Di bulan-bulan pertama bisnis, perlahan realitas mulai
menampar satu-satu. Gak punya bos dari Hong Kong? Itu pembeli yang semakin
banyak apa namanya kalau bukan bos? Masing-masing lengkap dengan permintaannya
masing-masing. Minta ditambahin sambal, gak mau pake daun ketumbar, sampai minta
delivery subuh hari. Belum lagi kalau ada pembeli ibu hamil yang ngidam. Kapan
pun mau harus selalu tersedia. Sampai pernah, suaminya membawakan ayam kampung
mentah ke dapur karena stock sedang kosong!
Waktu masih kerja kantoran di biro iklan, pulang lembur
subuh bisa minta ijin masuk agak siangan keesokan harinya. Sekarang? Luar
biasa! Bangun subuh langsung nyalain kompor. Siangnya belanja bahan kebutuhan
untuk pesanan besoknya. Sore mempersiapkan pesanan di dapur. Malam mencatat
keuangan dan paper work lainnya. Tidurnya? Di sela-sela perjalanan ke pasar
atau pas lagi nonton berita malam.
Begini terus terusan. Pengen istirahat barang sehari dua
hari, menolak pesanan, selalu terhalangi dengan omongan ke diri sendiri “sayang
ah, duit kok ditolak!”
Punya bisnis sendiri itu terminologi yang menyesatkan.
Bahkan cenderung menjerumuskan. Walau saya pemilik brandnya tapi yang namanya
bisnis gak lepas dari pihak lain. Supplier, kurir, anak buah sampai tukang ojek
langganan pun jadi “partner” dalam berbisnis. Padahal ini masih bisnis rumahan.
Gara-gara percaya sama karma, sebisa mungkin kelancaran
pembayaran buat para “partner business’ ini jadi yang utama. Mikirnya, kalau
gak mau pembayaran aku ditunda, ya jangan menunda pembayaran mereka. Ditambah
lagi, prinsip “ada uang abang sayang, gak
ada uang abang melayang” itu kejadian benar. Selama pembayaran lancar,
servis jasa dan barang ke kita lancar, dan bisnis kita pun berjalan mulus.
Untuk memastikan kemulusan ini, selalu membayar cash bisa
bikin repot. Misalnya, nenteng uang buat belanja 50 kilo ayam naik ojek, di
kota ini cukup riskan. Ditambah permintaan partner yang berbeda-beda. Bayar
gaji kurir setiap bulan minta ditransfer ke rekening bank A. Gaji pembantu
infal transfer rekening bank B. Supplier yang minta pembayaran tepat saat
barang diterima, minta ditransfer ke bank C. Semua transfer-transferan kayak
pemain sepak bola.
Mungkin ini yang disebut-sebut Cashless Society. Ya
sebenarnya gak cashless-cashless amat sih. Cashnya mah tetap ambil dari rekening
kita. Buat mempermudah hidup dan menambah sedikit jam tidur, On Account dari
CIMB Niaga jadi pilihan aku. Soalnya, transfer-transferan ke bank mana pun,
selain gak dikenakan biaya, juga bisa real time. Paling beda-beda semenit aja.
Membantu juga untuk urusan bayar tagihan kredit pemilikan
apartemen bulanan. Kayak PacMan, siap memakan dari belakang ke mana pun kita
pergi. Gak peduli apakah bisnismu sesuai dengan passionmu, pokoknya pas jatuh
tempo duitnya ada. Transfer pake On Account
membantu karena bebas biaya transfer dan itu tadi, realtime. Bisalah transfer
mepet-mepet jatuh tempo.
Dan nanti, namanya juga cita-cita boleh dong ya… Kalau
liburan jalan-jalan ke luar negeri kayak temen-temen aku di Path, bisa ambil
tunai di seluruh gerai ATM berlogo MasterCard di luar negeri. Gak kena fee
dengan kurs yang paling mendekati pada saat itu. Tugas aku sekarang, ngisi
uangnya dulu di rekening itu. Amin!
On Account mau aku jadikan rekening transactional sekaligus
tabungan, soalnya selain tanpa biaya administrasi, On Account juga punya
interest rate paling nendang dibaningkan bank lainnya. Kalau gak percaya, bisa
cek sendiri di website atau cabang.
Untuk punya rekening ini, bisa daftar secara online kemudian
datang ke cabang hanya untuk tandatangan dan ambil kartu atau bisa memilih
untuk didatangi oleh customer service CIMB Niaga di mana pun kita berada. Asik
banget, kan? Info lengkapnya bisa dilihat di www.cimbniaga.com