Di tengah keruwetan pitching,
gue menyempatkan diri untuk pergi ke Jogja.
Ini adalah kesempatan kedua buat gue
untuk kenalan dan ngobrol-ngobrol
dengan para mahasiswa DesKomVis.
Kepergian kali ini,
benar-benar membuka mata gue
bahwa masih banyak sekali Pe-eR buat orang iklan
untuk menaikkan standar kualitas iklan kita.
Bukan hanya soal kreatifitas,
tapi se-basic kualitas manusia-nya.
Kualitas yang bikin iklannya.
Dua minggu yang lalu, gue sempet bertemu
dengan teman lama.
Dia orang Indonesia, kerja di Singapura.
Dia sekarang junior art director (umur 24)
di sebuah biro iklan mentereng di Singapura.
Kita ngobrol-ngobrol soal iklan.
Ya ampun bo.... Gue harus akui, dia bersinar.
Pendapat dan pemahamannya soal iklan, benar-benar
mengagumkan.
"Kayaknya, iklan sedang mengalami suatu perubahan
dahsyat.
Dimana pemahaman-pemahaman lama sedang digoncang.
Kita selalu ngomong, iklan gak ada hubungannya
dengan penjualan.
Duh, jujur aja deh... mana ada sih klien yang mau
menghamburkan
duit buat iklan, kalau impact penjualannya gak
langsung terasa.
Kita kan lagi krisis. Seluruh dunia lagi krisis.
Bahkan brand-brand besar pun sekarang sedang
mengais-ngais
ngumpulin recehan untuk bisa bertahan.
Coca-cola misalnya. Gak banyak lagi iklan brand-nya.
Lebih banyak promo.
One more thing Glenn, konsumen juga berubah. Mereka
bukan hanya
muak liat iklan. Tapi mereka perlahan memasang tameng
agar tidak terperdaya oleh iklan" kata dia.
Lepas dari setuju atau tidak setuju dengan
pendapatnya.
Menurut gue, hanya orang berkualitas yang
bisa memaparkan sebuah pikiran dengan lugas
dan didukung dengan keyakinannya yang jernih.
Sementara, kalau kita dengar anak umur 24 di Indonesia
masih
bertanya "apa bedanya sih ide dan eksekusi?"
Sepertinya, gue harus mengakui.
Kita belum pantas menang Adfest.
Kalaupun menang, itu hanya sebuah kemujuran.
Karena kualitas kita, kualitas manusianya,
belum kualitas Adfest.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment