Dolphin biru meloncat di samudera.
Langit biru tua menyiratkan misteri kelam.
Perahu kertas terapung-apung.
Sekumpulan apel putih berbaris rapih.
Semua bentuknya tampak sempurna.
Satu diantaranya berwarna merah.
Potret hitam putih perempuan indo.
Melihat dengan tatapan penuh gairah.
Bibirnya tampak basah.
Indra Safera memakai baju pesulap.
Hadiah2 keluar dari topinya.
Ada tulisan besar GRAHAKADABRA!
Davina terbaring dengan anggun.
Di badannya tergambar mobil dengan
latar belakang mentari senja.
Keluarga bahagia bermain enggrang.
Merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia.
Mereka tampak bersemangat.
Bunga melati berterbaran di lantai marmer.
Lilin aromaterapi di sudut ruangan.
Lampu antik menghiasi langit penuh ukiran.
Kertas tebal warna jingga.
Berbentuk kurva tak beraturan.
Pertanda kehidupan yang naik turun.
Putih polos dengan inisial DJ.
Ukiran kembang jadi pemanis.
Pita sebagai pengikat cinta.
Tas penuh manik-manik, di bagian bawah.
Tas anak-anak Barbie di atasnya.
Bunga sulur-sulur membingkainya.
Topi merah anak SD sobek bagian atasnya.
Sebaris tulisan menjadikannya utuh kembali.
Hitam putih menjadikannya begitu sedih.
Layar hitam pertanda buta.
Suara perempuan menceritakan suasana malam.
Berusaha menyentuh ulu hati terdalam.
Tiga anak sekolah pulang bermain sepak bola.
Dihentikan oleh adik kecilnya.
Memilih duduk di teras menikmati senja.
Kertas merah bertuliskan Makan Apa Hari Ini?
Apa Makan Hari Ini? Di sebaliknya.
Merajai food court di suatu siang.
Seorang anak kecil duduk di bulan sabit.
Terkait tangan Captain Hook.
Pembajak musuh sang pahlawan.
Semua sekarang terdampar di lantai.
Sebelum akhirnya masuk ke dalam boks.
Sebuah masa ikut masuk ke dalamnya.
Dilakban rapat-rapat.
Untuk masuk ke dalam boks berikutnya.
Dan berikutnya dan berikutnya.
Berharap di masa depan.
Jari mulus merobek lakban lapuk.
Melihat, merasakan, mendengar
apa yang ada, seada-adanya.
Tuesday, March 29, 2005
Monday, March 28, 2005
Makna Magis yang Kehilangan Rohnya
Gereja yang luasnya gak lebih besar dari 1/5 lapangan sepak bola
dipenuhi seribuan umat yang hendak berdoa malam paskah.
Suasana khusuk. Diam. Tenang.
Hanya sesekali terdengar jeritan anak-anak.
Hampir semua umat tampak rapih dan siap mengikuti misa
malam kebangkitan Yesus Kristus itu.
Lagu-lagu pujian terdengar sayup-sayup
menambah syahdu suasana.
Tak ada si kaya dan si miskin.
Semua duduk bersama dengan harmonis.
Beberapa tampak mengenakan pakaian terbaiknya.
Kalaupun tidak terbaru.
Di luar hujan rintik-rintik.
Petir menyambar berkali-kali.
Beberapa kali hujan tiba-tiba deras
untuk kemudian mereda lagi.
Sudah 2 jam misa berlangsung.
Tampak beberapa dari umat mulai terkantuk-kantuk.
Mulut mereka masih mengikuti setiap bagian
tapi semua bisa melihat bagaimana pikiran mereka
sudah ke kasur masing-masing.
Beberapa dari anak kecil tampak tertidur pulas
di pangkuan ibu mereka.
Keringat membasahi wajah ibu dan anak itu.
Sementara yang muda-mudi mulai untuk berbisik-bisik
dengan teman-teman sebangkunya.
Bisa jadi mereka mulai mengatur strategi
untuk bisa meninggalkan misa
atau mengatur recana sesudah misa.
Nyanyian merdu dari paduan suara terbaik
memang membantu menyegarkan suasana.
Apalagi Halelujah Handel yang tak pernah absen
di setiap malam Paskah.
Konsentrasi yang sudah buyar.
Kekhidmatan yang berganti kesunyian.
Keheningan yang berarti kekosongan.
Alhasil misa malam Paskah menjadi ritual belaka.
Sampai kapan misa malam Paskah harus
sepanjang ini?
Kapankan gereja bisa memahami
bahwa konsentrasi orang tak bisa lebih dari 1 jam?
Gereja memang mungkin tidak dapat
bergerak sesuai zaman dan umatnya.
Karena ada prinsip yang harus dipegang teguh.
Untuk sebuah karisma.
Tapi bukankah sudah saatnya
untuk gereja menjadi lebih sensitif dan sensibel
dalam menyikapi umatnya?
Setelah 4 jam bergulat melawan kantuk dan bosan
akhirnya misa itu pun selesai.
Seperti sesudah disiksa, umat tampak tersenyum
meninggalkan gereja.
Apa yang mereka bawa pulang dari misa malam Paskah itu
untuk menjadikan kehidupannya lebih baik?
Di malam itu, Paskah yang harusnya
dimaknai sebagai keagungan yang magis
kehilangan rohnya.
dipenuhi seribuan umat yang hendak berdoa malam paskah.
Suasana khusuk. Diam. Tenang.
Hanya sesekali terdengar jeritan anak-anak.
Hampir semua umat tampak rapih dan siap mengikuti misa
malam kebangkitan Yesus Kristus itu.
Lagu-lagu pujian terdengar sayup-sayup
menambah syahdu suasana.
Tak ada si kaya dan si miskin.
Semua duduk bersama dengan harmonis.
Beberapa tampak mengenakan pakaian terbaiknya.
Kalaupun tidak terbaru.
Di luar hujan rintik-rintik.
Petir menyambar berkali-kali.
Beberapa kali hujan tiba-tiba deras
untuk kemudian mereda lagi.
Sudah 2 jam misa berlangsung.
Tampak beberapa dari umat mulai terkantuk-kantuk.
Mulut mereka masih mengikuti setiap bagian
tapi semua bisa melihat bagaimana pikiran mereka
sudah ke kasur masing-masing.
Beberapa dari anak kecil tampak tertidur pulas
di pangkuan ibu mereka.
Keringat membasahi wajah ibu dan anak itu.
Sementara yang muda-mudi mulai untuk berbisik-bisik
dengan teman-teman sebangkunya.
Bisa jadi mereka mulai mengatur strategi
untuk bisa meninggalkan misa
atau mengatur recana sesudah misa.
Nyanyian merdu dari paduan suara terbaik
memang membantu menyegarkan suasana.
Apalagi Halelujah Handel yang tak pernah absen
di setiap malam Paskah.
Konsentrasi yang sudah buyar.
