. mereka memberikan hidupnya untuk iklan. memberikan cintanya buat iklan. sesulitnya keadaan sekarang, mereka bertahan.
GIMANA SIH CARANYA MAU KERJA DI BIRO IKLAN?
yang ini gue tau. akhirnya! tapi sebelumnya coba deh kita jawab sendiri seberapa 'mau'-nya 'mau'? mau tapi kalau waktu kuliah gak dijalanin sungguh-sungguh? mau tapi porto pas-pas-an sama kompetitor lain? mau tapi waktu magang dateng terlambat dan lebih milih seru-seruan di mall? mau tapi waktu diinterview gak dipersiapkan serius?
kenyataan sekarang setiap tahun ribuan orang berniat masuk ke dunia iklan. dan dari ribuan itu mungkin hanya sepersepuluh yang bisa ditampung. nah kira-kira deh, untuk mendapatkan satu bangku dari sepersepuluh yang tersisa, apa yang harus kita lakukan? menurut gue, jawabannya pasti udah ada di hati kita masing-masing.
GIMANA SIH CARANYA MENANG AWARDS?
yah... yang ini gue gak tau lagi. kalau gue tau pasti di apartemen gue sekarang dipenuhi piala-piala dong. banyak temen yang suka nyindir bilang "ah loe kan ngejer awards doang!" gue sih terima aja. tapi gue sendiri bingung. perasaan di tahun 2005, gue cuma bikin 2 iklan buat awards. 2006 ini, bikin 3 lagi. 5 dalam 2 tahun. bukan jumlah yang bombastis sama sekali kalau dibandingkan dengan agency-agency bukan? kalau tau bagaimana sebuah agency mengeluarkan uang puluhan sampai ratusan juta untuk ikutan awards show.
dari kenyataan di atas, gue paling bisa bilang, kayaknya gue bukan orang yang kompeten untuk menjawab pertanyaan ini. gimana kalau tanya aja sama para creative directors di biro iklan yang sering naik turun panggung. atau ke yang selama ini menginvestasikan banyak uang untuk awards. mereka pasti bisa ngasih jawaban yang lebih detail dan memuaskan.
GIMANA SIH CARANYA JADI FREELANCER?
gabung www.freelancercandco.com :) mungkin gak banyak yang tau kalau gue belum dua tahun loh jadi freelancer. masih baru. piyik lah istilahnya. tapi dari pengalaman yang masih pendek itu, gue paling bisa berbagi tips.
1. punya asuransi sendiri.
inget, kita gak punya lagi jamsostek.
2. cari ilmu sendiri.
gak ada lagi yang mau ngasih training gratis. bisa beli buku. ikut seminar, dll.
3. investasi di awards walau sedikit.
biar kita tau secara kreatif kita ada di mana. dan bisa jadi bargaining power yang lumayan buat yang mau hire kita.
4. jaga kesehatan.
itu modal utama kita bukan. kita sakit, 'perusahaan' kita tutup artinya.
5. atur uang.
pas lagi banyak simpen biar pas lagi dikit gak mati.
GIMANA SIH CARANYA MAU JADI ORANG IKLAN?
hare geneee... mau jadi orang iklan?! hehehe... udah ah... kerja dulu ya. mau bikin iklan nih... deuuuuh!
GIMANA SIH CARANYA DAPETIN IDE YANG BAGUS DAN CEPAT?
seandainya gue tau, pastilah gue udah jadi salah satu orang paling kaya di dunia dan kerja bareng stephen spielberg atau steve jobs. dan seandainya ada yang tau dan bisa melakukannya, di mana keseruan mencari ide? perut bergejolak, jantung berdebar-debar, kepala berat sebelah karena ide yang ada sekarang gak bagus sementara waktu terus berlari.
akan sangat sulit untuk gue menjawab pertanyaan di atas karena:
1. gue gak tau 'ide' itu apa. dan menurut gue advertising gak selamanya mesti punya ide. gue sering banget liat iklan yang katanya memiliki ide besar, menonjok dan berkelas internasional. tapi apa yang terjadi setelah gue melihat iklan itu? gue ngerasa kosong. gak jarang ngerasa dibodohi. dan sering ngerasa diadu pinter.
2. ide bagus itu 'bagus' menurut standar siapa? klien? juri awards? konsumen? atau kita sendiri?
GIMANA SIH CARANYA BIKIN IKLAN BAGUS?
lagi-lagi seandainya gue tau, pastilah gue udah kerja bareng dengan david droga atau neil french. pastilah gue udah punya rumah sendiri atau berlayar setiap tahun. pastilah gue udah gak tinggal di jakarta. sejujurnya gue gak tau gimana caranya bikin iklan bagus. malah kadang gue suka gak tau, gimana caranya bikin iklan. beberapa kali setelah 'iklan' gue jadi, terus gue kasih liat ke orang iklan, mereka bilang "ah itu mah bukan iklan. tapi karya seni. lukisan!" see, gue tak tau gimana caranya bikin iklan. apalagi bikin iklan bagus.
GIMANA SIH CARANYA KALAU MAU BIKIN BIRO IKLAN?
seandainya gue tau, pasti gue udah punya biro iklan sendiri dong? tapi gue selalu punya pertanyaan balik. "kenapa mau bikin biro iklan?" dan dari situ barulah terbuka berbagai alasan dan wacana baru. ada yang karena memang suka dengan dunia iklan. ada yang karena memandang bisnis iklan itu uangnya menggiurkan. ada yang karena gak tau lagi duitnya mau diapain. ada yang karena ngerasa bisa bikin biro iklan yang lebih bagus daripada yang udah ada sekarang. dang ratusan alasan lainnya.
untuk pertanyaan yang ini, gue cuma bisa ngasih dari hasil pengamatan gue aja. selama ini biro iklan yang bisa hidup (secara hari gini kata 'berkembang' jadi begitu sakral) adalah biro iklan dengan pemimpin yang memang mencintai dunia iklan. mereka memberikan hidupnya untuk iklan. memberikan cintanya buat iklan. sesulitnya keadaan sekarang, mereka bertahan.
GIMANA SIH CARANYA MAU KERJA DI BIRO IKLAN?
yang ini gue tau. akhirnya! tapi sebelumnya coba deh kita jawab sendiri seberapa 'mau'-nya 'mau'? mau tapi kalau waktu kuliah gak dijalanin sungguh-sungguh? mau tapi porto pas-pas-an sama kompetitor lain? mau tapi waktu magang dateng terlambat dan lebih milih seru-seruan di mall? mau tapi waktu diinterview gak dipersiapkan serius?
kenyataan sekarang setiap tahun ribuan orang berniat masuk ke dunia iklan. dan dari ribuan itu mungkin hanya sepersepuluh yang bisa ditampung. nah kira-kira deh, untuk mendapatkan satu bangku dari sepersepuluh yang tersisa, apa yang harus kita lakukan? menurut gue, jawabannya pasti udah ada di hati kita masing-masing.
GIMANA SIH CARANYA MENANG AWARDS?
yah... yang ini gue gak tau lagi. kalau gue tau pasti di apartemen gue sekarang dipenuhi piala-piala dong. banyak temen yang suka nyindir bilang "ah loe kan ngejer awards doang!" gue sih terima aja. tapi gue sendiri bingung. perasaan di tahun 2005, gue cuma bikin 2 iklan buat awards. 2006 ini, bikin 3 lagi. 5 dalam 2 tahun. bukan jumlah yang bombastis sama sekali kalau dibandingkan dengan agency-agency bukan? kalau tau bagaimana sebuah agency mengeluarkan uang puluhan sampai ratusan juta untuk ikutan awards show.
dari kenyataan di atas, gue paling bisa bilang, kayaknya gue bukan orang yang kompeten untuk menjawab pertanyaan ini. gimana kalau tanya aja sama para creative directors di biro iklan yang sering naik turun panggung. atau ke yang selama ini menginvestasikan banyak uang untuk awards. mereka pasti bisa ngasih jawaban yang lebih detail dan memuaskan.
GIMANA SIH CARANYA JADI FREELANCER?
gabung www.freelancercandco.com :) mungkin gak banyak yang tau kalau gue belum dua tahun loh jadi freelancer. masih baru. piyik lah istilahnya. tapi dari pengalaman yang masih pendek itu, gue paling bisa berbagi tips.
1. punya asuransi sendiri.
inget, kita gak punya lagi jamsostek.
2. cari ilmu sendiri.
gak ada lagi yang mau ngasih training gratis. bisa beli buku. ikut seminar, dll.
3. investasi di awards walau sedikit.
biar kita tau secara kreatif kita ada di mana. dan bisa jadi bargaining power yang lumayan buat yang mau hire kita.
4. jaga kesehatan.
itu modal utama kita bukan. kita sakit, 'perusahaan' kita tutup artinya.
5. atur uang.
pas lagi banyak simpen biar pas lagi dikit gak mati.
GIMANA SIH CARANYA MAU JADI ORANG IKLAN?
hare geneee... mau jadi orang iklan?! hehehe... udah ah... kerja dulu ya. mau bikin iklan nih... deuuuuh!
Wednesday, October 11, 2006
PH - Agency, Love and Hate Relationship
Sewaktu gue masih jadi karyawan, setiap kali berhubungan dengan Production House (PH), gue selalu merasa ada yang janggal. Gak tau apa. Tapi gue ngerasa ada yang gak bener dengan hubungan kita. Bisa jadi, bisa jadi banget, cuma gue aja.
Profesi gue sebagai freelancer selama hampir dua tahun ini, agaknya membuka beberapa fakta. Kalau keluhan agency, jelas gue udah tau secara gue pernah di dalamnya. Keluhan PH terhadap agency? Mana mungkin PH mau ngomong. Daripada ribet, udah sesama orang PH aja yang tau. Tapi keluhan itu pasti ada (banyak lagi!). Coba aja baca komen Iman Brotoseno, film director di tulisan gue sebelum ini "fresh thought, beneer banget,..ada tambahan lagi, pengen jadi ' serasa jadi KLIEN '...kalau dealing ke PH, Post...Gw minta pijat refleksi, gw minta nasi campur kenanga, gw minta jemputan mobil, kok gak ada rujaknya pasti syuting ya, buah buahannya kurang fresh nih, ..hm gimana ya maunya efek supersnya kayak iklan itu, eh iklan ini, eh dari referensi ini aja deh ( kok bingung sendiri ).."
Sekarang gue pengen ngebahas beberapa hal yang gue ketahui setelah dengan cermat dan seksama mendengarkan apa kata orang-orang PH soal anak-anak Ahensi.
1. Shooting Itu Kerja Bukan Liburan
Minta disediain makanan inilah itulah. Minta pesawat first class lah. Minta hotel tertentu yang padahal jauh banget dari postnya (dan minta diurusin transportasi pula tentunya). Komplen karena makanan waktu shooting gak enak lah. Minta disediaan (minta loh ya bukan dikasih) tukang pijat waktu shooting. Minta disediain VILLA sendiri yang deket lokasi shooting. Dan ribuan permintaan lain yang gak ada hubungannya sama shootingnya itu sendiri.
Mungkin loe bakal bilang "Lah PH-nya kok yang nawarin! Gue mah terima aja!" Bener sih. Tapi emang loe gak malu ya. PH kan bukan biro travel atau holiday organizer. Daripada PH sibuk ngurusin limo buat ngejemput loe, apa gak mendingan kasih waktu untuk ngurusin lighting? Biar hasil iklan tv-nya makin maksimal.
Dan satu lagi, emang gak malu ya. Kesannya orang iklan itu kampungaaan banget. Memakai kesempatan shooting untuk berlibur.
2. Produser Itu Bukan Pembantu
Produser disuruh bawain 5 botol wine sama anak kreatif sehabis online di Australia. Produser disuruh beli rokok padahal warungnya deket banget sama lokasi shooting. Produser disuruh ngetreat dugem dan psikotropika. Produser disuruh nemenin klien shopping di Singapura sekaligus bayarin makan siang. Produser disuruh bangun tengah malam hanya karena pengen pindah hotel. Produser disuruh ina inu yang lagi lagi gak ada hubungannya sama kerjaannya itu sendiri.
Plis deh bo... Produser kan bukan dayang-dayang yang berdiri dengan kipas bulu-bulu. Tugas mereka memastikan bahwa semua proses berjalan dengan lancar. Dan itu gak gampang. Berada di tengah anak kreatif dan film director misalnya. Dikira enak? Bayangin kalau film directornya Diva sementara itu pilihan anak-anak kreatif sendiri. Berada di tengah klien dan agency. Mereka harus pandai memainkan perannya supaya gak ada yang komplen.
Daripada nyuruh yang enggak-enggak, mending kembalikan tugas mereka. Memastikan semua berjalan lancar. Memastikan apa yang dijanjikan waktu prepro kejadian semua. Memastikan materi terdeliver pas waktunya. Bisa membantu memberi solusi di saat-saat genting. Dan ratusan lagi yang bikin production berjalan lebih lancar.
3. Film Director Itu Bukan Creative Director
Banyak banget anak kreatif yang waktu nyari ide, udah dengan parameter "ah gue pengen pake director anu ah... gayanya asik!" Alhasil, storyline diarahkan supaya bisa pake film director bersangkutan. Cocok atau gak sama briefnya? Gak peduli! Banyak lagi agency yang udah serasa paling tau director-director yang paling pas buat tvc-nya. Padahal, siapa sih yang lebih banyak berhubungan sama film director? Agency atau PH? Kenapa agency minta showreel ke PH kan?
Di atas segalanya, film director adalah orang yang paling tau bagaimana caranya ngeshoot tvc supaya hasilnya maksimal dan seharusnya. Tapi siapa yang lebih tau soal tvc ini? Soal latar belakang tvc ini? Jelas agency. Tapi gimana kalau agency aja gak tau maunya apa? Apalagi kalau film director dianggap memiliki tongkat sakti yang bisa bikin board ancur jadi award winning. Gila aja kan?
Tugas agency belum selesai ketika film director sudah dipilih. Justru baru mulai. Posisi agency dan PH sama. Sama-sama berambisi untuk memberikan yang terbaik. Tapi masing-masing harus punya porsinya sendiri-sendiri dan menjalankan kewajibannya dengan baik.
Atau kebalikannya. Kreatif ngerasa lebih tau daripada film directornya. Angle, lighting, grading, semua kreatif yang atur tanpa sedetik pun berniat mendengarkan alasan film directornya.. Yah, ngapain juga bayar director mahal-mahal. Ngeshoot aja sendiri! Emang banyak sih, film director yang bertingkah seperti layaknya Diva. Seolah dia-lah dewa atau dewinya jagad iklan televisi. Semua mesti bikin sesuai maunya dia. Kalau enggak, offline ditinggal. Sial buat agency. Gak ada pilihan lain selain mengandalkan executive producer dan producer.
Masih banyak yang sebenarnya pengen gue tulis. Tulisan ini cuma ingin membuka sebagian dari sekian banyak ganjalan yang gue rasakan. Bisa jadi gue gak obyektif. Tapi, gue punya prinsip. Kalau gue gak mau 'digituin' klien, ya jangan 'gituin' PH.
