Saturday, April 28, 2007

Jawabannya Ada di Tokyo Story

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Dengan berbagai alasan, saya sering mendapat pertanyaan "iklan yang baik itu yang kayak apa sih?" Selama ini saya tidak pernah bisa memberikan jawaban yang memuaskan diri saya sendiri. Kalau mau jawab bahwa iklan yang baik adalah iklan yang ada ide-nya, kok saya kurang sreg. Ada ide tapi kalau gak menyentuh tombol-tombol hati, buat apa? Kemudian kalau saya jawab, iklan yang baik adalah iklan yang menyentuh perasaan, kok juga kurang sesuai.

Saya pun terus menerus mencoba mencari jawabannya. Karena saya yakin, setiap orang boleh punya definisinya sendiri-sendiri akan iklan yang baik.

Tuhan memang Maha Pemurah. Seorang teman dari Malaysia mengirimkan DVD. Salah satunya adalah Tokyo Story. Arahan Yasujiro Ozu. Dibuat tahun 1953, dengan cerita yang sangat sederhana. Sepasang kakek nenek mengunjungi anak-anaknya di Tokyo. Sesampainya di Tokyo anak-anaknya terlalu sibuk untuk menemani mereka. Karenanya, sepasang manusia rapuh itu pun dikirim ke spa! Di spa itu lah mereka merasa begitu tidak diinginkan dan memutuskan untuk pulang balik ke kampung halamannya. Sesampainya di kampung, sang nenek meninggal dunia.

Jangan berharap spesial efek, kamera pun tidak bergerak. Dari awal sampai akhir film, hampir tidak ada intonasi ucapan yang berlebihan. Dan dengan sensitivitas kelas dewa, Ozu menampilkan sisi sisi kemanusiaan tanpa niat untuk menggurui melainkan berbagi. Dari awal sampai akhir film, perlahan-lahan diri saya dilucuti tanpa ampun. Beberapa kali saya melihat diri saya sendiri di film itu melalui berbagai karakter. Dan saya pun merelakan diri untuk jatuh cinta tanpa syarat.

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Bagaimana sebuah film yang dibuat pada tahun 1953, 20 tahun sebelum kelahiran saya, bisa begitu menyentuh dan relevan? Bisa jadi, karena film ini bagaikan cermin bening yang memantulkan diri setiap yang menyaksikannya. Begitu bening sampai borok dan tahi lalat terlihat jelas. Jelas, pemahaman akan manusia dan kemanusiaan adalah syarat mutlak untuk membuat film seperti ini. Tanpa itu, saya yakin film ini tidak akan masuk dalam 1 dari 10 film terbaik dunia.

Dan menurut saya, iklan harus belajar dari film. Iklan yang baik adalah iklan yang merupakan cerminan masyarakatnya. Cerminan pendapat, kata hati, pikiran dan perasaan yang melihat iklan tersebut. Dengan begitu, merek yang diiklankan akan melekat di hati. "Nah iya.. hahaha itu gue banget tuh... bener bener!" Kurang lebih seperti itulah harusnya ekspresi orang yang menyaksikan iklan kita.

Beberapa kali saya menyaksikan iklan di tv dan print di Indonesia, yang membuat saya merasa terasing. Membuat saya merasa bahwa ikan itu tidak dibuat untuk saya. Bahkan tidak jarang, saya merasa dikecilkan oleh iklan tersebut.

Bukan tidak mungkin jawaban saya akan berubah suatu saat, tapi untuk saat ini dengan yakin saya akan menjawab, iklan yang baik adalah iklan yang menjadi cermin. Dan saya semakin yakin bahwa iklan harus belajar dari film. Akan lebih menarik mendengar cerita Ozu ketika beliau mencari ide untuk filmnya ketimbang pandapat orang iklan terkemuka sekelas David Droga sekalipun. Mengapa? Karena terbukti Ozu lebih memahami manusia dan kemanusiaan yang merupakan nyawa dari iklan.

Sebelum saya kebanyakan omong dan ceramah, coba deh beli DVD Tokyo Story. Mungkin, mungkin setelah menyaksikannya sendiri Anda akan setuju dengan pendapat saya.

Thursday, April 26, 2007

IBUNDA

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Pertama kali aku nonton film ini di layar kaca waktu umur masih SMA.
Setelah itu aku pergi ke luar untuk sekolah.
Ibunda pun pelan-pelan terlupakan.
Tapi ada beberapa bagian dari film ini yang nempel di kepala dan di hati aku.
Aku masih ingat gemulainya Tuti Indra Malaon,
Aku masih ingat rumahnya, gordynnya, cangkirnya, payungnya...
Aku bahkan masih ingat beberapa kutipan dialognya.