Kekhidmatan yang berganti kesunyian.
Keheningan yang berarti kekosongan.
Alhasil misa malam Paskah menjadi ritual belaka.
Sampai kapan misa malam Paskah harus
sepanjang ini?
Kapankan gereja bisa memahami
bahwa konsentrasi orang tak bisa lebih dari 1 jam?
Gereja memang mungkin tidak dapat
bergerak sesuai zaman dan umatnya.
Karena ada prinsip yang harus dipegang teguh.
Untuk sebuah karisma.
Tapi bukankah sudah saatnya
untuk gereja menjadi lebih sensitif dan sensibel
dalam menyikapi umatnya?
Setelah 4 jam bergulat melawan kantuk dan bosan
akhirnya misa itu pun selesai.
Seperti sesudah disiksa, umat tampak tersenyum
meninggalkan gereja.
Apa yang mereka bawa pulang dari misa malam Paskah itu
untuk menjadikan kehidupannya lebih baik?
Di malam itu, Paskah yang harusnya
dimaknai sebagai keagungan yang magis
kehilangan rohnya.
Friday, March 25, 2005
Kehidupan Sebagai Tumbal Sebuah Pengakuan
Bukan advertisingnya yang penting,
tapi uangnya.
Bukan agencynya yang penting
tapi kerjaannya.
Bukan kerjaannya yang penting
tapi awardsnya.
Dan bukan awardsnya yang penting
tapi pengakuan.
Pengakuan bahwa kita sanggup bikin copy yang keren.
Bikin lay out yang canggih.
Pengakuan bahwa kita diterima dan pantas
diperhitungkan di hutan rimba periklanan ini.
Pengakuan bahwa kita orang iklan.
Pengakuan itu emang penting.
Karena dengan pengakuan,
kita bisa berharap hidup lebih enak.
Seperti kemudahan diterima di agency baru.
Punya kekuatan pasang harga lebih tinggi.
Dan sejuta harapan lainnya.
Tapi di sisi yang lain, pengakuan itu gak sudi datang dengan sendirinya.
Dia menuntut lebih banyak dari yang kita kira.
Dia menuntut 90% dari kehidupan kita.
Karena bukan kita sendiri yang mencari pengakuan.
Ada ratusan ribu orang iklan yang sedang mencari pengakuan.
Otomatis, kita harus bisa kerja dan belajar lebih keras dari yang lain.
Kalau yang lain kerja dari jam 8 pagi sampai 10 malam,
maka demi pengakuan, kita harus kerja dari jam 6 pagi sampai 12 malam.
Kalau yang lain bikin 15 scam ads per hari.
Maka kita harus bikin 30 scam ads per detik.
Dalam perjalanan mencari pengakuan itu,
godaan yang melencengkan tujuan utama emang gede banget.
Ada yang lebih tertarik pil ekstasi dan dugem orang iklan.
Sehingga bukan pengakuan sebagai orang iklan yang didapat,
tapi sekedar pengakuan sebagai anak dugem orang iklan.
Ada yang lebih tertarik perkembangan dunia mode.
Pengakuan yang didapat adalah fashionista orang iklan.
Ada yang lebih tertarik musik dan lebih pengen jadi musisi.
Sehingga jadilah dia band-nya orang iklan.
Naik panggung Citra Pariwara bukan untuk ambil piala,
tapi untuk manggung.
Ada juga yang lebih tertarik dengan duitnya
ketimbang iklannya itu sendiri.
Jadilah Ia orang bisnisnya orang iklan.
Ada yang lebih tertarik mengurus keluarga dan punya anak.
Jadilah Ia emak-emaknya orang iklan.
Ada yang lebih tertarik dengan cowok/cewek kerennya orang iklan.
jadilah Ia cabo/gigolo orang iklan.
Dan banyak lagi lah!
Setuju, kalau semua itu adalah pilihan.
Tapi seperti layaknya ilmu satu pesan dalam satu iklan,
demikian pula dalam kehidupan kita.
Hanya bisa ada satu yang bisa kita raih
untuk satu kurun waktu dalam satu kehidupan kita.
Kita sering mendengar orang iklan ribut
pengen dapet pengakuan.
Pengen menang awards.
Segala cara udah dilakukan.
Kalau bisa pake ke orang pinter segala.
Padalah pertanyaannya sederhana sebenarnya,
sudah berapa persen dari kehidupan kita
yang kita berikan untuk dunia iklan?
tapi uangnya.
Bukan agencynya yang penting
tapi kerjaannya.
Bukan kerjaannya yang penting
tapi awardsnya.
Dan bukan awardsnya yang penting
tapi pengakuan.
Pengakuan bahwa kita sanggup bikin copy yang keren.
Bikin lay out yang canggih.
Pengakuan bahwa kita diterima dan pantas
diperhitungkan di hutan rimba periklanan ini.
Pengakuan bahwa kita orang iklan.
Pengakuan itu emang penting.
Karena dengan pengakuan,
kita bisa berharap hidup lebih enak.
Seperti kemudahan diterima di agency baru.
Punya kekuatan pasang harga lebih tinggi.
Dan sejuta harapan lainnya.
Tapi di sisi yang lain, pengakuan itu gak sudi datang dengan sendirinya.
Dia menuntut lebih banyak dari yang kita kira.
Dia menuntut 90% dari kehidupan kita.
Karena bukan kita sendiri yang mencari pengakuan.
Ada ratusan ribu orang iklan yang sedang mencari pengakuan.
Otomatis, kita harus bisa kerja dan belajar lebih keras dari yang lain.
Kalau yang lain kerja dari jam 8 pagi sampai 10 malam,
maka demi pengakuan, kita harus kerja dari jam 6 pagi sampai 12 malam.
Kalau yang lain bikin 15 scam ads per hari.
Maka kita harus bikin 30 scam ads per detik.
Dalam perjalanan mencari pengakuan itu,
godaan yang melencengkan tujuan utama emang gede banget.
Ada yang lebih tertarik pil ekstasi dan dugem orang iklan.
Sehingga bukan pengakuan sebagai orang iklan yang didapat,
tapi sekedar pengakuan sebagai anak dugem orang iklan.
Ada yang lebih tertarik perkembangan dunia mode.
Pengakuan yang didapat adalah fashionista orang iklan.
Ada yang lebih tertarik musik dan lebih pengen jadi musisi.
Sehingga jadilah dia band-nya orang iklan.
Naik panggung Citra Pariwara bukan untuk ambil piala,
tapi untuk manggung.
Ada juga yang lebih tertarik dengan duitnya
ketimbang iklannya itu sendiri.
Jadilah Ia orang bisnisnya orang iklan.
Ada yang lebih tertarik mengurus keluarga dan punya anak.
Jadilah Ia emak-emaknya orang iklan.
Ada yang lebih tertarik dengan cowok/cewek kerennya orang iklan.
jadilah Ia cabo/gigolo orang iklan.