Profesi gue sebagai freelancer selama hampir dua tahun ini, agaknya membuka beberapa fakta. Kalau keluhan agency, jelas gue udah tau secara gue pernah di dalamnya. Keluhan PH terhadap agency? Mana mungkin PH mau ngomong. Daripada ribet, udah sesama orang PH aja yang tau. Tapi keluhan itu pasti ada (banyak lagi!). Coba aja baca komen Iman Brotoseno, film director di tulisan gue sebelum ini "fresh thought, beneer banget,..ada tambahan lagi, pengen jadi ' serasa jadi KLIEN '...kalau dealing ke PH, Post...Gw minta pijat refleksi, gw minta nasi campur kenanga, gw minta jemputan mobil, kok gak ada rujaknya pasti syuting ya, buah buahannya kurang fresh nih, ..hm gimana ya maunya efek supersnya kayak iklan itu, eh iklan ini, eh dari referensi ini aja deh ( kok bingung sendiri ).."
Sekarang gue pengen ngebahas beberapa hal yang gue ketahui setelah dengan cermat dan seksama mendengarkan apa kata orang-orang PH soal anak-anak Ahensi.
1. Shooting Itu Kerja Bukan Liburan
Minta disediain makanan inilah itulah. Minta pesawat first class lah. Minta hotel tertentu yang padahal jauh banget dari postnya (dan minta diurusin transportasi pula tentunya). Komplen karena makanan waktu shooting gak enak lah. Minta disediaan (minta loh ya bukan dikasih) tukang pijat waktu shooting. Minta disediain VILLA sendiri yang deket lokasi shooting. Dan ribuan permintaan lain yang gak ada hubungannya sama shootingnya itu sendiri.
Mungkin loe bakal bilang "Lah PH-nya kok yang nawarin! Gue mah terima aja!" Bener sih. Tapi emang loe gak malu ya. PH kan bukan biro travel atau holiday organizer. Daripada PH sibuk ngurusin limo buat ngejemput loe, apa gak mendingan kasih waktu untuk ngurusin lighting? Biar hasil iklan tv-nya makin maksimal.
Dan satu lagi, emang gak malu ya. Kesannya orang iklan itu kampungaaan banget. Memakai kesempatan shooting untuk berlibur.
2. Produser Itu Bukan Pembantu
Produser disuruh bawain 5 botol wine sama anak kreatif sehabis online di Australia. Produser disuruh beli rokok padahal warungnya deket banget sama lokasi shooting. Produser disuruh ngetreat dugem dan psikotropika. Produser disuruh nemenin klien shopping di Singapura sekaligus bayarin makan siang. Produser disuruh bangun tengah malam hanya karena pengen pindah hotel. Produser disuruh ina inu yang lagi lagi gak ada hubungannya sama kerjaannya itu sendiri.
Plis deh bo... Produser kan bukan dayang-dayang yang berdiri dengan kipas bulu-bulu. Tugas mereka memastikan bahwa semua proses berjalan dengan lancar. Dan itu gak gampang. Berada di tengah anak kreatif dan film director misalnya. Dikira enak? Bayangin kalau film directornya Diva sementara itu pilihan anak-anak kreatif sendiri. Berada di tengah klien dan agency. Mereka harus pandai memainkan perannya supaya gak ada yang komplen.
Daripada nyuruh yang enggak-enggak, mending kembalikan tugas mereka. Memastikan semua berjalan lancar. Memastikan apa yang dijanjikan waktu prepro kejadian semua. Memastikan materi terdeliver pas waktunya. Bisa membantu memberi solusi di saat-saat genting. Dan ratusan lagi yang bikin production berjalan lebih lancar.
3. Film Director Itu Bukan Creative Director
Banyak banget anak kreatif yang waktu nyari ide, udah dengan parameter "ah gue pengen pake director anu ah... gayanya asik!" Alhasil, storyline diarahkan supaya bisa pake film director bersangkutan. Cocok atau gak sama briefnya? Gak peduli! Banyak lagi agency yang udah serasa paling tau director-director yang paling pas buat tvc-nya. Padahal, siapa sih yang lebih banyak berhubungan sama film director? Agency atau PH? Kenapa agency minta showreel ke PH kan?
Di atas segalanya, film director adalah orang yang paling tau bagaimana caranya ngeshoot tvc supaya hasilnya maksimal dan seharusnya. Tapi siapa yang lebih tau soal tvc ini? Soal latar belakang tvc ini? Jelas agency. Tapi gimana kalau agency aja gak tau maunya apa? Apalagi kalau film director dianggap memiliki tongkat sakti yang bisa bikin board ancur jadi award winning. Gila aja kan?
Tugas agency belum selesai ketika film director sudah dipilih. Justru baru mulai. Posisi agency dan PH sama. Sama-sama berambisi untuk memberikan yang terbaik. Tapi masing-masing harus punya porsinya sendiri-sendiri dan menjalankan kewajibannya dengan baik.
Atau kebalikannya. Kreatif ngerasa lebih tau daripada film directornya. Angle, lighting, grading, semua kreatif yang atur tanpa sedetik pun berniat mendengarkan alasan film directornya.. Yah, ngapain juga bayar director mahal-mahal. Ngeshoot aja sendiri! Emang banyak sih, film director yang bertingkah seperti layaknya Diva. Seolah dia-lah dewa atau dewinya jagad iklan televisi. Semua mesti bikin sesuai maunya dia. Kalau enggak, offline ditinggal. Sial buat agency. Gak ada pilihan lain selain mengandalkan executive producer dan producer.
Masih banyak yang sebenarnya pengen gue tulis. Tulisan ini cuma ingin membuka sebagian dari sekian banyak ganjalan yang gue rasakan. Bisa jadi gue gak obyektif. Tapi, gue punya prinsip. Kalau gue gak mau 'digituin' klien, ya jangan 'gituin' PH.
Thursday, October 05, 2006
KENAPA MAU KERJA DI AGENCY?
Berikut 9 alasan kerja di advertising yang sering gue denger dari orang-orang beserta penyangkalan sinis yang selama ini gue simpen dalam hati. Sorry boys, I am an honest bitch. Brutally honest.
1. PENGEN BELAJAR IKLAN
Dari pengalaman gue, hampir gak ada CD-CD atau bahkan ECD-ECD yang mau ngajarin anak-anak buahnya. Palingan mereka cuma bilang "ini bagus itu jelek, ini ok, ini basi, ini kreatif, itu gak kreatif, bla bla bla!" Abis itu mereka sibuk ngerjain proyek mereka sendiri. Es-Je bo! Gak bohong.
2. PENGEN BIKIN IKLAN
Bo'ong banget! Semua orang bisa bikin iklan! Bu Gito aja bisa bikin iklan. Coba liat jaman dulu, mana ada biro iklan sih? Tapi toh ada aja iklan. Dan kita harus terima kenyataan, banyak iklan jaman baheula yang lebih bagus, lebih variatif, lebih jujur dan lebih berkelas daripada iklan-iklan masa kini.
Jadi, kalau alasan loe pengen kerja di advertising agency karena mau bikin iklan... ergh... mending gak usah.
3. PENGEN MENANG AWARD
Untuk menang award, gak harus kerja di advertising agency atau award winning advertising agency. Bikin aja iklan sendiri. Sekarang perorangan udah bisa ikutan kok. Ngalahin agency lokal atau multinasional? Bisa banget! Percaya sama gue.
4. PENGEN FUNKY GETU LOH!
Plis deh! Ke-funky-an dan keseruan dunia iklan itu cuma ada pas malam minggu atau malam citra pariwara yang makin tahun makin basi anyway... Dalam sehari-hari tetep aja dimaki-maki klien, begadang sampe pagi, kelaperan dan kecapean malem-malem. Bagus kalau dikasih makan sama kantor. Kalau enggak, makan tuh nasi goreng tek tek sampe enek.
5. PENGEN BIKIN CAMPAIGN
Hare gene? Boys, klien hari gini lagi pada susah duitnya. Bikin campaign itu gak murah. Udah 10 tahun belakangan ini, campaign cuma ada pas presentasi pertama aja atau pitching. Abis itu, ini gak usah itu gak usah. Bikin print aja ya, 1/4 halaman aja... BW! Semua proposal campaign boleh ditumpuk di pojokan. Atau kalau rajin masukin aja ke tas porto.
6. PENGEN KAYA
Kalau pengen kaya, jualan pisang goreng pontianak bisa jadi lebih menguntungkan. Mau bukti kalau iklan gak bisa bikin kaya? Cari majalah Forbes yang setiap tahun melansir 100 orang terkaya di dunia. Cari dan hitung ada berapa orang iklan di sana. Sayang, yang kayanya itu holding companynya. WPP misalnya. Kita-kitanya mah... Kalau misalnya semalam para pemilik saham WPP bilang, itu kayaknya agency di Jakarta ditutup aja deh, bo cuan! Ya sudah... kita bukan cuma miskin, pengangguran sekalian.
7. PENGEN TERKENAL
Ok deh kaka! Tolong sebutin siapa orang iklan terkenal? Fajar Rusli? Kepra? Pulang, tanya ke nyokap, bokap, satpam atau Mbak Pargi. Kenal gak mereka sama nama-nama itu. Atau iseng-iseng kalau pas lagi naik mikrolet. Cari tempat duduk deket sopir. Terus pelan-pelan, tepuk pundaknya, tanya "Mas, kenal Roy Wisnu gak?" Silakan...
8. PENGEN JADI YANG LAIN
Eits jangan salah! Banyak loh orang masuk iklan buat jadi jembatan. Sebenarnya pengen jadi bintang iklan, penyanyi, film director, bintang film dan lain-lain. Cuma karena gak kesampean atau kurang berbakat, ya udah... masuk di agency aja dulu deh. Kali-kali ada talent hunter yang menemukan mengorbitkan gue. Sah-sah aja sih alasan yang ini. Tapi biasanya mereka biasa-biasa aja pas kerja soalnya advertising bukan yang mereka mau.
9. PENGEN HIDUP TENANG
Ya... setidaknya gue dapet gaji tiap akhir bulan. Apa bedanya sama benalu ya? Tau nebeng untuk nyedot duit doang tapi gak ngasih kontribusi apa-apa. Gak ada bedanya kerja di advertising sama bidang lain. Yah mendingan kerja di bank lebih teratur hidupnya. Bisa ke gym setiap hari.
Waktu dulu gue nulis "Unhappy People of A Happy Industry" tak kurang seorang Gandhi Suryoto bertanya dengan sinis ke gue "Loe tipe yang mana?" Jawaban gue gampang "I am happy!"
Nah sebelum ada yang nanya "alasan loe apa kerja di industry advertising?" biarkan gue menjawabnya dulu. Jawaban gue "PENGEN HIDUP AJA." Eksistensi gue ada di dunia iklan. Tanpa dunia iklan, gue ngerasa gak lengkap sebagai manusia. Tanpa dunia iklan gue gak bisa ngapa-ngapain lagi. Tanpa dunia iklan, gue gak lebih dari raga tanpa sukma.
1. PENGEN BELAJAR IKLAN
Dari pengalaman gue, hampir gak ada CD-CD atau bahkan ECD-ECD yang mau ngajarin anak-anak buahnya. Palingan mereka cuma bilang "ini bagus itu jelek, ini ok, ini basi, ini kreatif, itu gak kreatif, bla bla bla!" Abis itu mereka sibuk ngerjain proyek mereka sendiri. Es-Je bo! Gak bohong.
2. PENGEN BIKIN IKLAN
Bo'ong banget! Semua orang bisa bikin iklan! Bu Gito aja bisa bikin iklan. Coba liat jaman dulu, mana ada biro iklan sih? Tapi toh ada aja iklan. Dan kita harus terima kenyataan, banyak iklan jaman baheula yang lebih bagus, lebih variatif, lebih jujur dan lebih berkelas daripada iklan-iklan masa kini.
Jadi, kalau alasan loe pengen kerja di advertising agency karena mau bikin iklan... ergh... mending gak usah.
3. PENGEN MENANG AWARD
Untuk menang award, gak harus kerja di advertising agency atau award winning advertising agency. Bikin aja iklan sendiri. Sekarang perorangan udah bisa ikutan kok. Ngalahin agency lokal atau multinasional? Bisa banget! Percaya sama gue.
4. PENGEN FUNKY GETU LOH!
Plis deh! Ke-funky-an dan keseruan dunia iklan itu cuma ada pas malam minggu atau malam citra pariwara yang makin tahun makin basi anyway... Dalam sehari-hari tetep aja dimaki-maki klien, begadang sampe pagi, kelaperan dan kecapean malem-malem. Bagus kalau dikasih makan sama kantor. Kalau enggak, makan tuh nasi goreng tek tek sampe enek.
5. PENGEN BIKIN CAMPAIGN
Hare gene? Boys, klien hari gini lagi pada susah duitnya. Bikin campaign itu gak murah. Udah 10 tahun belakangan ini, campaign cuma ada pas presentasi pertama aja atau pitching. Abis itu, ini gak usah itu gak usah. Bikin print aja ya, 1/4 halaman aja... BW! Semua proposal campaign boleh ditumpuk di pojokan. Atau kalau rajin masukin aja ke tas porto.
6. PENGEN KAYA
Kalau pengen kaya, jualan pisang goreng pontianak bisa jadi lebih menguntungkan. Mau bukti kalau iklan gak bisa bikin kaya? Cari majalah Forbes yang setiap tahun melansir 100 orang terkaya di dunia. Cari dan hitung ada berapa orang iklan di sana. Sayang, yang kayanya itu holding companynya. WPP misalnya. Kita-kitanya mah... Kalau misalnya semalam para pemilik saham WPP bilang, itu kayaknya agency di Jakarta ditutup aja deh, bo cuan! Ya sudah... kita bukan cuma miskin, pengangguran sekalian.
7. PENGEN TERKENAL
Ok deh kaka! Tolong sebutin siapa orang iklan terkenal? Fajar Rusli? Kepra? Pulang, tanya ke nyokap, bokap, satpam atau Mbak Pargi. Kenal gak mereka sama nama-nama itu. Atau iseng-iseng kalau pas lagi naik mikrolet. Cari tempat duduk deket sopir. Terus pelan-pelan, tepuk pundaknya, tanya "Mas, kenal Roy Wisnu gak?" Silakan...
8. PENGEN JADI YANG LAIN
Eits jangan salah! Banyak loh orang masuk iklan buat jadi jembatan. Sebenarnya pengen jadi bintang iklan, penyanyi, film director, bintang film dan lain-lain. Cuma karena gak kesampean atau kurang berbakat, ya udah... masuk di agency aja dulu deh. Kali-kali ada talent hunter yang menemukan mengorbitkan gue. Sah-sah aja sih alasan yang ini. Tapi biasanya mereka biasa-biasa aja pas kerja soalnya advertising bukan yang mereka mau.
9. PENGEN HIDUP TENANG
Ya... setidaknya gue dapet gaji tiap akhir bulan. Apa bedanya sama benalu ya? Tau nebeng untuk nyedot duit doang tapi gak ngasih kontribusi apa-apa. Gak ada bedanya kerja di advertising sama bidang lain. Yah mendingan kerja di bank lebih teratur hidupnya. Bisa ke gym setiap hari.
Waktu dulu gue nulis "Unhappy People of A Happy Industry" tak kurang seorang Gandhi Suryoto bertanya dengan sinis ke gue "Loe tipe yang mana?" Jawaban gue gampang "I am happy!"
Nah sebelum ada yang nanya "alasan loe apa kerja di industry advertising?" biarkan gue menjawabnya dulu. Jawaban gue "PENGEN HIDUP AJA." Eksistensi gue ada di dunia iklan. Tanpa dunia iklan, gue ngerasa gak lengkap sebagai manusia. Tanpa dunia iklan gue gak bisa ngapa-ngapain lagi. Tanpa dunia iklan, gue gak lebih dari raga tanpa sukma.
Monday, October 02, 2006
Planet yang Kesepian
Kakek dan adik kecilnya, baru saja meninggalkannya.
Sendirian di kereta api Bandung tujuan Jakarta.
Sejenak setelah kereta berjalan, Ia melihat ke luar jendela.
Badannya seolah kaku. Kepalanya membatu.
Satu menit, dua menit,
Ia membalikkan badannya, dan segera menutup wajahnya.
Air bening menetes dari sela-sela jarinya.
Bahunya berguncang lumayan kencang.
Aku diam saja.
Hendak ke mana, anak laki-laki ini?
Ke Jakarta mau apa?
Mau sekolah? Mau liburan?
Apa baru saja dia dijual?
Apa dia mau bekerja?
Kerja di mana?
Dengan siapa engkau tinggal di Jakarta?
Tinggal sendirian?
Sadar aku perhatikan, Ia kemudian melihat ke wajahku.
Dari matanya, aku bisa merasakan kesepian dan kegentaran sebening air matanya.
Dalam hatiku, aku berkata padanya:
"Jangan takut dik, selama bumi dipijak dan langit dijunjung,
insya Allah adalah Tuhan yang akan selalu melindungi kita."
Pikiranku melayang ke 27 tahun yang lalu.
Saat aku ditinggal sendiri.
Bukan, bukan di sebuah kereta.
Tapi di sebuah gerbong gelap
dengan suara latar caci maki sumpah serapah.
Di saat umat yang lain bershalat Terawih,
di saat saudara seimannya berpaling iklas atau munafik
dari tempat-tempat kenikmatan duniawi,
Ia bekerja di tempat yang sebulan ini dinajiskan.
Jilbab yang melindunginya dan tanda takwa,
kini menjadi senjata jaga-jaga.
Siapa tau tentara bersorban datang.
Ia perempuan kecil berjilbab jadi tameng.
Matanya seolah berkata,
"tak hendak aku berada di sini".
Tapi kerudung kecil berwarna ungu kembang-kembang,
ada di Ramayana, pasti bikin Lebaran makin meriah.
Hatinya mungkin berkata,
"tak hendak aku berada di sini".
Tapi ketupat untuk yang menanti di kampung,
tak mungkin turun begitu saja dari langit.
Bola bilyar yang ditatanya seksama,
membentuk segitiga sempurna,
hancur merata dalam satu pukulan.
Tapi bukan impian lebarannya.
Monday, September 25, 2006
14 September 2006
Persis malam sebelum Citra Pariwara, gue berkesempatan nonton film terbarunya Yasmin Ahmad. Judulnya Mukhsin.
Dari sekian banyaknya rangkaian acara Citra Pariwara, secara jujur gue ngerasa nonton film ini yang paling menarik. Bisa jadi karena gue udah jenuh sama iklan. Dan gue cuma ngerasa semua seminar-seminar kreatif periklanan akan membicarakan hal yang sama. Dan kebetulan juga, cuma nonton bareng ini yang waktunya pas dengan jadwal gue.
Buat gue, film Mukhsin bener-bener bisa mengobati kekosongan di dalam hati. Selama ini udah sering gue nonton film. tapi jarang banget yang bisa tinggal di dalam hati. Kebanyakan abis nonton, boro2 inget bintangnya siapa. Inget ceritanya aja enggak. Beda dengan Mukhsin. Gue bisa inget banyak adegan. Banyak kata-kata yang bisa gue inget. Dan bukan gak mungkin jadi inspirasi buat gue. Buat iklan?
Satu yang bikin gue gak habis pikir. Kok bisa ya, film sesederhana itu tapi dalem banget? Kok bisa ya, gue kayak ngaca di cerita itu padahal gue belum pernah jatuh cinta? Kok bisa ya cerita dengan setting kampung yang bisa setiap hari gue liat, jadi begitu indah tapi gak berlebihan. Tapi mungkin karena yang bikin memang seorang Yasmin Ahmad.
Sejauh gue mengenal Yasmin Ahmad, satu yang gue tau, Yasmin orangnya sederhana banget. Penuh guyon. Semua orang diajak ngobrol. Semua bisa jadi guyonan. Bahkan lagu "Jablai" jadi lucu karena dia nyanyiin pake bahasa inggris. "The last time I went to Binaria, come back, come back I have two bodies!" Selain orangnya apa adanya banget. Hampir gak pernah gue ngelihat dia berpura pura. Dan dari semua perbincangan kita, banyak banget yang dia inget.
Banyak yang bilang gue terlalu mendewakan dia. Terlalu berlebihan mengagumi dia. Mungkin mereka bener. Tapi mungkin juga mereka gak tau, kalau gue masih butuh idola. Gue masih butuh guru. Gue masih pengen diajarin. Gue masih pengen dikasih inspirasi. Dan buat gue Yasmin Ahmad adalah salah satunya. Sombong kalau gue bilang belum ada orang iklan di Indonesia yang bisa menyentuh hati gue sedalam dia. Tapi memang begitu adanya. Susah untuk gue ceritain kalau tidak mengenal Yasmin sebagaimana gue mengenal dia.
Kalau pas kita ngobrolin soal iklan, semua jadi luaaaaaaas banget. Gak lagi ngebahas copy jelek. Art direction jelek. Tapi lebih pada hal-hal yang lebih basic. Kejujuran. Emosi. Perasaan. Bukan ditanya "what is the idea?" tapi "what is the emotion?' Bukan "what do you think?" tapi "how do you feel?" Bukan "what is wrong?" tapi "how can we improve?" Dan gue gak pernah ngerasa dihakimi hanya karena kerjaan gue gak bagus. Malah gue jadi semangat untuk jadi diri sendiri. Untuk terus berkarya. Nah, sejujurnya yang seperti ini gue gak pernah ngalamin di sini. Sementara ini yang selama ini gue butuhin.
Sekarang, apa salah kalau gue mengidolakan dia? Apa salah kalau gue melakukan segala yang terbaik untuk dia? Apa gue berlebihan kalau gue bilang kita bisa belajar banyak sekali dari seorang Yasmin Ahmad. Dan gue pikir temen-temen deket gue yang dateng malam itu untuk nonton Mukhsin bisa mengerti apa yang gue alami dan rasakan. Dan menurut gue, apa yang malam itu kita nonton bareng adalah semua, semua, semua yang bisa kita bagi.
Tentang iklan, tentang hidup kita, tentang pertemanan kita... semua dalam 95 menit di 14 September 2006.
"... but love is kind. It gives me a second chance..."
Makasih Cikgu... Makasih Addiction
Friday, September 22, 2006
Mbak Pargi.... Mbak Pargi...
Beberapa hari ini, mbak Pargi dateng bergincu!
Rambutnya yang biasa diiket, pagi ini dilepas melayang.
Persis seperti gadis Sunsilk.
Sebentar-sebentar dia senyum-senyum sendiri.
Belakangan ini, dia sering tiba-tiba diam sambil mainin kuku jarinya.
Pas dipanggil baru nyadar lagi.
Senyum-senyum lagi.
Ketawa-ketawa lagi.
Mukanya yang biasanya agak pucat,
belakangan ini merona merah.
Gak tau karena pake pemerah pipi.
Atau semua darahnya mengalir ke arah pipi.
Intonasi nadanya belakangan juga berubah.
Jadi lebih ceria dan enteng.
Hampir semua kalimat yang keluar dari mulutnya,
seolah di habis ketawa.
Kalau siang, dia memang sering kerja sambil dengerin radio.
Belakangan, bukan cuma dengerin.
Tapi nyanyi bersama lagu.
Gak cuma senandung... Lumayan kenceng.
---
Suatu pagi gue berangkat ke kantor.
Begitu sampai di bawah,
seperti biasa Pak Satpam menegur dengan sopannya
"selamat pagi mas Glenn..."
gue menjawab
"pagi juga mas..."
sambil tersenyum gue menatap wajahnya.
Sebelum gue melepas pandangan
tiba-tiba... dia memainkan juga jari kukunya!
Yang pasti,
hari ini gue senyum-senyum sendiri.
Saturday, September 16, 2006
Tuesday, September 12, 2006
Di Sebuah Lorong
Setelah semua 'sebutan' yang diberikan kepada gue, cd banci, biang scam, perusak dunia iklan, pelacur iklan, cina miskin, son of a pitch, tukang carmuk, jagoan PR doang, gak ngerti konsep dan banyak lagi hinaan yang sering dipakai oleh orang iklan senior untuk memanggil gue - bahkan dengan tanpa perasaan di depan banyak orang - yang terakhir adalah 'seniman'.
Sebutan ini bukan dari sembarang orang, tapi dari Narga Habib, ketua PPPI selepas mengikuti seminar di Jogja di mana gue menjadi pembicara. Sebentar gue terdiam dan agak bingung. Sejujurnya gak pernah merasa jadi seniman. Mungkin karena gue dianggap gak pantes jadi orang iklan. Tapi gue menyudahi perdebatan dalam hati itu dengan kalimat penghibu "mendingan jadi seniman deh daripada orang iklan. hehehehe!"
Di saat yang bersamaan, gue sedang dalam sebuah perjalanan mencari ide iklan cetak. Produk pemanis alami dengan target utamanya perempuan. Pengen bilang kalau pake produk ini, badan bisa langsing (seksi?). Sebelum memulai perjalanan ini gue memiliki sebuah pertanyaa Bagaimana dan referensi apa yang terbaik untuk menggambarkan perempuan Indonesia? Menurut gue, kalau pertanyaan ini bisa dijawab, akan lebih mudah mengerjakan iklan cetak baru ini.
Apa yang selama ini ditampilkan oleh majalah Popular, Playboy, FHM, dan banyak iklan-iklan pelangsing lainnya, menurut gue bukan perempuan Indonesia. Tapi perempuan Indonesia yang sedang berusaha menjadi perempuan barat. Atau perempuan Indonesia dilihat dengan kacamata orang barat.
Tetek tumpah ruah, pinggang yang sintal, pose dan tatapan menantang. Rambut kecoklatan terurai. Bukankah itu berasal dari majalah Playboy dan Vargas zaman baheula?
Perjalanan gue akhirnya sampai ke sebuah lorong panjang tahun 1940-an. Di lorong tersebut bau minyak tanah menyengat hidung. Gelap dan sunyi. Begitu sunyinya sampai hanya detak jantung gue yang terdengar. Sesekali terdengar suara orang sedang bercakap cakap dalam bahasa Belanda. Sepertinya mereka sedang berpesta. Suara gamelan kecapi suling terdengar melengkapi. Udara dingin menyerbu. Bulu kuduk gue berdiri.
Tiba tiba seseorang muncul di depan. Dengan mata sipitnya Ia menyapa:
"Apa yang kamu cari di sini anak muda?"
"Saya mencari penggambaran yang tepat perempuan indonesia."
"Mengapa kamu mencarinya di sini? Di lorong sepi ini?"
"Karena perasaan saya mengatakan apa yang ada di luar sana bukan yang saya cari."
"Mengapa perasaanmu mengatakan demikian?"
"Entahlah... saya merasa apa yang ditampilkan adalah untuk orang lain."
"Ah anak muda, membingungkan! Tapi mungkin apa yang ada di lorong ini bisa membantu."
Satu persatu lilin di tembok lorong dinyalakan dengan jarinya yang tebal terbungkus kulit yang halus. Perlahan lorong sepi itu terang. Bulu kuduk gue kembali berdiri. Satu persatu lukisan perempuan indonesia di kanan dan kiri tembok mulai terlihat. Ada perempuan bali. Perempuan jawa. Tak mengenakan kutang menenun. Rambut tergerai rapih di samping. kain melilit kepala.
Tatapan mereka tampah syahdu dan menenangkan. Mata mereka tidak menantang tapi seolah menyimpan sejuta kekuatan. Tangan mereka tidak panjang tapi lentik. Aaaaah tau deh... susah banget diomongin.
"He ehm... membantu?" kata orang tua tadi yang sekarang terlihat jelas.
Dari wajahnya ia pasti orang indonesia keturunan tionghoa.
Gue terdiam. Matanya menatap mata gue. Begitu dalam. Yang di dalam sini merasa begitu hangat. Seperti pulang ke rumah. Hati gue dielus perlahan. Yang selama ini hilang kembali.
Perlahan gue berjalan mundur. Ia tidak beranjak dari tempatnya. Sebelum sampai di ujung lorong, gue menyempatkan untuk menyapu pandangan ke kanan kiri lorong. Orang tua itu melihat gue dengan senyum dan berseru:
"Pulanglah... pulang... rumahmu di sini."
Saya tersenyum.
"Saya Glenn Marsalim."
"Oooh nak glenn... saya Lee Man Fong."
"Senang berkenalan denganmu Pak Lee."
"Kamu sampai di sini karena kamu mencari…
Hati hati di jalan!"
Born in Canton, China, Lee Man Fong’s family moved when he was young to Singapore, where he worked as a commercial artist until he got job as a caricaturist for a Chinese newspaper in Batavia (Jakarta). At the same time he was teaching himself to paint. Later he received a grant to study art in the Netherlands. Upon returning to Indonesia his talent was quickly recognized by President Sukarno and become a trusted member of the inner court. He was charged with editing a large book documenting the Sukarno collection of paintings of which he was curator. The influence of this book in the development of Indonesia painting cannot be underestimated.
Fong, often, made paintings of Balinese subjects. Some of these were clearly based on Willem Hofker’s work. He also did a series of large paintings depicting various activites in Bali’s daily life which are remarkable. Fong was a versatile painter skilled in both western oil painting style. After the fall of Sukarno, Fong retreated into private life until his death in 1988.
Sebutan ini bukan dari sembarang orang, tapi dari Narga Habib, ketua PPPI selepas mengikuti seminar di Jogja di mana gue menjadi pembicara. Sebentar gue terdiam dan agak bingung. Sejujurnya gak pernah merasa jadi seniman. Mungkin karena gue dianggap gak pantes jadi orang iklan. Tapi gue menyudahi perdebatan dalam hati itu dengan kalimat penghibu "mendingan jadi seniman deh daripada orang iklan. hehehehe!"
Di saat yang bersamaan, gue sedang dalam sebuah perjalanan mencari ide iklan cetak. Produk pemanis alami dengan target utamanya perempuan. Pengen bilang kalau pake produk ini, badan bisa langsing (seksi?). Sebelum memulai perjalanan ini gue memiliki sebuah pertanyaa Bagaimana dan referensi apa yang terbaik untuk menggambarkan perempuan Indonesia? Menurut gue, kalau pertanyaan ini bisa dijawab, akan lebih mudah mengerjakan iklan cetak baru ini.
Apa yang selama ini ditampilkan oleh majalah Popular, Playboy, FHM, dan banyak iklan-iklan pelangsing lainnya, menurut gue bukan perempuan Indonesia. Tapi perempuan Indonesia yang sedang berusaha menjadi perempuan barat. Atau perempuan Indonesia dilihat dengan kacamata orang barat.