Kemudian beberapa kali aku mencoba mengekspresikannya lewat iklan-iklan.
Aku sering bilang ke director:
"Eh coba deh pake referensi film Ibunda.
Menurut aku cocok dengan board ini karena memang waktu ide ini dibuat,
setting film Ibunda itulah yang ada di kepala aku.
Bahkan ketika scriptnya ditulis, yang terngiang di kepala adalah
kelembutan suara Ibunda"
Tapi entah kenapa... selalu gagal. Selalu jadi berlebihan.

Baru kemarin aku berbelanja DVD, dan aku menemukan VCD Ibunda.
Tinggal 2 copy, aku borong semua.
Aku takut kalau aku tidak bisa menemukannya kembali.
Buru-buru aku pulang ke rumah dan tanpa cuci muka dahulu
apalagi ganti baju, aku langsung menonton Ibunda.

Aku seperti menemukan kembali mata air yang selama ini aku cari.
Sumber inspirasi yang selama ini, perlahan hilang.
Yang selama ini aku cari kalau menonton film Indonesia.
Dan yang menjadi referensi kalau aku menulis naskah iklan.

Setiap kata-katanya adalah kehangatan.
Dipenuhi dengan kelembutan yang sudah lama hilang
baik di layar kaca maupun perak.
Salah satu yang telah menjadikan aku seperti sekarang ini,
adalah film Ibunda.

Monday, April 23, 2007

Nonton Deh Kala!

ini film bagus... baru...

tapi gak tau kenapa kayaknya promosinya kurang.
mungkin karena dianggap oleh produsernya gak komersil.
gue juga tadinya gak tertarik.
tapi pas nonton gue puas banget.
nonton deh...

sayang kalau film bagus gak ada yang nonton.

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Tuesday, April 10, 2007

A, B, C, D atau E?

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
200453720-001.jpg, www.gettyimages.com

Dunia iklan itu ternyata lebih sempit dari dunia sebenarnya.

Di dunia iklan, manusia hanya terbagi dalam 5 kasta. A, B, C, D dan E. A berarti kaya raya, B hampir kaya, C itu menengah, D miskin dan E sangat miskin. A berarti sophisticated, C-E itu norak. A berarti makan di hotel bintang 10 dan D makan di warung, E entah makan di mana. A berarti pakai baju bermerek, E compang camping.

Seperti itukah kehidupan kita?
Kehidupan saya, kamu dan dia?

Kalau menurut list yang dibuat oleh orang iklan, saya adalah kelas A. Alhamdulillah. Tapi, apa makan siang saya hari ini? Sayur asem dan pepes ikan di pinggir jalan, yang kalau menurut orang iklan itu adalah makanan kelas C, D dan E. Apa yang saya kenakan hari ini? Kaos oblong ada gambar Benyamin S dalam posisi Guevara yang saya beli di Pasar Festival obral. Yang kalau menurut catatan orang iklan, adalah kaos yang dibeli oleh kelas B & C.

Mbak Pargi. Kalau menurut daftar, maka Mbak Pargi masuk dalam kelas C. Mau tau sabun mandi Mbak Pargi? Dove. Mau tau makan siang Mbak Pargi apa? Masak sendiri dengan kualitas bahan masakan yang lebih segar dan berkelas dibanding saya. Mau tau gak HP mbak Pargi apa? Nokia yang ada kamera dan 3G!

Pernah jalan-jalan ke Pecenongan? Yang kalau menurut logika orang iklan, Pecenongan adalah warung pinggir jalan adalah murah adalah kelas CD. Mungkin kita akan terkejut melihat jejeran mobil mewah kayak di showroom semua di Pecenongan! Pernah ke supermarket di Hero Menteng? Hero Menteng adalah supermarket berkelas adalah mahal adalah AB. Siang besok ke sana deh! Mungkin kita akan terkejut melihat Mbak Pargi dan teman-temannya berbelanja untuk dirinya sendiri dan untuk majikannya.