Dan banyak lagi lah!
Setuju, kalau semua itu adalah pilihan.
Tapi seperti layaknya ilmu satu pesan dalam satu iklan,
demikian pula dalam kehidupan kita.
Hanya bisa ada satu yang bisa kita raih
untuk satu kurun waktu dalam satu kehidupan kita.
Kita sering mendengar orang iklan ribut
pengen dapet pengakuan.
Pengen menang awards.
Segala cara udah dilakukan.
Kalau bisa pake ke orang pinter segala.
Padalah pertanyaannya sederhana sebenarnya,
sudah berapa persen dari kehidupan kita
yang kita berikan untuk dunia iklan?
Wednesday, March 23, 2005
Nyawa Dibayar Nyawa
6 mobil kijang berwarna biru tua
keluar dari rumah tahanan Surabaya.
Sesaat setelah meninggalkan gerbang,
6 mobil itu berpencar ke 6 arah berbeda.
Di salah satu mobil itu,
ada Ibu Astini, 51 asal Wonorejo.
Tak ada yang tahu apakah
matanya sedang tertutup
atau mungkin Ia sedang menangis.
Yang pasti, Ibu Astini dihantar
menuju tempat eksekusi hukum mati-nya.
Hutang sebesar Rp 20.000,-
itulah yang membuatnya naik pitam
dan melakukan mutilasi.
Bukan hanya sekali, tapi enam kali.
Tindakan di luar akal sehat ini
terungkap ketika ditemukan
kepala salah seorang korban
di selokan.
"Cucuku mati, dipotong-potong.
Wong di kuburannya cuma ada kepalanya.
Ya dia harus dihukum mati!
Nyawa dibayar nyawa..."
kata salah seorang nenek korban.
Seteleh grasi ditolak Ibu Megawati,
Astini harus mendekam selama 8 tahun di penjara.
Bukan menanti kebebasan tapi kematian.
Penantian yang panjang dan penuh tekanan.
Selama penantian di penjara itu,
Ibu Astini bertobat dan berdoa kepada Tuhannya.
Tuhan memang Maha Penyayang.
Astini diberi kesempatan untuk bertemu
cucu-nya serta kedua anaknya
yang selama ini merantau.
Selama penantian itu pula,
Astini menjadi pusat perhatian media masa.
Tak kurang Nursyahbani Kantjasungkana
menyempatkan diri untuk menemuinya.
Dalam pertemuan itu
Ibu Astini menangis sejadi-jadinya.
Bagi Ibu Astini, semakin lama eksekusi dilakukan,
semakin lama pula penderitaannya.
Pihak keluarga melakukan berbagai cara
agar eksekusi segera dilakukan.
Menyelesaikan nyawa Ibu Astini secepatnya
dihayati lebih manusiawi
ketimbang membiarkan perempuan tua itu
meringkuk di penjara menanti ajal.
Dua minggu sebelum eksekusi dilakukan,
pihak keluarga terus menerus mengunjunginya.
Memberikan kekuatan bagi batin dan moral.
Mereka berdoa bersama.
Bahkan seluruh narapidana di rumah tahanan Surabaya
ikut berdoa agar Tuhan mengampuni dosa dan
menerima Ibu Astini di sisiNya.
6 senjata laras panjang mengarah ke jantung Ibu Astini.
3 diantaranya bermuatan peluru
yang siap menembak Ibu Astini yang ditutup matanya.
Setelah aba-aba diberikan,
tembakan membahana memenuhi langit malam.
Beberapa saat kemudian
sebuah tembakan terdengar lagi.
Tembakan terakhir berasal dari pistol
yang ditembakan langsung ke kepala Ibu Astini.
Tuntas sudah penantian panjang itu.
Nyawa Ibu Astini diambil oleh sesama manusia.
Hukuman yang dianggap undang-undang
setimpal dengan tindakan kejahatannya.
Di luar gedung eksekusi, polisi berjaga-jaga.
Keluarga korban berkumpul sambil
berteriak-teriak "Nyawa dibayar nyawa!"
Tatapan dendam dan kepuasan
terpancar jelas di wajah mereka.
Memang Ibu Astini secara biadab
memembunuh sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Uang sebesar Rp 20.000,- cukup menjadi alasan baginya.
Uang yang bagi kita bisa habis sekali makan siang.
Membeli 2 bungkus rokok.
Atau sekedar terselip di celana jins.
Jika suatu saat nanti ada kesempatan untuk
berbincang-bincang dengan Ibu Astini,
ingin rasanya mencari tau apa alasan
dibalik semua tindakannya itu.
Bukankah itu yang terpenting?
Bisa jadi himpitan keuangan yang memang
bisa membuat orang melakukan tindakan
di luar akal sehat.
Seperti korupsi.
Ibu Astini telah menyelesaikan tanggung jawabnya.
Nyawa dibayar nyawa.
Bagaimana dengan penjahat korupsi?
Ribuan nyawa bisa melayang
karena tindakan korupsi.
Bukankah seharusnya
nyawa dibayar nyawa pula?
keluar dari rumah tahanan Surabaya.
Sesaat setelah meninggalkan gerbang,
6 mobil itu berpencar ke 6 arah berbeda.
Di salah satu mobil itu,
ada Ibu Astini, 51 asal Wonorejo.
Tak ada yang tahu apakah
matanya sedang tertutup
atau mungkin Ia sedang menangis.
Yang pasti, Ibu Astini dihantar
menuju tempat eksekusi hukum mati-nya.
Hutang sebesar Rp 20.000,-
itulah yang membuatnya naik pitam
dan melakukan mutilasi.
Bukan hanya sekali, tapi enam kali.
Tindakan di luar akal sehat ini
terungkap ketika ditemukan
kepala salah seorang korban
di selokan.
"Cucuku mati, dipotong-potong.
Wong di kuburannya cuma ada kepalanya.
Ya dia harus dihukum mati!
Nyawa dibayar nyawa..."
kata salah seorang nenek korban.
Seteleh grasi ditolak Ibu Megawati,
Astini harus mendekam selama 8 tahun di penjara.
Bukan menanti kebebasan tapi kematian.
Penantian yang panjang dan penuh tekanan.
Selama penantian di penjara itu,
Ibu Astini bertobat dan berdoa kepada Tuhannya.
Tuhan memang Maha Penyayang.
Astini diberi kesempatan untuk bertemu
cucu-nya serta kedua anaknya
yang selama ini merantau.
Selama penantian itu pula,
Astini menjadi pusat perhatian media masa.
Tak kurang Nursyahbani Kantjasungkana
menyempatkan diri untuk menemuinya.
Dalam pertemuan itu
Ibu Astini menangis sejadi-jadinya.
Bagi Ibu Astini, semakin lama eksekusi dilakukan,
semakin lama pula penderitaannya.
Pihak keluarga melakukan berbagai cara
agar eksekusi segera dilakukan.