Tetek tumpah ruah, pinggang yang sintal, pose dan tatapan menantang. Rambut kecoklatan terurai. Bukankah itu berasal dari majalah Playboy dan Vargas zaman baheula?
Perjalanan gue akhirnya sampai ke sebuah lorong panjang tahun 1940-an. Di lorong tersebut bau minyak tanah menyengat hidung. Gelap dan sunyi. Begitu sunyinya sampai hanya detak jantung gue yang terdengar. Sesekali terdengar suara orang sedang bercakap cakap dalam bahasa Belanda. Sepertinya mereka sedang berpesta. Suara gamelan kecapi suling terdengar melengkapi. Udara dingin menyerbu. Bulu kuduk gue berdiri.
Tiba tiba seseorang muncul di depan. Dengan mata sipitnya Ia menyapa:
"Apa yang kamu cari di sini anak muda?"
"Saya mencari penggambaran yang tepat perempuan indonesia."
"Mengapa kamu mencarinya di sini? Di lorong sepi ini?"
"Karena perasaan saya mengatakan apa yang ada di luar sana bukan yang saya cari."
"Mengapa perasaanmu mengatakan demikian?"
"Entahlah... saya merasa apa yang ditampilkan adalah untuk orang lain."
"Ah anak muda, membingungkan! Tapi mungkin apa yang ada di lorong ini bisa membantu."
Satu persatu lilin di tembok lorong dinyalakan dengan jarinya yang tebal terbungkus kulit yang halus. Perlahan lorong sepi itu terang. Bulu kuduk gue kembali berdiri. Satu persatu lukisan perempuan indonesia di kanan dan kiri tembok mulai terlihat. Ada perempuan bali. Perempuan jawa. Tak mengenakan kutang menenun. Rambut tergerai rapih di samping. kain melilit kepala.
Tatapan mereka tampah syahdu dan menenangkan. Mata mereka tidak menantang tapi seolah menyimpan sejuta kekuatan. Tangan mereka tidak panjang tapi lentik. Aaaaah tau deh... susah banget diomongin.
"He ehm... membantu?" kata orang tua tadi yang sekarang terlihat jelas.
Dari wajahnya ia pasti orang indonesia keturunan tionghoa.
Gue terdiam. Matanya menatap mata gue. Begitu dalam. Yang di dalam sini merasa begitu hangat. Seperti pulang ke rumah. Hati gue dielus perlahan. Yang selama ini hilang kembali.
Perlahan gue berjalan mundur. Ia tidak beranjak dari tempatnya. Sebelum sampai di ujung lorong, gue menyempatkan untuk menyapu pandangan ke kanan kiri lorong. Orang tua itu melihat gue dengan senyum dan berseru:
"Pulanglah... pulang... rumahmu di sini."
Saya tersenyum.
"Saya Glenn Marsalim."
"Oooh nak glenn... saya Lee Man Fong."
"Senang berkenalan denganmu Pak Lee."
"Kamu sampai di sini karena kamu mencari…
Hati hati di jalan!"
Born in Canton, China, Lee Man Fong’s family moved when he was young to Singapore, where he worked as a commercial artist until he got job as a caricaturist for a Chinese newspaper in Batavia (Jakarta). At the same time he was teaching himself to paint. Later he received a grant to study art in the Netherlands. Upon returning to Indonesia his talent was quickly recognized by President Sukarno and become a trusted member of the inner court. He was charged with editing a large book documenting the Sukarno collection of paintings of which he was curator. The influence of this book in the development of Indonesia painting cannot be underestimated.
Fong, often, made paintings of Balinese subjects. Some of these were clearly based on Willem Hofker’s work. He also did a series of large paintings depicting various activites in Bali’s daily life which are remarkable. Fong was a versatile painter skilled in both western oil painting style. After the fall of Sukarno, Fong retreated into private life until his death in 1988.
Saturday, August 12, 2006
Menciptakan Iklan Kreatif Berstandar Internasional
Pinasthika, Jogja, 11 Agustus 2006
Kalau saya berbicara di sini, di acara penting seperti ini, pasti bukan karena saya pengarah kreatif biro iklan multinasional atau karena saya pernah memenangkan penghargaan internasional. Boro-boro lah, bikin iklan creative berstandar internasional saja saya belum pernah. Tapi mungkin, perkiraan saya, karena kebetulan saya juri Pinasthika 2006. Dan menurut saya, itu bukan alasan yang baik untuk saya berbicara mengenai “Menciptakan Iklan Creative Berstandar Internasional”.
Tapi karena belum ada pilihan lain, izinkan saya untuk berbicara menurut apa yang saya pahami dan rasakan dengan sejujurnya.
Sejujurnya, sampai sekarang saya belum menemukan jawaban akan pertanyaan saya sendiri “Mengapa kita, harus menciptakan iklan creative berstandar internasional?” Yang saya tau, iklan adalah sarana berkomunikasi. Persis seperti saat ini saya berbicara kepada Anda. Atau nanti malam kalau kita nongkrong di angkringan. Dan bukan saya berbicara kepada mister dan mises di belahan dunia lain.
Apa yang kita rasakan dan pikirkan di sini, tidak sama dengan apa yang mereka rasakan di sana. Dimana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.
Karena saya ingin berkomunikasi dengan Anda, terlebih dahulu saya ingin menjadi teman Anda. Teman yang menghargai Anda dan menggunakan bahasa yang kita pahami bersama. Dan kalau saya teman Anda akankah saya membuat Anda merasa kecil dan bodoh, dengan menggunakan istilah dan bahasa yang tidak Anda pahami? Hanya untuk memenuhi ambisi pribadi saya untuk menciptakan komunikasi dengan standar internasional.
Menerapkan standar internasional bukan saja menghilangkan esensi iklan itu sendiri, tapi juga menimbulkan pertanyaan baru, “standar internasional itu standarnya siapa?” Apakah kalau saya membuat iklan dengan menggunakan bahasa inggris, bermodel bule dan menggunakan perwarnaan a la Thailand berarti iklan saya berstandar internasional?
Kalau seperti itu, biarlah saya memilih untuk tidak membuat iklan berstandar internasional. Karena saya memiliki impian lain. Impian untuk membuat iklan sebagai mana saya berbicara kepada ibu saya, dan bukan Jureeporn Thaidumrong. Saya berbicara kepada pemilik angkringan dan bukan David Droga. Saya berbicara kepada tukang becak dan bukan Neil French.
Telah sekian lama dunia iklan Indonesia mendambakan untuk memenangkan Adfest, tapi entah mengapa, impian itu tampak semakin menjauh. Tahun ini, tidak ada satu finalispun. Lumayan menghibur berita dari Cannes, tapi toh medal belum berhasil kita raih. Ada banyak pertanyaan yang selama ini menggantung dan sekarang saya ingin memberanikan diri untuk membicarakannya.
Pertanyaan saya, mengapa kita harus memenangkan penghargaan internasional? Kalau benar, penghargaan internasional akan membuat penciptanya jadi terkenal, siapa di ruangan ini yang ingat Nutchanun Chiaphanumas? Copywriter iklan cetak terbaik Adfest 2005. Kalau benar, penghargaan internasional bisa mengharumkan nama bangsa, ada berapa dari kita yang ingat dari negara mana iklan cetak terbaik Cannes 2006 ini berasal? Dan seandainya kemarin saya memenangkan Cannes, apakah anda akan ikut berbahagia bersama saya? Apakah kemenangan saya akan memperbaiki keadaan periklanan kita yang sedang dirundung PHK besar-besaran? Apakah kemenangan itu bisa membuat klien semakin menghargai saya? Dan terakhir, akankah kemenangan itu akan menjadikan saya kreatif terbaik abad ini?
Kalau saya berbicara seperti ini sekarang, itu karena saya pernah melakukan kesalahan di masa lalu. Mencoba membuat iklan dengan standar internasional itu tadi. Sampai seorang tokoh periklanan dunia mengingatkan saya “ketika kamu berusaha menjadi orang lain, maka karyamu tidak akan memiliki kepribadian dan tenggelam dalam lautan karya iklan dari berbagai penjuru dunia. Indonesia adalah Negara yang begitu kreatif! Lihatlah sekelilingmu dan jadikan inspirasi.” Sayapun tercerah. Dan pencerahan itulah yang saya bagi saat ini.
Semua berhak untuk memiliki harapan untuk memenangkan penghargaan iklan. Kelas nasional ataupun dunia. Tapi bagi saya, mengejar penghargaan itu hanya akan jadi berarti kalau dilandasi harapan dan cita-cita yang lebih besar dari penghargaan itu sendiri. Bagi saya, harapan dan cita cita itu adalah, untuk menemukan iklan yang “berkalbu Indonesia”. Sebuah perjalanan ke dalam. Ini jauh lebih menarik dan menantang.
Kalau dalam perjalanan ke dalam itu tadi, trophy internasional dianugerahkan kepada saya, maka itu adalah anugerah.
Membuat iklan dengan hati dan bukan sekedar memenangkan hati juri. Dengan harapan untuk memberikan sesuatu yang inspiratif dan bukan sekedar mencontoh karya pemenang iklan sebelumnya. Dan yang terakhir, membuat iklan untuk menemukan jati diri kita sebagai orang Indonesia. Adalah hal hal yang menjadikan dunia iklan semakin menarik dan menggairahkan.
Kalau iklan adalah soal komunikasi antar sesama kita, maka baiklah kita berlomba untuk menjadi manusia yang lebih baik. Manusia yang lebih baik selalu mencoba untuk memahami kekhawatiran dan kegelisahan sesamanya. Yang mengerti bahwa kesepian dan perasaan tidak dihargai adalah derita 90% seluruh umat manusia di seluruh dunia. Yang sadar bahwa iklan tidak lagi dapat menipu dan memperdaya.
Ini adalah bahasa internasional yang dipahami dan dihargai oleh semua orang beradab di belahan dunia manapun. Termasuk juri-juri awards internasional.
Bukan mudah. Tapi saya percaya di mana ada kemauan untuk menjadi lebih baik, di sana insya allah jalan terbuka.
Gowonen atimu terus,
Amargo donya iku sak jembare atimu.
Uripke atimu terus
Amargo donya iku bagianing atimu.
Payoni atimu terus
Amargo donya ono ing sajerone atimu.
Bawalah selalu hatimu,
Karena dunia adalah seluas hatimu.
Hidupkanlah selalu hatimu,
Karena dunia adalah bagian hatimu.
Atapilah terus hatimu
Karena dunia ada di dalam hatimu.
Kalau saya berbicara di sini, di acara penting seperti ini, pasti bukan karena saya pengarah kreatif biro iklan multinasional atau karena saya pernah memenangkan penghargaan internasional. Boro-boro lah, bikin iklan creative berstandar internasional saja saya belum pernah. Tapi mungkin, perkiraan saya, karena kebetulan saya juri Pinasthika 2006. Dan menurut saya, itu bukan alasan yang baik untuk saya berbicara mengenai “Menciptakan Iklan Creative Berstandar Internasional”.
Tapi karena belum ada pilihan lain, izinkan saya untuk berbicara menurut apa yang saya pahami dan rasakan dengan sejujurnya.
Sejujurnya, sampai sekarang saya belum menemukan jawaban akan pertanyaan saya sendiri “Mengapa kita, harus menciptakan iklan creative berstandar internasional?” Yang saya tau, iklan adalah sarana berkomunikasi. Persis seperti saat ini saya berbicara kepada Anda. Atau nanti malam kalau kita nongkrong di angkringan. Dan bukan saya berbicara kepada mister dan mises di belahan dunia lain.
Apa yang kita rasakan dan pikirkan di sini, tidak sama dengan apa yang mereka rasakan di sana. Dimana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.
Karena saya ingin berkomunikasi dengan Anda, terlebih dahulu saya ingin menjadi teman Anda. Teman yang menghargai Anda dan menggunakan bahasa yang kita pahami bersama. Dan kalau saya teman Anda akankah saya membuat Anda merasa kecil dan bodoh, dengan menggunakan istilah dan bahasa yang tidak Anda pahami? Hanya untuk memenuhi ambisi pribadi saya untuk menciptakan komunikasi dengan standar internasional.
Menerapkan standar internasional bukan saja menghilangkan esensi iklan itu sendiri, tapi juga menimbulkan pertanyaan baru, “standar internasional itu standarnya siapa?” Apakah kalau saya membuat iklan dengan menggunakan bahasa inggris, bermodel bule dan menggunakan perwarnaan a la Thailand berarti iklan saya berstandar internasional?
Kalau seperti itu, biarlah saya memilih untuk tidak membuat iklan berstandar internasional. Karena saya memiliki impian lain. Impian untuk membuat iklan sebagai mana saya berbicara kepada ibu saya, dan bukan Jureeporn Thaidumrong. Saya berbicara kepada pemilik angkringan dan bukan David Droga. Saya berbicara kepada tukang becak dan bukan Neil French.
Telah sekian lama dunia iklan Indonesia mendambakan untuk memenangkan Adfest, tapi entah mengapa, impian itu tampak semakin menjauh. Tahun ini, tidak ada satu finalispun. Lumayan menghibur berita dari Cannes, tapi toh medal belum berhasil kita raih. Ada banyak pertanyaan yang selama ini menggantung dan sekarang saya ingin memberanikan diri untuk membicarakannya.
Pertanyaan saya, mengapa kita harus memenangkan penghargaan internasional? Kalau benar, penghargaan internasional akan membuat penciptanya jadi terkenal, siapa di ruangan ini yang ingat Nutchanun Chiaphanumas? Copywriter iklan cetak terbaik Adfest 2005. Kalau benar, penghargaan internasional bisa mengharumkan nama bangsa, ada berapa dari kita yang ingat dari negara mana iklan cetak terbaik Cannes 2006 ini berasal? Dan seandainya kemarin saya memenangkan Cannes, apakah anda akan ikut berbahagia bersama saya? Apakah kemenangan saya akan memperbaiki keadaan periklanan kita yang sedang dirundung PHK besar-besaran? Apakah kemenangan itu bisa membuat klien semakin menghargai saya? Dan terakhir, akankah kemenangan itu akan menjadikan saya kreatif terbaik abad ini?
Kalau saya berbicara seperti ini sekarang, itu karena saya pernah melakukan kesalahan di masa lalu. Mencoba membuat iklan dengan standar internasional itu tadi. Sampai seorang tokoh periklanan dunia mengingatkan saya “ketika kamu berusaha menjadi orang lain, maka karyamu tidak akan memiliki kepribadian dan tenggelam dalam lautan karya iklan dari berbagai penjuru dunia. Indonesia adalah Negara yang begitu kreatif! Lihatlah sekelilingmu dan jadikan inspirasi.” Sayapun tercerah. Dan pencerahan itulah yang saya bagi saat ini.
Semua berhak untuk memiliki harapan untuk memenangkan penghargaan iklan. Kelas nasional ataupun dunia. Tapi bagi saya, mengejar penghargaan itu hanya akan jadi berarti kalau dilandasi harapan dan cita-cita yang lebih besar dari penghargaan itu sendiri. Bagi saya, harapan dan cita cita itu adalah, untuk menemukan iklan yang “berkalbu Indonesia”. Sebuah perjalanan ke dalam. Ini jauh lebih menarik dan menantang.
Kalau dalam perjalanan ke dalam itu tadi, trophy internasional dianugerahkan kepada saya, maka itu adalah anugerah.
Membuat iklan dengan hati dan bukan sekedar memenangkan hati juri. Dengan harapan untuk memberikan sesuatu yang inspiratif dan bukan sekedar mencontoh karya pemenang iklan sebelumnya. Dan yang terakhir, membuat iklan untuk menemukan jati diri kita sebagai orang Indonesia. Adalah hal hal yang menjadikan dunia iklan semakin menarik dan menggairahkan.
Kalau iklan adalah soal komunikasi antar sesama kita, maka baiklah kita berlomba untuk menjadi manusia yang lebih baik. Manusia yang lebih baik selalu mencoba untuk memahami kekhawatiran dan kegelisahan sesamanya. Yang mengerti bahwa kesepian dan perasaan tidak dihargai adalah derita 90% seluruh umat manusia di seluruh dunia. Yang sadar bahwa iklan tidak lagi dapat menipu dan memperdaya.
Ini adalah bahasa internasional yang dipahami dan dihargai oleh semua orang beradab di belahan dunia manapun. Termasuk juri-juri awards internasional.
Bukan mudah. Tapi saya percaya di mana ada kemauan untuk menjadi lebih baik, di sana insya allah jalan terbuka.
Gowonen atimu terus,
Amargo donya iku sak jembare atimu.
Uripke atimu terus
Amargo donya iku bagianing atimu.
Payoni atimu terus
Amargo donya ono ing sajerone atimu.
Bawalah selalu hatimu,
Karena dunia adalah seluas hatimu.
Hidupkanlah selalu hatimu,
Karena dunia adalah bagian hatimu.
Atapilah terus hatimu
Karena dunia ada di dalam hatimu.
Thursday, June 29, 2006
Soal Aku dan Dia - Unedited Version
Disebut sebagai ‘anak kreatif’ di bisnis iklan semakin hari terasa semakin memalukan dan memilukan. Kreatif untuk membantu klien mengelabui konsumen sehingga mereka membeli barang yang mereka tidak perlukan? Kreatif untuk membuat konsumen merasa kecil karena kulitnya hitam dan rambutnya keriting? Atau kreatif karena bisa memberikan uang jutaan rupiah untuk advertising agency tempatnya bekerja dan milyaran rupiah untuk klien?
Dalam sebuah meeting dengan klien, salah seorang pemegang tampuk pimpinan berkata “udahlah… produk bagus jelek itu kan soal persepsi”. Atau di lain kesempatan, seorang pemilik sebuah brand terkemuka berkata “Tulis aja gratis yang besar. Masalah gratisnya gimana, taruh di bawah kecil-kecil. Kalau perlu gak usah kelihatan. Gitu dong! Gimana sih nih kreatifnya? Gak ngerti bisnis. Yang penting kan konsumen ketangkep dulu!”
Saya, anak kreatif, ada di ruangan itu. Dan terdiam. Saya berpikir, mengapa saya harus ada dalam ruangan ini? Saya tidak ingin memberikan persepsi yang keliru kepada konsumen. Karena bukankah konsumen itu adalah ibu dan ayah saya sendiri? Teman dekat saya. Pacar saya. Tegakah saya membohongi dan menyiasati mereka. Dan di atas segalanya, konsumen adalah saya sendiri. Dan bukankah klien konsumen juga?
Lupakah kita, bahwa semakin hari orang semakin membenci iklan karena mengganggu acara sinetron mereka? Lupakah kita bahwa semakin banyak teman dan sahabat dan keluarga kita yang menyadari bahwa iklan tak lebih dari sekedar kebohongan. Saya semakin yakin, hanya orang iklan dan klien yang menantikan dan menikmati iklan.
“Dasar anak kreatif! Taunya komplen muluk! Sok idealis banget sih! Ini cuma advertising, gak akan yang mati, tau!”
Ucapan seorang guru advertising di sebuah restoran Padang berikut, bisa jadi sedikit memberikan harapan baru bagi kita. “advertising bukanlah soal 30 atau 50 orang dalam sebuah advertising agency dan klien yang kemudian berbicara untuk 250 juta lebih penduduk Indonesia. Tapi soal saya dan kamu. Soal saya dan ibu saya. Soal kamu dan pacar terakhir kamu”. Sedekat itu. Sesederhana itu. Serumit itu.
Media-media konvensional seperti tv, print, radio dan lainnya semakin lama semakin ‘penuh’. Kita bahkan tidak lagi bisa melihat perbedaan antara iklan yang satu dengan iklan yang lain. Semua menggambarkan orang bertubuh ideal tersenyum lebar. Semua menampilkan sosok keluarga bahagia. Semua memberikan mimpi hidup ideal.
Saya ingat, di sebuah harian umum nasional terkemuka seminggu sesudah bencana tsunami di Indonesia, memasang foto-foto memilukan hati. Anak kecil yang sudah meninggal dunia sedang digendong ibunya yang
sedang menangis histeris. Ada foto seorang pria yang kehilangan kakinya. Lukanya menganga dengan darah basah mengalir deras. Dan tebak, di bagian bawah foto-foto itu... iklan malam tahun baru oleh sebuah hotel berbintang lima. Headlinenya: "Embrace The Blasting New Year!"
“Nah itu tugas kreatif dong! Gimana caranya biar tampil beda tapi tetep sensitif. Ya gak? Kalau gak mah ngapain gue bayar kreatif? Gue bikin aja iklannya sendiri!”
Seperti pengobatan alternatif, belakangan banyak dibahas soal media alternatif. Apa itu media alternatif? Menurut saya, ya… media-media lain di luar media konvensional seperti tv, print, radio, billboard dan lainnya. Bisa jadi ambient media, seperti yang ditulis di edisi sebelumnya, direct mail (yang dikirim ke alamat anda), viral (yang lewat internet), happening art (yang drama-drama di tempat umum), roadshow (yang keliling-keliling dari satu kota ke kota lain, kampus ke kampus lain, dan lain-lain), activation (yang lagi happening!) dan masih banyak kemungkinan lainnya.
Saya sendiri hampir gak pernah beruntung untuk bisa banyak bikin media alternatif. TV, print, radio masih jadi primadona. Media alternatif jarang digarap dengan serius bahkan oleh orang iklannya sendiri. Contohnya, anak kreatif akan lebih senang dan antusias untuk bikin print ad ketimbang leaflet sampling. Lebih seru bikin tvc ketimbang design booth untuk roadshow. Semua yang gak seru dilempar (dibuang?) ke studio. Dianggap gak penting.
“Tuh kan bener! Emang anak kreatif tuh manja banget! Maunya cuma menang award doang. Pas kerja yang beneran, gak pernah serius!”
Memang kalau saya mau bertahan jadi ‘anak kreatif’ di bisnis iklan. Masih banyak yang harus dipelajari dan dibenahi sendiri dulu. Masih banyak kekurangan dan kelemahan. Semoga lah!
“Semoga muluk! Kapan dong, kapaaan! Pabrik gue keburu tutup, tau!”
Ampun.
Dalam sebuah meeting dengan klien, salah seorang pemegang tampuk pimpinan berkata “udahlah… produk bagus jelek itu kan soal persepsi”. Atau di lain kesempatan, seorang pemilik sebuah brand terkemuka berkata “Tulis aja gratis yang besar. Masalah gratisnya gimana, taruh di bawah kecil-kecil. Kalau perlu gak usah kelihatan. Gitu dong! Gimana sih nih kreatifnya? Gak ngerti bisnis. Yang penting kan konsumen ketangkep dulu!”
Saya, anak kreatif, ada di ruangan itu. Dan terdiam. Saya berpikir, mengapa saya harus ada dalam ruangan ini? Saya tidak ingin memberikan persepsi yang keliru kepada konsumen. Karena bukankah konsumen itu adalah ibu dan ayah saya sendiri? Teman dekat saya. Pacar saya. Tegakah saya membohongi dan menyiasati mereka. Dan di atas segalanya, konsumen adalah saya sendiri. Dan bukankah klien konsumen juga?
Lupakah kita, bahwa semakin hari orang semakin membenci iklan karena mengganggu acara sinetron mereka? Lupakah kita bahwa semakin banyak teman dan sahabat dan keluarga kita yang menyadari bahwa iklan tak lebih dari sekedar kebohongan. Saya semakin yakin, hanya orang iklan dan klien yang menantikan dan menikmati iklan.
“Dasar anak kreatif! Taunya komplen muluk! Sok idealis banget sih! Ini cuma advertising, gak akan yang mati, tau!”
Ucapan seorang guru advertising di sebuah restoran Padang berikut, bisa jadi sedikit memberikan harapan baru bagi kita. “advertising bukanlah soal 30 atau 50 orang dalam sebuah advertising agency dan klien yang kemudian berbicara untuk 250 juta lebih penduduk Indonesia. Tapi soal saya dan kamu. Soal saya dan ibu saya. Soal kamu dan pacar terakhir kamu”. Sedekat itu. Sesederhana itu. Serumit itu.
Media-media konvensional seperti tv, print, radio dan lainnya semakin lama semakin ‘penuh’. Kita bahkan tidak lagi bisa melihat perbedaan antara iklan yang satu dengan iklan yang lain. Semua menggambarkan orang bertubuh ideal tersenyum lebar. Semua menampilkan sosok keluarga bahagia. Semua memberikan mimpi hidup ideal.
Saya ingat, di sebuah harian umum nasional terkemuka seminggu sesudah bencana tsunami di Indonesia, memasang foto-foto memilukan hati. Anak kecil yang sudah meninggal dunia sedang digendong ibunya yang
sedang menangis histeris. Ada foto seorang pria yang kehilangan kakinya. Lukanya menganga dengan darah basah mengalir deras. Dan tebak, di bagian bawah foto-foto itu... iklan malam tahun baru oleh sebuah hotel berbintang lima. Headlinenya: "Embrace The Blasting New Year!"
“Nah itu tugas kreatif dong! Gimana caranya biar tampil beda tapi tetep sensitif. Ya gak? Kalau gak mah ngapain gue bayar kreatif? Gue bikin aja iklannya sendiri!”
Seperti pengobatan alternatif, belakangan banyak dibahas soal media alternatif. Apa itu media alternatif? Menurut saya, ya… media-media lain di luar media konvensional seperti tv, print, radio, billboard dan lainnya. Bisa jadi ambient media, seperti yang ditulis di edisi sebelumnya, direct mail (yang dikirim ke alamat anda), viral (yang lewat internet), happening art (yang drama-drama di tempat umum), roadshow (yang keliling-keliling dari satu kota ke kota lain, kampus ke kampus lain, dan lain-lain), activation (yang lagi happening!) dan masih banyak kemungkinan lainnya.
Saya sendiri hampir gak pernah beruntung untuk bisa banyak bikin media alternatif. TV, print, radio masih jadi primadona. Media alternatif jarang digarap dengan serius bahkan oleh orang iklannya sendiri. Contohnya, anak kreatif akan lebih senang dan antusias untuk bikin print ad ketimbang leaflet sampling. Lebih seru bikin tvc ketimbang design booth untuk roadshow. Semua yang gak seru dilempar (dibuang?) ke studio. Dianggap gak penting.
“Tuh kan bener! Emang anak kreatif tuh manja banget! Maunya cuma menang award doang. Pas kerja yang beneran, gak pernah serius!”
Memang kalau saya mau bertahan jadi ‘anak kreatif’ di bisnis iklan. Masih banyak yang harus dipelajari dan dibenahi sendiri dulu. Masih banyak kekurangan dan kelemahan. Semoga lah!
“Semoga muluk! Kapan dong, kapaaan! Pabrik gue keburu tutup, tau!”
Ampun.
Monday, June 19, 2006
Wong Bantul Tetep Sugih Ugo Tanpo Bandha
(Orang Bantul Tetep Kaya Meski Tanpa Harta)
"Mas mangan mas... ngombe yo..
tapi saiki cuma air putih..." kata Parjinah
di depan rumahnya yang sekarang rata sama tanah.
"Matur nuwun mbok..." saya menjawab
sambil mengambil biskuit sumbangan dari Jakarta
dan mengambil air putih gelasan.
Sambil makan biskuit saya tak berani menatap wajahnya.
Sudah lama yang di dalam sini tidak disentuh seperti ini.
Bagaimana mungkin, di tengah ketiadaannya
orang masih berniat untuk berbagi.
Berniat menjamu dan menyenangkan orang lain.
Orang dari Jakarta seperti saya
yang baru dikenalnya 5 menit.
Orang dari Jakarta yang malamnya
menginap di hotel bintang lima Jogja.
Orang dari Jakarta yang saat hujan
dan panas terlindung kesegaran AC,
tidak pernah kekurangan makan minum.
Seketika saya jijik sama diri sendiri.
Saya merasa begitu rendah.
Tidak bersyukur dan selalu meminta.
Hampir tidak pernah saya berniat berbagi.
Semua untuk saya. Dan saya sendiri.
Kalau perlu menang piala dan penghargaan.
Supaya saya diakui. Dihargai.
Mbak Parjinah mengajarkan pada saya
kebahagiaan memberi.
Karena hidup ini adalah sementara.
Kita tidak pernah tahu kapan Dia memanggil.
"Iki mas Yanto mas, anakku.
Kakaknya meninggal kemaren gempa padahal wes kerja..."
kata Ibu Sumiati dengan wajah yang terlalu biasa
untuk seorang ibu yang baru kehilangan anaknya.
Suaranya sempat serak sebentar tapi kemudian tersenyum
sambil memperkenalkan anaknya yang
masih memakai seragam SMA.
"Baru pulang sekolah?" tanya saya.
"Lagi gak sekolah mas. Belum punya baju ganti jadi pake seragam" jawab Yanto.
Lagi lagi saya tak berani menatap Ibu Sumiati.
Saya langsung merasa jadi orang paling lemah sedunia.
Bagaimana sedikit saja gangguan dan cobaan dalam hidup,
saya langsung marah-marah, kecewa, putus asa
dan kalau bisa menyalahkan orang lain.
Pagi itu, saya dan tim kembali ke Bantul.
Matahari baru keliatan sebagian.
Udara luar lebih dingin dari AC di mobil.
Turun dari mobil saya langsung mengunjungi
teman baru saya, Alianti.
Alianti baru berumur 6 bulan.
Rupanya Ia sudah bangun dan lagi disuapi bubur susu SUN.
Ayahnya bekerja di Indofood bagian distribusi.
Kenapa Alianti teman baru saya?
Karena kemaren Alianti mengambil biskuit dari tangan saya
dan memasukkan ke dalam mulutnya.
Ketika saya hendak menggendongnya,
tiba-tiba bumi bergetar sesaat diiringi suara kentongan pertanda gempa.
Alianti menangis karena suara keramaian.
Pagi itu Alianti mengenakan topi kotak kotak dan kaos putih.
Ia tampak curiga menatap saya.
Saya mendekatinya.
Dan tiba tiba kedua tangannya terbuka minta digendong.
Dan hup! Seketika Alianti dalam gendongan saya.
"Selamat Ulang Tahun, Glenn!"
Saya anggap itulah yang Alianti hendak sampaikan kepada saya.
Pipinya saya cium cium sampe berbunyi seperti sapi.
Alianti tertawa menghangati pagi itu.