Kulkas adalah barang mewah buat penduduk pedalaman Pulau Bangka. Seorang pekerja di tambang timah ternyata sanggup membeli Kulkas yang iklannya pake Duo Ratu. Sesampainya di rumah, dia baru menyadari kalau aliran listrik belum sampai ke rumahnya. Alhasil, kulkas itu jadi lemari baju! Atau tetangga ibu saya yang dari kelas C. Suatu hari datang bertandang ke rumah ibu saya, rencananya mau pinjam uang. Dia membawa buah tangan, 12 donut J.CO!

Entahlah, mungkin saya salah. Keliru dan tidak akurat. Tapi di dunia saya, tidak ada A, B, C, D dan E. Kaya dan miskin itu relatif. Intelektualitas pun bukan hal yang sejajar dengan kekayaan. Kaya tapi lulusan SD, bejibun. Miskin tapi terpelajar juga banyak! Di dunia saya, makanan adalah makanan. Tidak ada lagi label A, B, C. Steak dulu hanya makanan orang kaya. Sekarang semua orang bisa makan steak. Inget Abuba? Dulu burger paling cool adalah McDonald. Sekarang Blenger Burger buatan lokal yang lagi diminati.

Di dunia kreatif iklan, saya kesulitan kalau disuruh bikin iklan sophisticated atau kampungan hanya karena yang sophisticated itu untuk kelas A dan kampungan itu untuk C. Buat saya, sophisticated bisa untuk A dan bisa untuk E. Sebaliknya, buat saya, kampungan itu bisa untuk E bisa juga untuk A. Lagian, kotak dari mana lagi ini sophisticated dan kampungan. Eksklusif dan Norak. Percaya atau tidak, banyak iklan yang dimaksudkan eksklusif tapi jadi norak. Yang norak malah jadi menghibur dan elegan.

Iklan favorit saya bulan ini adalah Sejati. Kok bisa ya? Padahal, hitam di atas putih saya itu A loh! Itu iklan kan bedangdutan. Eits, siapa bilang dangdut hanya untuk E? Belakangan ini banyak banget teman-teman saya yang memasukkan ringtone lagu dangdut "SMS" ke HP-nya. Bahkan seorang Direktur perusahaan. Siapa bilang Dangdut gak cocok untuk anak muda? Inget lagu Mendadak Dangdut? Diputer di CITOS!

Lagi-lagi saya mungkin salah. Tapi saya percaya, selama iklan kita berbicara dengan bahasa kalbu, menghibur, menyenangkan, tidak ofensif, maka dari kelas apapun yang menyaksikannya pasti bisa tersentuh. Selama iklan yang kita bikin sesuai dengan kata nurani, bisa jadi semua iklan kita lintas kelas. Bahkan lintas benua dan waktu.

Saya ingin mengajak teman-teman iklan untuk mulai mempertanyakan kotak-kotak yang selama ini kita bikin sendiri. Siapa bilang wayang gak bisa buat ABG? Siapa bilang kalau untuk kelas "A" harus selalu makan di Restoran? Kata siapa C gak bisa mengapresiasi lagu klasik? Siapa bilang kalau A pasti terpelajar dan berselera tinggi?

Kotak-kotakan bertuliskan A, B, C, D dan E adalah mainan anak kecil ketika dia mulai belajar alfabet. Tapi ketika kita mulai bisa membaca, kotak-kotak itu malah jadi menghambat. Kotak-kotak itu milik mahasiswa. Ketika mulai masuk ke dunia iklan sebenarnya, maka jadikanlah dunia sekitarmu jadi inspirasi dan guru kita.

Demikian menghambat juga ketika kreatif mencari ide. Mentang-mentang di brief bilang untuk A, langsung semua ide norak dibunuh? Pas dibilang untuk C, langsung jadi Srimulatan. Dan kebanyakan gagal pula :).

Iklan adalah soal komunikasi. Dan komunikasi punya satu kesejatian. Dari hati ke hati. Dan semua manusia di dunia ini sama. Sama-sama ingin hidup enak, damai, ingin disayangi, ingin dimengerti (gak cuma wanita kayak lagu itu!). Sama-sama makan kalau lapar, minum kalau haus, sedih kalau ditinggal pacar. Semua orang bangga kalau dipuji dan semua pengen diakui. Dan lainnya.

Bukankah kesadaran ini sudah lebih dari cukup untuk mencari ide dan memahami keluarga, saudara, teman, tetangga, dan semua yang hidup bersama kita, yang oleh orang iklan dinamakan target audience. Seolah target yang siap ditembak. Penamaan yang jauh dari kesan 'manusia'. Apalagi pemahamannya.