Menyelesaikan nyawa Ibu Astini secepatnya
dihayati lebih manusiawi
ketimbang membiarkan perempuan tua itu
meringkuk di penjara menanti ajal.
Dua minggu sebelum eksekusi dilakukan,
pihak keluarga terus menerus mengunjunginya.
Memberikan kekuatan bagi batin dan moral.
Mereka berdoa bersama.
Bahkan seluruh narapidana di rumah tahanan Surabaya
ikut berdoa agar Tuhan mengampuni dosa dan
menerima Ibu Astini di sisiNya.
6 senjata laras panjang mengarah ke jantung Ibu Astini.
3 diantaranya bermuatan peluru
yang siap menembak Ibu Astini yang ditutup matanya.
Setelah aba-aba diberikan,
tembakan membahana memenuhi langit malam.
Beberapa saat kemudian
sebuah tembakan terdengar lagi.
Tembakan terakhir berasal dari pistol
yang ditembakan langsung ke kepala Ibu Astini.
Tuntas sudah penantian panjang itu.
Nyawa Ibu Astini diambil oleh sesama manusia.
Hukuman yang dianggap undang-undang
setimpal dengan tindakan kejahatannya.
Di luar gedung eksekusi, polisi berjaga-jaga.
Keluarga korban berkumpul sambil
berteriak-teriak "Nyawa dibayar nyawa!"
Tatapan dendam dan kepuasan
terpancar jelas di wajah mereka.
Memang Ibu Astini secara biadab
memembunuh sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Uang sebesar Rp 20.000,- cukup menjadi alasan baginya.
Uang yang bagi kita bisa habis sekali makan siang.
Membeli 2 bungkus rokok.
Atau sekedar terselip di celana jins.
Jika suatu saat nanti ada kesempatan untuk
berbincang-bincang dengan Ibu Astini,
ingin rasanya mencari tau apa alasan
dibalik semua tindakannya itu.
Bukankah itu yang terpenting?
Bisa jadi himpitan keuangan yang memang
bisa membuat orang melakukan tindakan
di luar akal sehat.
Seperti korupsi.
Ibu Astini telah menyelesaikan tanggung jawabnya.
Nyawa dibayar nyawa.
Bagaimana dengan penjahat korupsi?
Ribuan nyawa bisa melayang
karena tindakan korupsi.
Bukankah seharusnya
nyawa dibayar nyawa pula?
Wednesday, March 16, 2005
Hello Dolly!
Akhirnya, pemandangan yang selama ini cuma bisa gue lihat di
majalah, film, atau sekedar fantasi gue doang, tersaji dengan
jelas di kanan kiri jalan.
Di jalan yang cuma bisa dilewati satu mobil,
penuh sesak dengan laki-laki seperti preman,
dan dihiasi lampu kelap-kelip itu lah,
perempuan-perempuan bergincu tebal itu
menjajakan tubuhnya.
Persis seperti ikan mas koki dalam aquarium,
siapapun bisa melihat mereka dengan jelas.
Rasa malu, tegang, berharap dan takut
tampak jelas di wajah mereka.
Memilihnya pun persis seperti memilih ikan.
Tinggal tunjuk!
Beberapa memberikan kesan ABG.
Cuek, cool, seru dan cihuy.
Beberapa memberikan kesan gadis desa sejati.
Imut-imut, sederhana, malu-malu.
Beberapa memberikan kesan perempuan terpelajar.
Mengenakan jas, celana panjang dan rambut disanggul.
Tapi apa yang ada dibalik itu semua
jelas tidak ada yang peduli.
Karena hanya tubuh mereka dan liang vagina
yang diperlukan di sini.
Bagaimana kalau tiba-tiba 'klien' mereka
adalah seorang sado masochist
yang senang memukul sebelum bersenggama?
Seorang psikopat yang senang menggigit
puting mereka sampai berdarah?
Seorang jahanam yang senang
memasukan penisnya secara kasar tanpa kondom?
Menolak, bisa jadi tidak makan siang keesokan harinya.
Atau diusir. Sementara tidak ada yang mau menerima mereka lagi.
Atau malah dikurung di dalam kamar mandi?
Bisa jadi dipukul oleh germo mereka sendiri.
Di Doli, Surabaya, segala hal dilakukan
untuk kenikmatan saat memuncratnya air mani.
Dan untuk itu semua, sebuah masa depan
dibunuh pelan-pelan.
Mengapa semua yang selama ini hanya ada di
rubrik Oh Mama Oh Papa, acara SERGAP,
BUSER, dan berita-berita yang memenuhi Pos Kota
kelihatan semakin dekat dengan gue?
Minyak wangi murahan dan remason
mengantar gue meninggalkan gang itu.
Gue ngerasa bersalah.
Karena buat gue, mereka adalah obyek wisata.
Sekedar pemenuhan rasa ingin tahu gue.
Sementara untuk mereka,
setiap laki-laki yang lewat adalah harapan
untuk menyambung hidup.
Sepanjang jalan,
setiap kali mereka melihat gue
dengan tatapan penuh harap,
setiap kali itu juga
dada gue perih.
Beberapa petak kemudian,
tampak orang berjualan melati, mawar, kamboja.
Di atas kamboja ada melati.
Di alas melati ada mawar.
Semua di atas piring anyaman
beralas daun pisang.
Tangan mengangkat setinggi-tingginya,
Sebelum akhirnya menunduk serendah-rendahnya.
Sejajar bumi.
Untuk semua yang sudah ditelan bumi,
tapi masih di atasnya.
majalah, film, atau sekedar fantasi gue doang, tersaji dengan
jelas di kanan kiri jalan.
Di jalan yang cuma bisa dilewati satu mobil,
penuh sesak dengan laki-laki seperti preman,
dan dihiasi lampu kelap-kelip itu lah,
perempuan-perempuan bergincu tebal itu
menjajakan tubuhnya.
Persis seperti ikan mas koki dalam aquarium,
siapapun bisa melihat mereka dengan jelas.
Rasa malu, tegang, berharap dan takut
tampak jelas di wajah mereka.
Memilihnya pun persis seperti memilih ikan.
Tinggal tunjuk!
Beberapa memberikan kesan ABG.
Cuek, cool, seru dan cihuy.
Beberapa memberikan kesan gadis desa sejati.
Imut-imut, sederhana, malu-malu.
Beberapa memberikan kesan perempuan terpelajar.
Mengenakan jas, celana panjang dan rambut disanggul.
Tapi apa yang ada dibalik itu semua
jelas tidak ada yang peduli.
Karena hanya tubuh mereka dan liang vagina
yang diperlukan di sini.
Bagaimana kalau tiba-tiba 'klien' mereka
adalah seorang sado masochist
yang senang memukul sebelum bersenggama?
Seorang psikopat yang senang menggigit
puting mereka sampai berdarah?