Dalam perjalanan balik ke rumah Mas Butet,
saya melihat spanduk besar bertuliskan:
Wong Bantul Tetep Sugih Ugo Tanpo Bandha.
Luki menjelaskan artinya sambil mengajarkan
cara pelafalan kata bandha.
Saya ingin mengucapkan kalimat ini dengan benar.
Karena apa yang tertulis memang benar adanya.
http://glennmarsalim.multiply.com/photos/album/36
"Mas mangan mas... ngombe yo..
tapi saiki cuma air putih..." kata Parjinah
di depan rumahnya yang sekarang rata sama tanah.
"Matur nuwun mbok..." saya menjawab
sambil mengambil biskuit sumbangan dari Jakarta
dan mengambil air putih gelasan.
Sambil makan biskuit saya tak berani menatap wajahnya.
Sudah lama yang di dalam sini tidak disentuh seperti ini.
Bagaimana mungkin, di tengah ketiadaannya
orang masih berniat untuk berbagi.
Berniat menjamu dan menyenangkan orang lain.
Orang dari Jakarta seperti saya
yang baru dikenalnya 5 menit.
Orang dari Jakarta yang malamnya
menginap di hotel bintang lima Jogja.
Orang dari Jakarta yang saat hujan
dan panas terlindung kesegaran AC,
tidak pernah kekurangan makan minum.
Seketika saya jijik sama diri sendiri.
Saya merasa begitu rendah.
Tidak bersyukur dan selalu meminta.
Hampir tidak pernah saya berniat berbagi.
Semua untuk saya. Dan saya sendiri.
Kalau perlu menang piala dan penghargaan.
Supaya saya diakui. Dihargai.
Mbak Parjinah mengajarkan pada saya
kebahagiaan memberi.
Karena hidup ini adalah sementara.
Kita tidak pernah tahu kapan Dia memanggil.
"Iki mas Yanto mas, anakku.
Kakaknya meninggal kemaren gempa padahal wes kerja..."
kata Ibu Sumiati dengan wajah yang terlalu biasa
untuk seorang ibu yang baru kehilangan anaknya.
Suaranya sempat serak sebentar tapi kemudian tersenyum
sambil memperkenalkan anaknya yang
masih memakai seragam SMA.
"Baru pulang sekolah?" tanya saya.
"Lagi gak sekolah mas. Belum punya baju ganti jadi pake seragam" jawab Yanto.
Lagi lagi saya tak berani menatap Ibu Sumiati.
Saya langsung merasa jadi orang paling lemah sedunia.
Bagaimana sedikit saja gangguan dan cobaan dalam hidup,
saya langsung marah-marah, kecewa, putus asa
dan kalau bisa menyalahkan orang lain.
Pagi itu, saya dan tim kembali ke Bantul.
Matahari baru keliatan sebagian.
Udara luar lebih dingin dari AC di mobil.
Turun dari mobil saya langsung mengunjungi
teman baru saya, Alianti.
Alianti baru berumur 6 bulan.
Rupanya Ia sudah bangun dan lagi disuapi bubur susu SUN.
Ayahnya bekerja di Indofood bagian distribusi.
Kenapa Alianti teman baru saya?
Karena kemaren Alianti mengambil biskuit dari tangan saya
dan memasukkan ke dalam mulutnya.
Ketika saya hendak menggendongnya,
tiba-tiba bumi bergetar sesaat diiringi suara kentongan pertanda gempa.
Alianti menangis karena suara keramaian.
Pagi itu Alianti mengenakan topi kotak kotak dan kaos putih.
Ia tampak curiga menatap saya.
Saya mendekatinya.
Dan tiba tiba kedua tangannya terbuka minta digendong.
Dan hup! Seketika Alianti dalam gendongan saya.
"Selamat Ulang Tahun, Glenn!"
Saya anggap itulah yang Alianti hendak sampaikan kepada saya.
Pipinya saya cium cium sampe berbunyi seperti sapi.
Alianti tertawa menghangati pagi itu.
Dalam perjalanan balik ke rumah Mas Butet,
saya melihat spanduk besar bertuliskan:
Wong Bantul Tetep Sugih Ugo Tanpo Bandha.
Luki menjelaskan artinya sambil mengajarkan
cara pelafalan kata bandha.
Saya ingin mengucapkan kalimat ini dengan benar.
Karena apa yang tertulis memang benar adanya.
http://glennmarsalim.multiply.com/photos/album/36
Monday, June 05, 2006
Amigos Para Siempre - You Will Always Be My Friend
Setelah iklan Clue kedua dipasang di multiply gue,
devianart Cecil dan Yuli, banyak pendapat yang masuk.
Seperti yang sudah diduga, perbandingan itu pun terjadi.
Ada yang suka sama seri iklan Clue pertama.
Ada yang suka sama seri iklan Clue kedua.
Semua saran, kritikan dan masukan tiba-tiba kami rasakan
seperti berkah. Kayak belajar. Gratis.
Terima kasih buat semua dan jangan pernah bosan
untuk memberi masukan kritikan saran buat kami.
Semakin tajam, semakin seru.
Karena kami jadi makin belajar.
Jauh lebih berguna ketimbang suatu hari menang awards.
Sekarang, kami hendak memberikan sedikit gambaran
apa yang sebenarnya hendak kami lakukan.
Apa yang hendak kami jalani.
Sehingga hasilnya seperti yang kita lihat sekarang.
Kalau ingat, Clue pertama dibuat ketika Cecil dan Yuli baru lulus.
Mereka masih muda dan hijau. Lagi seger-segernya.
Dan mereka dianugerahi Tuhan dengan talenta menggambar.
Bukan cuma menggambar, tapi menggambar dengan hati.
Lugu, polos, ekspresif, berwarna-warni.
Anti kemapanan. Semua aturan dipertanyakan.
Bahkan logo pun menemukan dirinya ikut digambar.
Inkonsisten. Bergerak mengalir.
Bahkan terbang.
Iklan Clue pertama adalah ekspresi kebebasan mereka.
Setiap tarikan garisnya adalah cerita tentang kebebasan.
Sementara Clue kedua dibuat ketika Cecil dan Yuli sudah bekerja.
Cecil di MACS 909 dan Yuli di DDB Advis.
Satu agency lokal, satunya lagi agency multinasional.
Mereka tumbuh dan berkembang.
Semakin banyak belajar tentang iklan.
Dan semakin memahami bahwa 'melihat ke dalam'
adalah sebuah kelebihan.
Mencari inspirasi dari sekitar. Dari orang-orang yang mereka lihat.
Ketika hendak menunggu busway. Mau nonton.
Makan di pinggir jalan. Mbok jamu. Tukang minyak keliling.
Mencari keindahan diantara keruwetan kota Jakarta.
Untuk dicoba diangkat menjadi iklan cetak.
Sehingga semua orang Jakarta bisa merasa memiliki.
Clue pertama, bule banget.
Clue kedua, Jakarta banget.
Clue pertama, ekspresif banget.
Clue kedua, rapih banget.
Tapi keduanya punya satu kesamaan.
Dikerjakan dengan harapan untuk memberikan hanya yang terbaik
untuk teman-teman semua dan kami sendiri.
Karenanya, jangan pernah meninggalkan kami.
Kritiklah. Beri kami masukan, arahan, saran.
Supaya perjalanan kami mencari iklan Indonesia di tengah dunia,
menjadi milik kita semua.
Amigos Para Siempre
devianart Cecil dan Yuli, banyak pendapat yang masuk.
Seperti yang sudah diduga, perbandingan itu pun terjadi.
Ada yang suka sama seri iklan Clue pertama.
Ada yang suka sama seri iklan Clue kedua.
Semua saran, kritikan dan masukan tiba-tiba kami rasakan
seperti berkah. Kayak belajar. Gratis.
Terima kasih buat semua dan jangan pernah bosan
untuk memberi masukan kritikan saran buat kami.
Semakin tajam, semakin seru.
Karena kami jadi makin belajar.
Jauh lebih berguna ketimbang suatu hari menang awards.
Sekarang, kami hendak memberikan sedikit gambaran
apa yang sebenarnya hendak kami lakukan.
Apa yang hendak kami jalani.
Sehingga hasilnya seperti yang kita lihat sekarang.
Kalau ingat, Clue pertama dibuat ketika Cecil dan Yuli baru lulus.
Mereka masih muda dan hijau. Lagi seger-segernya.
Dan mereka dianugerahi Tuhan dengan talenta menggambar.
Bukan cuma menggambar, tapi menggambar dengan hati.
Lugu, polos, ekspresif, berwarna-warni.
Anti kemapanan. Semua aturan dipertanyakan.
Bahkan logo pun menemukan dirinya ikut digambar.
Inkonsisten. Bergerak mengalir.
Bahkan terbang.
Iklan Clue pertama adalah ekspresi kebebasan mereka.
Setiap tarikan garisnya adalah cerita tentang kebebasan.
Sementara Clue kedua dibuat ketika Cecil dan Yuli sudah bekerja.
Cecil di MACS 909 dan Yuli di DDB Advis.
Satu agency lokal, satunya lagi agency multinasional.
Mereka tumbuh dan berkembang.
Semakin banyak belajar tentang iklan.
Dan semakin memahami bahwa 'melihat ke dalam'
adalah sebuah kelebihan.
Mencari inspirasi dari sekitar. Dari orang-orang yang mereka lihat.
Ketika hendak menunggu busway. Mau nonton.
Makan di pinggir jalan. Mbok jamu. Tukang minyak keliling.
Mencari keindahan diantara keruwetan kota Jakarta.
Untuk dicoba diangkat menjadi iklan cetak.
Sehingga semua orang Jakarta bisa merasa memiliki.
Clue pertama, bule banget.
Clue kedua, Jakarta banget.
Clue pertama, ekspresif banget.
Clue kedua, rapih banget.
Tapi keduanya punya satu kesamaan.
Dikerjakan dengan harapan untuk memberikan hanya yang terbaik
untuk teman-teman semua dan kami sendiri.
Karenanya, jangan pernah meninggalkan kami.
Kritiklah. Beri kami masukan, arahan, saran.
Supaya perjalanan kami mencari iklan Indonesia di tengah dunia,
menjadi milik kita semua.
Amigos Para Siempre
Wednesday, May 31, 2006
Saturday, May 20, 2006
A Clue To A New Clue
Dua minggu Cecil sakit cacar air.
Juli lagi sibuk dengan urusan kantornya.
Dan gue sibuk bantuin agency pitching.
Sementara waktu gak mau berhenti.
Tau-tau udah pertengahan Mei.
Kalau mau ikut CP atau Pinasthika,
iklan harus udah tayang sebelum Juni.
Benar-benar melegakan waktu untuk kedua kalinya
kita review iklan Clue yang baru.
Semua seperti yang kita harapkan.
Efek detail memang masih kurang di sana-sini.
Tapi mood, bau dan bahasa tubuh kota Jakarta sudah mulai tercium.
Ekspresi masih ancur total.
Tapi sepertinya Cecil dan Juli juga sudah menyadarinya.
Memang kali ini, kami jauh lebih ambisius dari kerjaan sebelumnya.
Tetap menggunakan ketrampilan tangan menggambar.
Tapi semua yang tadinya tidak terlihat bahkan terbuang di kota Jakarta
hendak kami angkat dan kami tampilkan dengan cara tersendiri.
Sesuatu yang begitu dekat, begitu sehari-hari, begitu detail sampai ke
bagian-bagian yang dilupakan oleh mata.
"Jakarta banget!" kata teman-teman yang pernah melihatnya.
Persis! Memang ekspresi itulah yang kami harapkan.
Majalah gratis CLUE memang majalah yang membahas
segala sesuatu yang sedang nge-trend di kota Jakarta.
Ingin rasanya, untuk sekali dalam hidup,
menampilkan apa yang selama ini telah membesarkan kami.
Apa yang selama ini telah menaungi kami.
Tribut untuk Kota Jakarta.
Insya Allah. Insya Allah.
Sementara Widarto lagi bantuin kita foto-foto,
iklan Clue yang baru lagi dibenerin.
Doain kita ya teman-teman!
BTW, Iklan Coffee Club akhirnya bisa tayang!
Alhamdullilah...
Juli lagi sibuk dengan urusan kantornya.
Dan gue sibuk bantuin agency pitching.
Sementara waktu gak mau berhenti.
Tau-tau udah pertengahan Mei.
Kalau mau ikut CP atau Pinasthika,
iklan harus udah tayang sebelum Juni.
Benar-benar melegakan waktu untuk kedua kalinya
kita review iklan Clue yang baru.
Semua seperti yang kita harapkan.
Efek detail memang masih kurang di sana-sini.
Tapi mood, bau dan bahasa tubuh kota Jakarta sudah mulai tercium.
Ekspresi masih ancur total.
Tapi sepertinya Cecil dan Juli juga sudah menyadarinya.
Memang kali ini, kami jauh lebih ambisius dari kerjaan sebelumnya.
Tetap menggunakan ketrampilan tangan menggambar.
Tapi semua yang tadinya tidak terlihat bahkan terbuang di kota Jakarta
hendak kami angkat dan kami tampilkan dengan cara tersendiri.
Sesuatu yang begitu dekat, begitu sehari-hari, begitu detail sampai ke
bagian-bagian yang dilupakan oleh mata.
"Jakarta banget!" kata teman-teman yang pernah melihatnya.
Persis! Memang ekspresi itulah yang kami harapkan.
Majalah gratis CLUE memang majalah yang membahas
segala sesuatu yang sedang nge-trend di kota Jakarta.
Ingin rasanya, untuk sekali dalam hidup,
menampilkan apa yang selama ini telah membesarkan kami.
Apa yang selama ini telah menaungi kami.
Tribut untuk Kota Jakarta.
Insya Allah. Insya Allah.
Sementara Widarto lagi bantuin kita foto-foto,
iklan Clue yang baru lagi dibenerin.
Doain kita ya teman-teman!
BTW, Iklan Coffee Club akhirnya bisa tayang!
Alhamdullilah...
Thursday, May 11, 2006
Semua Orang itu Goblok
Buat mahasiswa DKV, dosen itu goblok.
Gak ngerti iklan. Ketinggalan zaman. Pikirannya tertutup.
Buat dosen, mahasiswa yang goblok.
Gak tau tujuan hidupnya. Lamban nangkep materi. Pemalas.
Buat orang iklan, dosen dan mahasiswa sama gobloknya.
Gak ngerti perkembangan iklan. Materinya gak relevan. Gak siap pakai.
Buat klien, orang iklan itu goblok.
Gak ngerti bisnis. Taunya cuma bikin iklan. Buta strategy.
Buat orang iklan, klien yang goblok.
Gak tau maunya apa. Plin plan. Gak punya visi.
Buat konsumen, klien dan orang iklan sama gobloknya.
Bikin iklan kok jelek. Gak menarik. Begadang muluk tapi miskin.
Berarti di dunia ini, tidak ada orang yang pandai.
Semua orang goblok.
Kalau ada yang memuji "Anda pandai!"
Jangan percaya. Karena semua orang itu goblok.
Kalau ada orang yang mengaku dirinya pintar.
jangan percaya juga.
Karena itu pasti dia terlalu goblok
untuk menyadari kegoblokannya.
Gak ngerti iklan. Ketinggalan zaman. Pikirannya tertutup.
Buat dosen, mahasiswa yang goblok.
Gak tau tujuan hidupnya. Lamban nangkep materi. Pemalas.
Buat orang iklan, dosen dan mahasiswa sama gobloknya.
Gak ngerti perkembangan iklan. Materinya gak relevan. Gak siap pakai.
Buat klien, orang iklan itu goblok.
Gak ngerti bisnis. Taunya cuma bikin iklan. Buta strategy.
Buat orang iklan, klien yang goblok.
Gak tau maunya apa. Plin plan. Gak punya visi.
Buat konsumen, klien dan orang iklan sama gobloknya.
Bikin iklan kok jelek. Gak menarik. Begadang muluk tapi miskin.
Berarti di dunia ini, tidak ada orang yang pandai.
Semua orang goblok.
Kalau ada yang memuji "Anda pandai!"
Jangan percaya. Karena semua orang itu goblok.
Kalau ada orang yang mengaku dirinya pintar.
jangan percaya juga.
Karena itu pasti dia terlalu goblok
untuk menyadari kegoblokannya.
Monday, May 08, 2006
Buang-buang Uang dan Waktu Cara Iklan
Seorang teman make up artist pernah berceloteh dengan genitnya:
"Bo... kalau gue make up-in penganten, gue dibayar 10-15 juta sehari.
Gue dateng pagi, make up-in dua jam. Abis itu gue tidur.
Terus sorenya, gue temuin lagi pengantennya,
touch up sana sini, ganti dikit-dikit sana sini.
Selesai.
Nah, sekarang loe bayangin deh, malamnya,
semua make up gue itu kan dihapus buang ke tong sampah
bersama kapas-kapas.
Berarti 10-15 juta yang dikasih ke gue
nilainya gak lebih dari 12 jam selama pesta pernikahan itu doang?!"
Sekarang, coba kalau kita pikirkan dengan dunia iklan.
Untuk bikin sebuah TVC 30" kita butuh kurang lebih sebulan sampai 3 bulan.
Idealnya, ngegarap konsep sampai jadi storyboard, 2 minggu.
Terus present ke klien, bolak balik revisi, 3 minggu.
Terus FGD, kurang lebih 2 minggu lagi.
Terus preparation shooting, shooting, offline, online, 2 minggu lagi.
Total 12 minggu. 3 bulan lah.
3 bulan untuk sebuah tvc 30 detik!
Syukur kalau memang iklannya menarik dan produknya bagus.
Kalau enggak?
3 bulan waktu, tenaga dan uang senilai milyaran rupiah, terbuang sia-sia.
Sama seperti kapas penghapus make up.
"Makanya bikin iklan yang bagus dong!
Yang umurnya panjang dan bisa ngedongkrak sales
selama 30 tahun! Loe kan yang orang iklan!"
Mungkin begitu garis besarnya kata orang.
Tanpa bermaksud membela diri,
konsumen kita semakin lama semakin pinter.
Semakin tahu kalau iklan gak lebih dari sekedar informasi dan hiburan.
Tak lebih dari sekedar pengganggu saat mereka nonton sinetron kegemaran mereka.
Dan, konsumen berhak dan akan selamanya memilih
apa yang mereka mau dengar, lihat, rasa dan pahami.
Bagaimana kalau memang produknya yang memang gak bagus?
Produknya yang memang gak sesuai kebutuhan?
Mau satu trilyun sekalipun uang dihamburkan untuk iklan,
bisa dipastikan akan terbuang sia-sia.
Terkadang sebagai orang iklan,
hanya bisa menelan ludah ketika menyadari bahwa produk
atau apapun yang hendak diiklankan, tidak ada nilainya.
Tidak ada kelebihannya. Dan yang terparah, tidak ada kebutuhannya.
Bagaimana mau menjelaskan ke klien?
Mungkinkah saya mengatakan "duh maaf, kayaknya produk loe
gak akan laku deh?"
Sebelum saya selesai menjelaskan bisa jadi klien udah cari agency lain.
Jelas, karena klien sudah investasi.
Mendatangkan mesin dari Cina untuk memproduksinya.
Membayar milayaran untuk desain packaging dari desainer kelas dunia.
Semua siap, tinggal diiklanin.
Memang, tidak ada yang bisa ditebak hari begini.
Yang kita kira akan gagal ternyata sukses. Demikian sebaliknya.
Kalau begitu mengapa tidak kita memulainya dengan sederhana.
Bisa dengan promo-promo kecil bekerjasama dengan merek lain.
Atau dengan menyebarkan sampling kecil-kecilan di berbagai tempat.
Sehingga kita bisa mengetahui kesiapan dan penerimaan konsumen
terhadap produk baru kita.
Saya bukan orang yang terlalu ngefans sama FGD.
Banyak produk yang ketika di FGD memberikan hasil positif.
Tapi ketika benar2 diluncurkan, hasilnya tidak memuaskan.
Saya pikir karena semua orang akan menjadi orang lain.
Ketika di depannya disodorkan microphone,
di ruang kecil dengan 20 orang lain.
Dan merasa sedang diperhatikan oleh orang lain
di balik kaca satu arah.
Kalau kita pikir, banyak merek-merek yang berjaya
tanpa menghamburkan milyaran rupiah di iklan.
J.Co, Roti Boy, Breadtalk, Bakmi Gajah Mada,
Gado-gado Boplo... Kok makanan semua?
OK... bagaimana dengan Bin House, sendal jepit Swallow,
lem Aica Aibon, Retsleting YKK, Mak Erot, dan lain-lain.
Kalau kita perhatikan, merek-merek di atas punya satu kesamaan.
Produk mereka memang bagus, dan... sesuai dengan kebutuhan konsumen.
Menjawab keinginan konsumen.
Di tengah keadaan krisis seperti sekarang,
sepertinya usaha untuk semakin memahami konsumen dan
menekan ego untuk buru-buru untung dan kaya raya menjadi pilihan terbaik.
Sayangilah dan bertemanlah dengan konsumen.
Berikan hanya yang terbaik.
Jangan membohongi apalagi menyiasati konsumen.
Dan semakin hari konsumen semakin pintar
dan tidak bisa dibohongi lagi.
Seorang pernah berkata,
kalau kamu orang iklan atau marketer canggih,
kamu bahkan bisa menjual seonggok batu kali.
Seharga jutaan rupiah.
Pertanyaannya sekarang,
apakah kita mau menjual batu itu
ke ibu kita, ke kakak kita, ke pacar kita, ke anak kita,
ke saudara kita?
Atau maukah kita membeli batu itu untuk diri kita sendiri?
"Bo... kalau gue make up-in penganten, gue dibayar 10-15 juta sehari.
Gue dateng pagi, make up-in dua jam. Abis itu gue tidur.
Terus sorenya, gue temuin lagi pengantennya,
touch up sana sini, ganti dikit-dikit sana sini.
Selesai.
Nah, sekarang loe bayangin deh, malamnya,
semua make up gue itu kan dihapus buang ke tong sampah
bersama kapas-kapas.
Berarti 10-15 juta yang dikasih ke gue
nilainya gak lebih dari 12 jam selama pesta pernikahan itu doang?!"
Sekarang, coba kalau kita pikirkan dengan dunia iklan.
Untuk bikin sebuah TVC 30" kita butuh kurang lebih sebulan sampai 3 bulan.
Idealnya, ngegarap konsep sampai jadi storyboard, 2 minggu.
Terus present ke klien, bolak balik revisi, 3 minggu.
Terus FGD, kurang lebih 2 minggu lagi.
Terus preparation shooting, shooting, offline, online, 2 minggu lagi.
Total 12 minggu. 3 bulan lah.
3 bulan untuk sebuah tvc 30 detik!
Syukur kalau memang iklannya menarik dan produknya bagus.
Kalau enggak?
3 bulan waktu, tenaga dan uang senilai milyaran rupiah, terbuang sia-sia.
Sama seperti kapas penghapus make up.
"Makanya bikin iklan yang bagus dong!
Yang umurnya panjang dan bisa ngedongkrak sales
selama 30 tahun! Loe kan yang orang iklan!"
Mungkin begitu garis besarnya kata orang.
Tanpa bermaksud membela diri,
konsumen kita semakin lama semakin pinter.
Semakin tahu kalau iklan gak lebih dari sekedar informasi dan hiburan.
Tak lebih dari sekedar pengganggu saat mereka nonton sinetron kegemaran mereka.
Dan, konsumen berhak dan akan selamanya memilih
apa yang mereka mau dengar, lihat, rasa dan pahami.
Bagaimana kalau memang produknya yang memang gak bagus?
Produknya yang memang gak sesuai kebutuhan?
Mau satu trilyun sekalipun uang dihamburkan untuk iklan,
bisa dipastikan akan terbuang sia-sia.
Terkadang sebagai orang iklan,
hanya bisa menelan ludah ketika menyadari bahwa produk
atau apapun yang hendak diiklankan, tidak ada nilainya.
Tidak ada kelebihannya. Dan yang terparah, tidak ada kebutuhannya.
Bagaimana mau menjelaskan ke klien?
Mungkinkah saya mengatakan "duh maaf, kayaknya produk loe
gak akan laku deh?"
Sebelum saya selesai menjelaskan bisa jadi klien udah cari agency lain.
Jelas, karena klien sudah investasi.
Mendatangkan mesin dari Cina untuk memproduksinya.
Membayar milayaran untuk desain packaging dari desainer kelas dunia.
Semua siap, tinggal diiklanin.
Memang, tidak ada yang bisa ditebak hari begini.
Yang kita kira akan gagal ternyata sukses. Demikian sebaliknya.
Kalau begitu mengapa tidak kita memulainya dengan sederhana.
Bisa dengan promo-promo kecil bekerjasama dengan merek lain.
Atau dengan menyebarkan sampling kecil-kecilan di berbagai tempat.
Sehingga kita bisa mengetahui kesiapan dan penerimaan konsumen
terhadap produk baru kita.
Saya bukan orang yang terlalu ngefans sama FGD.
Banyak produk yang ketika di FGD memberikan hasil positif.
Tapi ketika benar2 diluncurkan, hasilnya tidak memuaskan.
Saya pikir karena semua orang akan menjadi orang lain.
Ketika di depannya disodorkan microphone,
di ruang kecil dengan 20 orang lain.
Dan merasa sedang diperhatikan oleh orang lain
di balik kaca satu arah.
Kalau kita pikir, banyak merek-merek yang berjaya
tanpa menghamburkan milyaran rupiah di iklan.
J.Co, Roti Boy, Breadtalk, Bakmi Gajah Mada,
Gado-gado Boplo... Kok makanan semua?
OK... bagaimana dengan Bin House, sendal jepit Swallow,
lem Aica Aibon, Retsleting YKK, Mak Erot, dan lain-lain.
Kalau kita perhatikan, merek-merek di atas punya satu kesamaan.
Produk mereka memang bagus, dan... sesuai dengan kebutuhan konsumen.
Menjawab keinginan konsumen.
Di tengah keadaan krisis seperti sekarang,
sepertinya usaha untuk semakin memahami konsumen dan
menekan ego untuk buru-buru untung dan kaya raya menjadi pilihan terbaik.
Sayangilah dan bertemanlah dengan konsumen.
Berikan hanya yang terbaik.
Jangan membohongi apalagi menyiasati konsumen.
Dan semakin hari konsumen semakin pintar
dan tidak bisa dibohongi lagi.
Seorang pernah berkata,
kalau kamu orang iklan atau marketer canggih,
kamu bahkan bisa menjual seonggok batu kali.
Seharga jutaan rupiah.
Pertanyaannya sekarang,
apakah kita mau menjual batu itu
ke ibu kita, ke kakak kita, ke pacar kita, ke anak kita,
ke saudara kita?
Atau maukah kita membeli batu itu untuk diri kita sendiri?
Tuesday, April 04, 2006
Surat Terbuka untuk Klien
Kepada temanku tersayang, klien.
Selama ini mungkin Anda kesal, bingung dan marah
kepada saya, agency Anda.
Demikian sebaliknya. Saya juga sering kesal, bingung dan marah
dengan Anda, klien saya.
Karenanya saya menuliskan surat ini kepada Anda.
Sekedar menyampaikan apa yang ada di pikiran dan perasaan saya.
Tentang hubungan kita. Tentang saya dan Anda.
Tentang bagaimana saya ingin
agar hubungan agency dan klien bisa menjadi
layaknya pertemanan.
Teman tidak membohongi,
teman tidak menyakiti,
teman tidak menghina,
teman saling menghargai.
Dan teman saling memahami.
Itulah arti pertemanan di manapun.
Di seluruh dunia. Dari masa ke masa.
Kalau saya teman Anda,
apakah Anda akan meninggalkan saya
karena ada teman lain yang lebih menguntungkan?
Apakah Anda akan mengadu saya
dengan 50 teman lain untuk berteman dengan Anda?
Apakah Anda akan meninggalkan saya
ketika saya sedang kesulitan uang?
Demikian sebaliknya.
Apakah saya akan menipu uang
yang Anda percayakan kepada saya?
Apakah saya akan menelantarkan Anda
karena ada teman lain yang lebih kaya?
Apakah saya menganggap remeh dan
memberikan bukan yang terbaik ketika
Anda sedang kesulitan uang?
Apakah saya akan melupakan Anda
ketika saya sedang bergembira?
Mulai sekarang,
terlebih di saat krisis seperti ini,
Anda bukan lagi klien, pasangan atau mitra bisnis saya lagi.
Tapi Anda adalah teman saya.
Dan izinkan saya untuk menjadi teman Anda.
Sampai waktunya nanti,
Insya Allah, kesetiaan kita sebagai teman
akan memperkaya hidup kita.
Bukan sekedar menjadikan kita kaya.
Salam teman,
Glenn Marsalim
Selama ini mungkin Anda kesal, bingung dan marah
kepada saya, agency Anda.
Demikian sebaliknya. Saya juga sering kesal, bingung dan marah
dengan Anda, klien saya.
Karenanya saya menuliskan surat ini kepada Anda.
Sekedar menyampaikan apa yang ada di pikiran dan perasaan saya.
Tentang hubungan kita. Tentang saya dan Anda.
Tentang bagaimana saya ingin
agar hubungan agency dan klien bisa menjadi
layaknya pertemanan.
Teman tidak membohongi,
teman tidak menyakiti,
teman tidak menghina,
teman saling menghargai.
Dan teman saling memahami.
Itulah arti pertemanan di manapun.
Di seluruh dunia. Dari masa ke masa.
Kalau saya teman Anda,
apakah Anda akan meninggalkan saya
karena ada teman lain yang lebih menguntungkan?
Apakah Anda akan mengadu saya
dengan 50 teman lain untuk berteman dengan Anda?
Apakah Anda akan meninggalkan saya
ketika saya sedang kesulitan uang?
Demikian sebaliknya.
Apakah saya akan menipu uang
yang Anda percayakan kepada saya?
Apakah saya akan menelantarkan Anda
karena ada teman lain yang lebih kaya?
Apakah saya menganggap remeh dan
memberikan bukan yang terbaik ketika
Anda sedang kesulitan uang?
Apakah saya akan melupakan Anda
ketika saya sedang bergembira?
Mulai sekarang,
terlebih di saat krisis seperti ini,
Anda bukan lagi klien, pasangan atau mitra bisnis saya lagi.
Tapi Anda adalah teman saya.