Seorang jahanam yang senang
memasukan penisnya secara kasar tanpa kondom?
Menolak, bisa jadi tidak makan siang keesokan harinya.
Atau diusir. Sementara tidak ada yang mau menerima mereka lagi.
Atau malah dikurung di dalam kamar mandi?
Bisa jadi dipukul oleh germo mereka sendiri.
Di Doli, Surabaya, segala hal dilakukan
untuk kenikmatan saat memuncratnya air mani.
Dan untuk itu semua, sebuah masa depan
dibunuh pelan-pelan.
Mengapa semua yang selama ini hanya ada di
rubrik Oh Mama Oh Papa, acara SERGAP,
BUSER, dan berita-berita yang memenuhi Pos Kota
kelihatan semakin dekat dengan gue?
Minyak wangi murahan dan remason
mengantar gue meninggalkan gang itu.
Gue ngerasa bersalah.
Karena buat gue, mereka adalah obyek wisata.
Sekedar pemenuhan rasa ingin tahu gue.
Sementara untuk mereka,
setiap laki-laki yang lewat adalah harapan
untuk menyambung hidup.
Sepanjang jalan,
setiap kali mereka melihat gue
dengan tatapan penuh harap,
setiap kali itu juga
dada gue perih.
Beberapa petak kemudian,
tampak orang berjualan melati, mawar, kamboja.
Di atas kamboja ada melati.
Di alas melati ada mawar.
Semua di atas piring anyaman
beralas daun pisang.
Tangan mengangkat setinggi-tingginya,
Sebelum akhirnya menunduk serendah-rendahnya.
Sejajar bumi.
Untuk semua yang sudah ditelan bumi,
tapi masih di atasnya.
Friday, March 11, 2005
Rolling Stone Nite
Yang penyanyi pake eye shadow dan jaket hitam panjang.
Pemain drum ATAU drummer-nya seksi abis.
Suasananya ngingetin gue sama Jaya Pub waktu masih berjaya.
Gue duduk di bar.
Sebelah kanan gue ada bangku kosong.
Tadinya ada peminum di situ.
Eh ternyata dia minggat gak bayar.
Alahasil manajer yang bertampang Ambon itu
agak berkurang kesangarannya karena panik.
Nah yang pengen gue ceritain,
cowok di sebelah kiri gue.
Mirip Ambon juga.
Soalnya dia itu ternyata umurnya baru 38.
Terbukti setelah dia menunjukkan KTP-nya.
Gue kirain selama ini dia bohong.
Karena kelakuannya mirip sama oom-oom umur 40-an.
Soalnya dia itu udah punya anak bini.
Tapi, demen banget bikin gue horny dengan kata-katanya.
"Yang... anal yuk yang..."
"Cipok dong yang..."
Soalnya dia itu agak serba salah menurut gue.
Kalau lagi jadi drunken master, seru. Tapi jadi bawel.
Gak cool lagi.
Kalau lagi waras-nya, cool. Tapi ja-im.
Jadinya predikat oom-oom makin menjadi-jadi.
Gue selalu kagum dengan daya tahannya
sms-an sampe berjam-jam.
Pinter banget main kata-kata
sehingga gue tidak dapat berkata-kata.
Di malam Rolling Stone itu pula
gue menemukan, ternyata yang seperti oom gue ini, banyak banget.
Gue menemukan kalau orang itu penting untuk merasa di rumah.
Dan di malam itulah oom-oom itu merasa di teratapkan.
Gue menemukan kalau orang itu penting untuk merasa diterima.
Dan di malam itulah oom-oom itu merasa diterima.
Gue menemukan kalau orang itu paling benci kesepian.
Dan di malam itulah oom-oom itu merasa 'terpenuhkan'.
Gue menemukan kalau orang itu paling seneng kalau didengarkan.
Dan di malam itulah oom-oom itu merasa tersedia 1000 kuping untuk mereka.
Gue jadi semakin sayang sama oom kiri gue ini.
Ini lagu khusus buat oom gue itu.
Piano Man-nya Billy Joel.
Dia pernah bilang kalau dia suka.
Dan sekarang gue semakin ngeh, kenapa dia suka.
Have a great life ahead, oom!
You may be lonely but please take it from me,
you are not alone.
And the waitress is practicing politics
As the businessmen slowly get stoned
Yes they're sharing a drink they call loneliness
But it's better than drinking alone
Pemain drum ATAU drummer-nya seksi abis.
Suasananya ngingetin gue sama Jaya Pub waktu masih berjaya.
Gue duduk di bar.
Sebelah kanan gue ada bangku kosong.
Tadinya ada peminum di situ.
Eh ternyata dia minggat gak bayar.
Alahasil manajer yang bertampang Ambon itu
agak berkurang kesangarannya karena panik.
Nah yang pengen gue ceritain,
cowok di sebelah kiri gue.
Mirip Ambon juga.
Soalnya dia itu ternyata umurnya baru 38.
Terbukti setelah dia menunjukkan KTP-nya.
Gue kirain selama ini dia bohong.
Karena kelakuannya mirip sama oom-oom umur 40-an.
Soalnya dia itu udah punya anak bini.
Tapi, demen banget bikin gue horny dengan kata-katanya.
"Yang... anal yuk yang..."
"Cipok dong yang..."
Soalnya dia itu agak serba salah menurut gue.
Kalau lagi jadi drunken master, seru. Tapi jadi bawel.
Gak cool lagi.
Kalau lagi waras-nya, cool. Tapi ja-im.
Jadinya predikat oom-oom makin menjadi-jadi.
Gue selalu kagum dengan daya tahannya
sms-an sampe berjam-jam.
Pinter banget main kata-kata
sehingga gue tidak dapat berkata-kata.
Di malam Rolling Stone itu pula
gue menemukan, ternyata yang seperti oom gue ini, banyak banget.
Gue menemukan kalau orang itu penting untuk merasa di rumah.
Dan di malam itulah oom-oom itu merasa di teratapkan.
Gue menemukan kalau orang itu penting untuk merasa diterima.
Dan di malam itulah oom-oom itu merasa diterima.
Gue menemukan kalau orang itu paling benci kesepian.
Dan di malam itulah oom-oom itu merasa 'terpenuhkan'.
Gue menemukan kalau orang itu paling seneng kalau didengarkan.
Dan di malam itulah oom-oom itu merasa tersedia 1000 kuping untuk mereka.
Gue jadi semakin sayang sama oom kiri gue ini.
Ini lagu khusus buat oom gue itu.
Piano Man-nya Billy Joel.
Dia pernah bilang kalau dia suka.
Dan sekarang gue semakin ngeh, kenapa dia suka.
Have a great life ahead, oom!
You may be lonely but please take it from me,
you are not alone.
And the waitress is practicing politics
As the businessmen slowly get stoned
Yes they're sharing a drink they call loneliness
But it's better than drinking alone
Wednesday, March 09, 2005
09-Mar-05 14.54
From:+6694080769
Gw mesti bikin TTL low budget buat promote majalah creative idea
'contagious'. Agak bingung nyerangnya dari mana...
Pikiran gue langsung mundur ke waktu ngasih training
ambience media buat mempersiapkan daun muda.
Seinget gue, TTL cuma bagian kecil dari keseluruhan training.
SMS dari Rangga dan Danny yang lagi bertanding di Pattaya itu
bener-bener bikin gue lemes.
Harapan menang kok jadi makin samar-samar.
Padahal gue pengen banget kalau Indonesia bisa menang.
Belum sekalipun Indonesia menang di Adfest.
Setelah bersms-an ria selama beberapa jam,
akhirnya kita bisa juga chatting pake YM (thanks to Yahoo!).
Jadilah kita bertiga brainstorming online.
Rangga dan Danny di Pattaya, gue di Jakarta.
Sambil chatting, gue ajak anak-anak kreatif di kantor Jakarta
untuk duduk di samping gue. Gue butuh input. Waktu udah mepet.
Jam 10 pagi keesokan harinya karya mereka udah mesti dikumpulin.
Sementara jam 5-an, idenya aja belum dapet.
Tugas yang memakai embel-embel TTL itu
jelas bikin mereka berdua bingung.
Mereka terlatih bikin big campaign.
TV, RADIO, PRINT AD.
Kali ini mereka harus main kecil dan langsung.
Gue mencoba keras memberikan pemahaman kepada mereka
bahwa inti TTL (Through The Line) adalah menggunakan
SEGALA macam media di SEGALA kemungkinan
untuk menyampaikan pesan yang ingin disampaikan.
Jadi sekecil meletakkan subscription form di samping telepon kamar hotel,
bisa jadi luar biasa efek-nya. Tergantung bagaimana kita
mengemas subscription form itu.
Sekecil meletakkan sampling majalah di toilet kamar mandi.
Supaya mereka bisa baca-baca dan langsung isi subscription formnya.
Setelah beres berchatting ria, gue pulang.
Tiba-tiba kepala gue lemes banget.
Serasa gue lagi ikutan bertanding.
Gue aja begini, gimana mereka!
Sebelum tidur, gue senyum-senyum sendiri.
Setelah dipikir-pikir, Daun Muda Indonesia itu imut-imut.
Pastilah mereka mempersiapkan bom dan senjata laras panjang.
Eh... yang diminta pistol air.
Yah begitulah, advertising adalah tentang perubahan.
Bergerak seiring waktu.
Seiring manusia.
Orang iklan harusnya bergerak seirama.
(Buat Rangga dan Danny, wish you all the best.
This time, let's do it for the nation.)
From:+6694080769
Gw mesti bikin TTL low budget buat promote majalah creative idea
'contagious'. Agak bingung nyerangnya dari mana...
Pikiran gue langsung mundur ke waktu ngasih training
ambience media buat mempersiapkan daun muda.
Seinget gue, TTL cuma bagian kecil dari keseluruhan training.
SMS dari Rangga dan Danny yang lagi bertanding di Pattaya itu
bener-bener bikin gue lemes.
Harapan menang kok jadi makin samar-samar.
Padahal gue pengen banget kalau Indonesia bisa menang.
Belum sekalipun Indonesia menang di Adfest.
Setelah bersms-an ria selama beberapa jam,
akhirnya kita bisa juga chatting pake YM (thanks to Yahoo!).
Jadilah kita bertiga brainstorming online.
Rangga dan Danny di Pattaya, gue di Jakarta.
Sambil chatting, gue ajak anak-anak kreatif di kantor Jakarta
untuk duduk di samping gue. Gue butuh input. Waktu udah mepet.
Jam 10 pagi keesokan harinya karya mereka udah mesti dikumpulin.
Sementara jam 5-an, idenya aja belum dapet.
Tugas yang memakai embel-embel TTL itu
jelas bikin mereka berdua bingung.
Mereka terlatih bikin big campaign.
TV, RADIO, PRINT AD.
Kali ini mereka harus main kecil dan langsung.
Gue mencoba keras memberikan pemahaman kepada mereka
bahwa inti TTL (Through The Line) adalah menggunakan
SEGALA macam media di SEGALA kemungkinan
untuk menyampaikan pesan yang ingin disampaikan.
Jadi sekecil meletakkan subscription form di samping telepon kamar hotel,
bisa jadi luar biasa efek-nya. Tergantung bagaimana kita
mengemas subscription form itu.
Sekecil meletakkan sampling majalah di toilet kamar mandi.
Supaya mereka bisa baca-baca dan langsung isi subscription formnya.
Setelah beres berchatting ria, gue pulang.
Tiba-tiba kepala gue lemes banget.
Serasa gue lagi ikutan bertanding.
Gue aja begini, gimana mereka!
Sebelum tidur, gue senyum-senyum sendiri.
Setelah dipikir-pikir, Daun Muda Indonesia itu imut-imut.
Pastilah mereka mempersiapkan bom dan senjata laras panjang.
Eh... yang diminta pistol air.
Yah begitulah, advertising adalah tentang perubahan.
Bergerak seiring waktu.
Seiring manusia.
Orang iklan harusnya bergerak seirama.
(Buat Rangga dan Danny, wish you all the best.
This time, let's do it for the nation.)
Monday, March 07, 2005
Kupu-kupu Dunia
ABG-ABG yang memenuhi atau menuh-menuhin Plaza Senayan malam itu,
gak lebih dari pengecut total!
Mereka itu takut.
Takut gak ada temen.
Takut gak ada pacar.
Takut gak keren.
Takut jelek.
Padahal yang perempuan badannya langsing-langsing.
Buah dadanya masih mekar dan padat.
Pantatnya masih montok dan kencang.
Entah mengapa, sorot mata mereka kosong dan ragu.
Langkah mereka bukan mengayun, tapi melayang.
Beberapa diseret.
Lebih memilukan dari pengemis di pinggir jalan.
Yang laki-laki sama juga, sama semua.
Badan mereka masih atletis.
Dada keras dan padat.
Pantat kencang dan montok.
Rambut lebat dan hitam.
Kulit wajah masih bebas keriput.
Entah mengapa, sorot mata mereka kosong dan ragu.
Langkah mereka bukan mengayun, tapi melayang.
Beberapa diseret.
Lebih memilukan dari pengemis di pinggir jalan.
Di malam itu juga di Plaza Senayan,
sepasang sejoli sedang bercinta.
Dari mata yang perempuan terpancar sinar
yang berkata kepada dunia, "cinta ini milik aku seorang!"
Dari matanya yang laki-laki terpancar sinar
yang berkata kepada dunia, "cinta ini milik aku seorang!"
Inikah arti sesungguhnya,
dunia hanya milik kita berdua dan yang lain hanya numpang?
Inikah arti sesungguhnya,
janji untuk sehidup semati dalam untung dan malang?
Dalam sehat ataupun sakit?
Yang perempuan berjalan tertatih-tatih.
Yang laki-laki berjalan dengan tongkat.
Bukan. Bukan buat gaya-gayaan.
Bukan buat gengsi.
Tapi karena usia mereka sudah sekitar 80 tahunan.
Fisik mereka tidak lagi sekuat ABG-ABG itu.
Kulit mereka sudah keriput.
Payudara yang perempuan sudah rata dengan dada.
Kaki yang laki-laki sudah kena osteoporosis.
Pantat mereka berdua sudah tepos dan gelembyeran.
Dari mana pancaran mata mereka berasal?
Dari mana kepercayaan diri mereka berawal?
Cinta?
(pasti Tuhan ingin menyampaikan sesuatu untuk gue dengan memperlihatkan ini semua.)
gak lebih dari pengecut total!
Mereka itu takut.
Takut gak ada temen.
Takut gak ada pacar.
Takut gak keren.
Takut jelek.
Padahal yang perempuan badannya langsing-langsing.
Buah dadanya masih mekar dan padat.
Pantatnya masih montok dan kencang.
Entah mengapa, sorot mata mereka kosong dan ragu.
Langkah mereka bukan mengayun, tapi melayang.
Beberapa diseret.
Lebih memilukan dari pengemis di pinggir jalan.
Yang laki-laki sama juga, sama semua.
Badan mereka masih atletis.
Dada keras dan padat.
Pantat kencang dan montok.
Rambut lebat dan hitam.
Kulit wajah masih bebas keriput.
Entah mengapa, sorot mata mereka kosong dan ragu.
Langkah mereka bukan mengayun, tapi melayang.
Beberapa diseret.
Lebih memilukan dari pengemis di pinggir jalan.
Di malam itu juga di Plaza Senayan,
sepasang sejoli sedang bercinta.
Dari mata yang perempuan terpancar sinar
yang berkata kepada dunia, "cinta ini milik aku seorang!"
Dari matanya yang laki-laki terpancar sinar
yang berkata kepada dunia, "cinta ini milik aku seorang!"
Inikah arti sesungguhnya,
dunia hanya milik kita berdua dan yang lain hanya numpang?
Inikah arti sesungguhnya,
janji untuk sehidup semati dalam untung dan malang?
Dalam sehat ataupun sakit?
Yang perempuan berjalan tertatih-tatih.
Yang laki-laki berjalan dengan tongkat.
Bukan. Bukan buat gaya-gayaan.
Bukan buat gengsi.
Tapi karena usia mereka sudah sekitar 80 tahunan.
Fisik mereka tidak lagi sekuat ABG-ABG itu.
Kulit mereka sudah keriput.
Payudara yang perempuan sudah rata dengan dada.
Kaki yang laki-laki sudah kena osteoporosis.
Pantat mereka berdua sudah tepos dan gelembyeran.
Dari mana pancaran mata mereka berasal?
Dari mana kepercayaan diri mereka berawal?
Cinta?
(pasti Tuhan ingin menyampaikan sesuatu untuk gue dengan memperlihatkan ini semua.)
Sunday, March 06, 2005
Kepada Siapakah Tuhan Berpihak?
Sejak dari zaman kekaisaran romawi,
Panglima perang selalui memulai sebuah perang
dengan doa. Biasanya di sebuah kapel, berlutut di depan patung Maria.
Bahkan Mark Twain menulis The War Prayer
yang menjadi demikian termasyur itu.
Begitu pula setiap kali pitching.
Selalu ada doa dalam hati.
Mulai dari di brief sampai presentasi dan sesudahnya.
Tapi, setiap kali gue berdoa, setiap kali itu pula muncul pertanyaan di benak gue,
“kepada siapakah Tuhan berpihak kali ini?”
Pastinya gue berdoa semoga gue menang pitching.
Tapi tentunya gue tidak menutup mata bahwa agency saingan juga pasti berdoa.
Bisa jadi, doanya lebih heboh dari gue.
Atau seperti ajang AdFest minggu ini.
Gue yakin setiap peserta pasti berdoa untuk menang.
Kecuali kalau pemilihan ratu sejagad dimana finalis selalu berkata
“oh enggak, aku sih enggak berharap menang. Peserta yang lain cantik-cantik.
Ini juga mama yang memaksa ikut.” OK DEH!
Dalam sebuah tulisan di surat kabar nasional 3 tahun yang lalu ada headline
“Tuhan Selalu Berpihak Kepada yang Lemah”.
Bisa jadi benar. Coba deh nonton Fear Factor.
Seringkali pemenangnya adalah peserta yang dari awal terlihat
lemah. Malah yang memiliki badan berotot sering tersingkir
di babak pertama.
Kalau benar Tuhan berpihak kepada yang lemah,
Seharusnya Indonesia bisa menang di Adfest.
Bukankah Indonesia salah satu negara yang lemah advertisingnya?
Atau mungkinkah Tuhan berpihak kepada Indonesia selama ini
dengan tidak memenangkan Indonesia agar kita
bekerja dan belajar lebih giat lagi?
“Oh itu beda Glenn. Kalau Adfest kan bukan pertandingan kuat-kuatan
seperti perang atau Fear Factor. Unsur subyektifitas sangat berperan.
Jadi ada untung-untungannya. Seni geto loh….”
Lah bukannya Tuhan ada dalam setiap langkah kita?
Tulisan ini tidak bermaksud apa-apa.
Sekedar renungan yang pengen gue bagi ke temen-temen.
Dalam hubungannya dengan Adfest dan dua oom-oom gue yang lagi heboh pitching
ada pertanyaan dalam hati kecil gue selama weekend ini:
“Tuhan, kepada siapakah Engkau berpihak?”
Untuk Adfest, mungkin kita harus bersabar menunggu jawaban Tuhan
di akhir minggu ini. Sambil menunggu, ada baiknya
kalau kita berdoa, semoga Tuhan berpihak kepada Indonesia.
Panglima perang selalui memulai sebuah perang
dengan doa. Biasanya di sebuah kapel, berlutut di depan patung Maria.
Bahkan Mark Twain menulis The War Prayer
yang menjadi demikian termasyur itu.
Begitu pula setiap kali pitching.
Selalu ada doa dalam hati.
Mulai dari di brief sampai presentasi dan sesudahnya.
Tapi, setiap kali gue berdoa, setiap kali itu pula muncul pertanyaan di benak gue,
“kepada siapakah Tuhan berpihak kali ini?”
Pastinya gue berdoa semoga gue menang pitching.
Tapi tentunya gue tidak menutup mata bahwa agency saingan juga pasti berdoa.
Bisa jadi, doanya lebih heboh dari gue.
Atau seperti ajang AdFest minggu ini.
Gue yakin setiap peserta pasti berdoa untuk menang.
Kecuali kalau pemilihan ratu sejagad dimana finalis selalu berkata
“oh enggak, aku sih enggak berharap menang. Peserta yang lain cantik-cantik.
Ini juga mama yang memaksa ikut.” OK DEH!
Dalam sebuah tulisan di surat kabar nasional 3 tahun yang lalu ada headline
“Tuhan Selalu Berpihak Kepada yang Lemah”.
Bisa jadi benar. Coba deh nonton Fear Factor.
Seringkali pemenangnya adalah peserta yang dari awal terlihat
lemah. Malah yang memiliki badan berotot sering tersingkir
di babak pertama.
Kalau benar Tuhan berpihak kepada yang lemah,
Seharusnya Indonesia bisa menang di Adfest.
Bukankah Indonesia salah satu negara yang lemah advertisingnya?
Atau mungkinkah Tuhan berpihak kepada Indonesia selama ini
dengan tidak memenangkan Indonesia agar kita
bekerja dan belajar lebih giat lagi?
“Oh itu beda Glenn. Kalau Adfest kan bukan pertandingan kuat-kuatan
seperti perang atau Fear Factor. Unsur subyektifitas sangat berperan.
Jadi ada untung-untungannya. Seni geto loh….”
Lah bukannya Tuhan ada dalam setiap langkah kita?
Tulisan ini tidak bermaksud apa-apa.
Sekedar renungan yang pengen gue bagi ke temen-temen.
Dalam hubungannya dengan Adfest dan dua oom-oom gue yang lagi heboh pitching
ada pertanyaan dalam hati kecil gue selama weekend ini:
“Tuhan, kepada siapakah Engkau berpihak?”
Untuk Adfest, mungkin kita harus bersabar menunggu jawaban Tuhan
di akhir minggu ini. Sambil menunggu, ada baiknya
kalau kita berdoa, semoga Tuhan berpihak kepada Indonesia.
Saturday, March 05, 2005
Strategy, Ide dan Eksekusi
Gak tau kenapa,
gue gak percaya kalau kreatif itu harus bebas.
Gue bahkan tidak percaya kalau kebebasan itu ada.
Bahkan almarhum Basuki Abdullah pun gak bebas.
Di kepalanya, beliau memiliki aturan-aturan
yang dia ciptakan sendiri.
Ada cerita waktu malam Citra Pariwara 2004.
Kan ada pameran iklan2 di lobby ya.
Nah di situ adalah satu seri iklan.
Yang sepintas lalu kita bisa ngerasain
bau scam/initiative ad-nya.
Seorang cd senior tiba-tiba berbisik ke gue
"ini iklan buat siapa ya?"
Gue tertegun sebentar.
Karena pertanyaan itu begitu basic
tapi ironisnya, gue yakin gak akan ada yang bisa menjawab
iklan seri itu untuk siapa.
Nah kemungkinan besar, iklan itu dibuat tanpa strategy/konsep.
Asli lucu-lucuan.
Buat gue pribadi, praktisi iklan yang bikin iklan
tanpa pemahaman strategy/konsep dan pemasaran dulu
sama kayak mahasiswa.
Asal bikin yang penting keren.
Sah-sah aja, karena ujung2nya iklannya keren.
Tapi pertanyaannya adalah, mau sampai kapan?
Gak malu sama negara lain di mana mahasiswa-nya
udah punya pemahaman iklan lebih maju dari praktisi kita di sini?
Gak malu sama negara lain di mana mahasiswa-nya
udah paham bedanya ide dan eksekusi?
Dengan berat hati gue harus menerima kenyataan
kalau pameran iklan CP 2004 gak beda jauh
sama pameran karya mahasiswa.
Intermezzo, kemaren gue sempet makan malam
sama salah seorang planner jagoan.
Dia bilang:
"it takes a logic
to create a strategy from a scratch
and it takes a magic
to create a big idea from a strategy."
gue gak percaya kalau kreatif itu harus bebas.
Gue bahkan tidak percaya kalau kebebasan itu ada.
Bahkan almarhum Basuki Abdullah pun gak bebas.
Di kepalanya, beliau memiliki aturan-aturan
yang dia ciptakan sendiri.
Ada cerita waktu malam Citra Pariwara 2004.
Kan ada pameran iklan2 di lobby ya.
Nah di situ adalah satu seri iklan.
Yang sepintas lalu kita bisa ngerasain
bau scam/initiative ad-nya.
Seorang cd senior tiba-tiba berbisik ke gue
"ini iklan buat siapa ya?"
Gue tertegun sebentar.
Karena pertanyaan itu begitu basic
tapi ironisnya, gue yakin gak akan ada yang bisa menjawab
iklan seri itu untuk siapa.
Nah kemungkinan besar, iklan itu dibuat tanpa strategy/konsep.
Asli lucu-lucuan.
Buat gue pribadi, praktisi iklan yang bikin iklan
tanpa pemahaman strategy/konsep dan pemasaran dulu
sama kayak mahasiswa.
Asal bikin yang penting keren.
Sah-sah aja, karena ujung2nya iklannya keren.
Tapi pertanyaannya adalah, mau sampai kapan?
Gak malu sama negara lain di mana mahasiswa-nya
udah punya pemahaman iklan lebih maju dari praktisi kita di sini?
Gak malu sama negara lain di mana mahasiswa-nya
udah paham bedanya ide dan eksekusi?
Dengan berat hati gue harus menerima kenyataan
kalau pameran iklan CP 2004 gak beda jauh
sama pameran karya mahasiswa.
Intermezzo, kemaren gue sempet makan malam
sama salah seorang planner jagoan.
Dia bilang:
"it takes a logic
to create a strategy from a scratch
and it takes a magic
to create a big idea from a strategy."
Wednesday, March 02, 2005
Di batas sabar dan sadar
waktu udah gak tau waktu lagi.
warna udah kelihatan sama semua.
kata-kata udah kehilangan maknanya.
pengennya mundur.
udahan.
biar lega.
biar bisa hidup lagi.
ada 7 darah panas
yang setiap detik berkata
"kalau begini gimana?"
ada 7 tulang muda
yang setiap jam berteriak
"kalau begitu gimana?"
yang di dalam jadi gemetaran.
gak tau lagi apa yang mau dirasa.
di batas kesabaran dan kesadaran.
ternyata ada cinta.
gak peduli tulus atau monyet.
terima kasih.
warna udah kelihatan sama semua.
kata-kata udah kehilangan maknanya.
pengennya mundur.
udahan.
biar lega.
biar bisa hidup lagi.
ada 7 darah panas
yang setiap detik berkata
"kalau begini gimana?"
ada 7 tulang muda
yang setiap jam berteriak
"kalau begitu gimana?"
yang di dalam jadi gemetaran.
gak tau lagi apa yang mau dirasa.
di batas kesabaran dan kesadaran.
ternyata ada cinta.
gak peduli tulus atau monyet.
terima kasih.
Subscribe to:
Posts (Atom)