Dan izinkan saya untuk menjadi teman Anda.
Sampai waktunya nanti,
Insya Allah, kesetiaan kita sebagai teman
akan memperkaya hidup kita.
Bukan sekedar menjadikan kita kaya.
Salam teman,
Glenn Marsalim
Monday, April 03, 2006
Foto-foto Ultah Milis CCI dan Cakram Awards
http://glennmarsalim.multiply.com/photos/album/23
http://glennmarsalim.multiply.com/photos/album/24
http://glennmarsalim.multiply.com/photos/album/24
Thursday, March 16, 2006
Speech Dalam Hati
Seandainya,
mami ada bersama saya malam itu,
dia pasti jadi perempuan paling berbahagia di dunia.
Untuk saya,
kepercayaannya pada setiap keputusan yang saya ambil
adalah dukungan terbesar yang Tuhan berikan.
Semoga kemenangan ini bukan untuk saya,
bukan untuk Cecil, bukan untuk Yuli.
Bukan untuk klien, bukan untuk gang Dixie.
Tapi untuk semua semangat di negeri ini.
Semangat untuk memberikan yang terbaik,
semangat untuk terus berkarya
dalam keadaan terburuk sekalipun.
Kemenangan ini untuk semua orang iklan yang selama ini
tersingkirkan dan disingkirkan.
Karena dianggap bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa.
Karena dinilai kecil dan tidak berarti.
Semoga bisa memberikan semangat untuk maju.
Bangga?
Jelas! Gimana enggak. Dipanggil ke atas panggung
bersama nama-nama besar seperti Ogilvy, FCB, LBKI, McCann, dll.
Seneng?
Jelas! Targetnya cuma finalis.
Dikasih ekstra 1 silver dan 1 bronze.
Bener2 di luar dugaan.
Puas?
Belum! Namanya juga manusia.
Melihat foto Jureeporn terima piala Adfest menyemangati banget!
JEH United. Agency lokal. Menang Adfest lawan agency-agency multinasional.
Saya juga mau.
Buat Oom Bud dan Mbak JeHa,
yang cinta dan sayangnya selalu saya rasakan.
Buat Oom Ricky Pesik,
buat pinjeman duitnya. Sabar ya Oom...
Buat Oom Djito Kasilo,
buat pinjeman tip-ex-nya malam-malam.
Buat Alex, Pungky dan Alia dari Clue Magazine.
Buat Irene Ng, Hera Diani, Tertiani Simanjuntak,
Adit, Bain, Ree, Lita, Rangga, Ruri, Rio, Yuli,
Oom Daniel dan tante Sita.
Makasiiiiiih dan zoen pipi kiri dan kanan!
mami ada bersama saya malam itu,
dia pasti jadi perempuan paling berbahagia di dunia.
Untuk saya,
kepercayaannya pada setiap keputusan yang saya ambil
adalah dukungan terbesar yang Tuhan berikan.
Semoga kemenangan ini bukan untuk saya,
bukan untuk Cecil, bukan untuk Yuli.
Bukan untuk klien, bukan untuk gang Dixie.
Tapi untuk semua semangat di negeri ini.
Semangat untuk memberikan yang terbaik,
semangat untuk terus berkarya
dalam keadaan terburuk sekalipun.
Kemenangan ini untuk semua orang iklan yang selama ini
tersingkirkan dan disingkirkan.
Karena dianggap bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa.
Karena dinilai kecil dan tidak berarti.
Semoga bisa memberikan semangat untuk maju.
Bangga?
Jelas! Gimana enggak. Dipanggil ke atas panggung
bersama nama-nama besar seperti Ogilvy, FCB, LBKI, McCann, dll.
Seneng?
Jelas! Targetnya cuma finalis.
Dikasih ekstra 1 silver dan 1 bronze.
Bener2 di luar dugaan.
Puas?
Belum! Namanya juga manusia.
Melihat foto Jureeporn terima piala Adfest menyemangati banget!
JEH United. Agency lokal. Menang Adfest lawan agency-agency multinasional.
Saya juga mau.
Buat Oom Bud dan Mbak JeHa,
yang cinta dan sayangnya selalu saya rasakan.
Buat Oom Ricky Pesik,
buat pinjeman duitnya. Sabar ya Oom...
Buat Oom Djito Kasilo,
buat pinjeman tip-ex-nya malam-malam.
Buat Alex, Pungky dan Alia dari Clue Magazine.
Buat Irene Ng, Hera Diani, Tertiani Simanjuntak,
Adit, Bain, Ree, Lita, Rangga, Ruri, Rio, Yuli,
Oom Daniel dan tante Sita.
Makasiiiiiih dan zoen pipi kiri dan kanan!
Sunday, March 05, 2006
Foto-foto Adoi Advertising Awards 2006
http://glennmarsalim.multiply.com/photos/album/21
http://glennmarsalim.multiply.com/photos/album/22
Buat yang mau foto-foto high ress-nya,
kirim aja email ke glenn_marsalim@yahoo.com
Nanti gue kirimin.
http://glennmarsalim.multiply.com/photos/album/22
Buat yang mau foto-foto high ress-nya,
kirim aja email ke glenn_marsalim@yahoo.com
Nanti gue kirimin.
Wednesday, March 01, 2006
Updated Coffee Club
http://glennmarsalim.multiply.com/photos/album/20
Ini iklan terakhir kami.
Buat Coffee Club.
Inspirasi iklan ini adalah teman-teman dekat
yang selama ini selalu mendengarkan kami.
Keluhan, harapan, impian keinginan dan segalanya.
Sampai kami kehabisan kata-kata.
Budiman Hakim, Ricky Pesik,
Djito Kasilo, Lisette Paula,
Adit, Bain, Ree,
Lita, Rangga, Ruri,
Dita, Dewi,
Victor, semua-semua lah!
Iklannya masih setengah jadi.
Banyak yang masih mesti diberesin.
Terima kasih,
Glenn, Cecil dan Yuli
CREDIT
Glenn Marsalim, Cecillia Hidayat, Juliana,
Widarto Adhi, Hera Diani
Ini iklan terakhir kami.
Buat Coffee Club.
Inspirasi iklan ini adalah teman-teman dekat
yang selama ini selalu mendengarkan kami.
Keluhan, harapan, impian keinginan dan segalanya.
Sampai kami kehabisan kata-kata.
Budiman Hakim, Ricky Pesik,
Djito Kasilo, Lisette Paula,
Adit, Bain, Ree,
Lita, Rangga, Ruri,
Dita, Dewi,
Victor, semua-semua lah!
Iklannya masih setengah jadi.
Banyak yang masih mesti diberesin.
Terima kasih,
Glenn, Cecil dan Yuli
CREDIT
Glenn Marsalim, Cecillia Hidayat, Juliana,
Widarto Adhi, Hera Diani
Sunday, February 19, 2006
Si Glenn Lagi Bingung dan Sibuk
Kenapa ya,
kok sekarang males ketemuan sama orang.
Lebih seneng ketemuan sama kamu.
Males juga ngobrol-ngobrol sama temen.
Apalagi ngomongin soal iklan.
Lebih menikmati kalau bibirnya dipakai untuk yang lain.
Sama kamu.
Tangan dan jari yang selama ini
hanya dipake untuk pegang laptop, pensil dan handphone,
sekarang menemukan fungsi barunya.
Memegang leher kamu.
Mall-mall jadi gak menarik lagi.
Cenderung membosankan.
Lebih seru di apartemen kecil, sambil dengerin CD,
makan malam, dan lilin aromaterapi biar ruangan gak bau.
Sama kamu.
Bolak balik buku iklan kok jadi gak asik lagi ya?
Gila... bisa tiba-tiba gini!
Lebih asik bolak-balik lembaran kehidupan kamu.
Kok bisa ya?
Deadline kenapa jadi gak penting lagi?
Kerjaan jadi gak penting lagi?
Mall jadi gak penting lagi?
Gue jadi gak penting lagi?
Hanya karena kamu.
PS:
Teman-teman... sorry kalau belakangan ini gue sibuk.
kok sekarang males ketemuan sama orang.
Lebih seneng ketemuan sama kamu.
Males juga ngobrol-ngobrol sama temen.
Apalagi ngomongin soal iklan.
Lebih menikmati kalau bibirnya dipakai untuk yang lain.
Sama kamu.
Tangan dan jari yang selama ini
hanya dipake untuk pegang laptop, pensil dan handphone,
sekarang menemukan fungsi barunya.
Memegang leher kamu.
Mall-mall jadi gak menarik lagi.
Cenderung membosankan.
Lebih seru di apartemen kecil, sambil dengerin CD,
makan malam, dan lilin aromaterapi biar ruangan gak bau.
Sama kamu.
Bolak balik buku iklan kok jadi gak asik lagi ya?
Gila... bisa tiba-tiba gini!
Lebih asik bolak-balik lembaran kehidupan kamu.
Kok bisa ya?
Deadline kenapa jadi gak penting lagi?
Kerjaan jadi gak penting lagi?
Mall jadi gak penting lagi?
Gue jadi gak penting lagi?
Hanya karena kamu.
PS:
Teman-teman... sorry kalau belakangan ini gue sibuk.
Tuesday, February 14, 2006
15 Pebruari 2005
Gue inget banget,
sehari sesudah hari kasih sayang tahun lalu,
gue memutuskan untuk keluar dari OgilvyOne.
Persis setahun yang lalu.
Setahun.
Gila... cepet banget waktu lewat.
Di hari ini, gue pengen merayakannya dengan berbagi
apa yang gue rasakan dan pikirkan waktu itu.
Bahkan sampai hari ini.
Gak ada yang istimewa sebenarnya
selain sebuah kata, kemerdekaan.
Gue rindu kemerdekaan.
Merdeka sebagai manusia biasa yang berpikir,
berkehendak dan merasa.
Karena bukankah tidak ada yang benar dan salah di dunia ini?
Semua adalah soal interpretasi.
Benar dan salah.
Hitam dan putih.
Kanan dan kiri.
Atas dan bawah.
Semua tergantung dari mana kita melihatnya.
Dan seandainya kita memutuskan untuk membelenggu
kemerdekaan untuk sekedar mempertahankan hidup,
hidup macam apa yang kita jalani?
Ketika kita memilih untuk memenjarakan
kemerdekaan berpikir, berkehendak dan merasa
hanya untuk memperkaya hidup,
kemiskinan hidupa apa yang akan kita alami?
Dan untuk itu semua, gue benar-benar diberkahi Tuhan.
Gue sendirian menjalani kemerdekaan ini.
Gak perlu mikirin susu untuk anak.
Gak perlu deg-degan karena dapur mampet.
"Emang loe gak pikirin soal masa depan?"
kata seorang teman dekat gue.
"Ah kalau masa depan mesti gue pikirin sekarang,
maka yang sekarang akan sulit untuk gue nikmati" jawab gue.
Bukankah sejak kecil kita diajari untuk beriman.
Bahwa Tuhan akan selalu bersama umatnya yang tak pernah melupakannya.
Bahwa surga ada di telapak kaki ibu.
Bahwa rezeki datang dari Tuhan.
Surga bukan di telapak kaki pemilik agency.
Rezeki bukan datang dari klien.
Pemilik agency dan klien adalah sekedar perantara.
Sekedar kepanjangan tangan.
Seperti kita semua, mereka bukan Tuhan.
Gue percaya banget sama perkataan David Ogilvy ini:
"If you have a nice, attractive, gentle, kind, human agency,
you don't have to pay so much.
And it attracts the best employees and
it attracts the most attractive clients.
It'll also give you a happier time on your way through life."
Agency yang baik, menarik, berbudi halus, lembut dan manusiawi.
Karena agency seperti inilah yang akan menarik
karyawan terbaik dan klien yang menguntungkan.
Menurut gue, ini adalah pemikiran yang sederhana dan masuk akal.
Dengan pemikiran ini pula, tolong kasih tau gue,
agency mana yang seperti ini sekarang?
Kalau ada, akan gue bayar dengan kemerdekaan gue.
sehari sesudah hari kasih sayang tahun lalu,
gue memutuskan untuk keluar dari OgilvyOne.
Persis setahun yang lalu.
Setahun.
Gila... cepet banget waktu lewat.
Di hari ini, gue pengen merayakannya dengan berbagi
apa yang gue rasakan dan pikirkan waktu itu.
Bahkan sampai hari ini.
Gak ada yang istimewa sebenarnya
selain sebuah kata, kemerdekaan.
Gue rindu kemerdekaan.
Merdeka sebagai manusia biasa yang berpikir,
berkehendak dan merasa.
Karena bukankah tidak ada yang benar dan salah di dunia ini?
Semua adalah soal interpretasi.
Benar dan salah.
Hitam dan putih.
Kanan dan kiri.
Atas dan bawah.
Semua tergantung dari mana kita melihatnya.
Dan seandainya kita memutuskan untuk membelenggu
kemerdekaan untuk sekedar mempertahankan hidup,
hidup macam apa yang kita jalani?
Ketika kita memilih untuk memenjarakan
kemerdekaan berpikir, berkehendak dan merasa
hanya untuk memperkaya hidup,
kemiskinan hidupa apa yang akan kita alami?
Dan untuk itu semua, gue benar-benar diberkahi Tuhan.
Gue sendirian menjalani kemerdekaan ini.
Gak perlu mikirin susu untuk anak.
Gak perlu deg-degan karena dapur mampet.
"Emang loe gak pikirin soal masa depan?"
kata seorang teman dekat gue.
"Ah kalau masa depan mesti gue pikirin sekarang,
maka yang sekarang akan sulit untuk gue nikmati" jawab gue.
Bukankah sejak kecil kita diajari untuk beriman.
Bahwa Tuhan akan selalu bersama umatnya yang tak pernah melupakannya.
Bahwa surga ada di telapak kaki ibu.
Bahwa rezeki datang dari Tuhan.
Surga bukan di telapak kaki pemilik agency.
Rezeki bukan datang dari klien.
Pemilik agency dan klien adalah sekedar perantara.
Sekedar kepanjangan tangan.
Seperti kita semua, mereka bukan Tuhan.
Gue percaya banget sama perkataan David Ogilvy ini:
"If you have a nice, attractive, gentle, kind, human agency,
you don't have to pay so much.
And it attracts the best employees and
it attracts the most attractive clients.
It'll also give you a happier time on your way through life."
Agency yang baik, menarik, berbudi halus, lembut dan manusiawi.
Karena agency seperti inilah yang akan menarik
karyawan terbaik dan klien yang menguntungkan.
Menurut gue, ini adalah pemikiran yang sederhana dan masuk akal.
Dengan pemikiran ini pula, tolong kasih tau gue,
agency mana yang seperti ini sekarang?
Kalau ada, akan gue bayar dengan kemerdekaan gue.
Wednesday, February 01, 2006
David Ogilvy
"
If you have a nice, attractive, gentle, kind, human agency,
you don't have to pay so much.
And it attracts the best employees and
it attracts the most attractive clients.
It'll also give you a happier time on your way through life.
"
David Ogilvy
If you have a nice, attractive, gentle, kind, human agency,
you don't have to pay so much.
And it attracts the best employees and
it attracts the most attractive clients.
It'll also give you a happier time on your way through life.
"
David Ogilvy
Sunday, January 29, 2006
Subscribe to:
Posts (Atom)