Setelah semua 'sebutan' yang diberikan kepada gue, cd banci, biang scam, perusak dunia iklan, pelacur iklan, cina miskin, son of a pitch, tukang carmuk, jagoan PR doang, gak ngerti konsep dan banyak lagi hinaan yang sering dipakai oleh orang iklan senior untuk memanggil gue - bahkan dengan tanpa perasaan di depan banyak orang - yang terakhir adalah 'seniman'.
Sebutan ini bukan dari sembarang orang, tapi dari Narga Habib, ketua PPPI selepas mengikuti seminar di Jogja di mana gue menjadi pembicara. Sebentar gue terdiam dan agak bingung. Sejujurnya gak pernah merasa jadi seniman. Mungkin karena gue dianggap gak pantes jadi orang iklan. Tapi gue menyudahi perdebatan dalam hati itu dengan kalimat penghibu "mendingan jadi seniman deh daripada orang iklan. hehehehe!"
Di saat yang bersamaan, gue sedang dalam sebuah perjalanan mencari ide iklan cetak. Produk pemanis alami dengan target utamanya perempuan. Pengen bilang kalau pake produk ini, badan bisa langsing (seksi?). Sebelum memulai perjalanan ini gue memiliki sebuah pertanyaa Bagaimana dan referensi apa yang terbaik untuk menggambarkan perempuan Indonesia? Menurut gue, kalau pertanyaan ini bisa dijawab, akan lebih mudah mengerjakan iklan cetak baru ini.
Apa yang selama ini ditampilkan oleh majalah Popular, Playboy, FHM, dan banyak iklan-iklan pelangsing lainnya, menurut gue bukan perempuan Indonesia. Tapi perempuan Indonesia yang sedang berusaha menjadi perempuan barat. Atau perempuan Indonesia dilihat dengan kacamata orang barat.
Tetek tumpah ruah, pinggang yang sintal, pose dan tatapan menantang. Rambut kecoklatan terurai. Bukankah itu berasal dari majalah Playboy dan Vargas zaman baheula?
Perjalanan gue akhirnya sampai ke sebuah lorong panjang tahun 1940-an. Di lorong tersebut bau minyak tanah menyengat hidung. Gelap dan sunyi. Begitu sunyinya sampai hanya detak jantung gue yang terdengar. Sesekali terdengar suara orang sedang bercakap cakap dalam bahasa Belanda. Sepertinya mereka sedang berpesta. Suara gamelan kecapi suling terdengar melengkapi. Udara dingin menyerbu. Bulu kuduk gue berdiri.
Tiba tiba seseorang muncul di depan. Dengan mata sipitnya Ia menyapa:
"Apa yang kamu cari di sini anak muda?"
"Saya mencari penggambaran yang tepat perempuan indonesia."
"Mengapa kamu mencarinya di sini? Di lorong sepi ini?"
"Karena perasaan saya mengatakan apa yang ada di luar sana bukan yang saya cari."
"Mengapa perasaanmu mengatakan demikian?"
"Entahlah... saya merasa apa yang ditampilkan adalah untuk orang lain."
"Ah anak muda, membingungkan! Tapi mungkin apa yang ada di lorong ini bisa membantu."
Satu persatu lilin di tembok lorong dinyalakan dengan jarinya yang tebal terbungkus kulit yang halus. Perlahan lorong sepi itu terang. Bulu kuduk gue kembali berdiri. Satu persatu lukisan perempuan indonesia di kanan dan kiri tembok mulai terlihat. Ada perempuan bali. Perempuan jawa. Tak mengenakan kutang menenun. Rambut tergerai rapih di samping. kain melilit kepala.
Tatapan mereka tampah syahdu dan menenangkan. Mata mereka tidak menantang tapi seolah menyimpan sejuta kekuatan. Tangan mereka tidak panjang tapi lentik. Aaaaah tau deh... susah banget diomongin.
"He ehm... membantu?" kata orang tua tadi yang sekarang terlihat jelas.
Dari wajahnya ia pasti orang indonesia keturunan tionghoa.
Gue terdiam. Matanya menatap mata gue. Begitu dalam. Yang di dalam sini merasa begitu hangat. Seperti pulang ke rumah. Hati gue dielus perlahan. Yang selama ini hilang kembali.
Perlahan gue berjalan mundur. Ia tidak beranjak dari tempatnya. Sebelum sampai di ujung lorong, gue menyempatkan untuk menyapu pandangan ke kanan kiri lorong. Orang tua itu melihat gue dengan senyum dan berseru:
"Pulanglah... pulang... rumahmu di sini."
Saya tersenyum.
"Saya Glenn Marsalim."
"Oooh nak glenn... saya Lee Man Fong."
"Senang berkenalan denganmu Pak Lee."
"Kamu sampai di sini karena kamu mencari…
Hati hati di jalan!"
Born in Canton, China, Lee Man Fong’s family moved when he was young to Singapore, where he worked as a commercial artist until he got job as a caricaturist for a Chinese newspaper in Batavia (Jakarta). At the same time he was teaching himself to paint. Later he received a grant to study art in the Netherlands. Upon returning to Indonesia his talent was quickly recognized by President Sukarno and become a trusted member of the inner court. He was charged with editing a large book documenting the Sukarno collection of paintings of which he was curator. The influence of this book in the development of Indonesia painting cannot be underestimated.
Fong, often, made paintings of Balinese subjects. Some of these were clearly based on Willem Hofker’s work. He also did a series of large paintings depicting various activites in Bali’s daily life which are remarkable. Fong was a versatile painter skilled in both western oil painting style. After the fall of Sukarno, Fong retreated into private life until his death in 1988.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
8 comments:
Dear Cd banci, biang scam, perusak dunia iklan, pelacur iklan, cina miskin,
son of a pitch, tukang carmuk, jagoan PR doang,
Amigos para siempre!
cd banci bwahahahaha =))
kadang kita terlalu jauh mencari apa yang kita cari...
hmmm ... setelah perjalanan panjang 'menembus waktu' itu ... jadi penasaran ingin lihat iklan cetaknya :)
ah! lee man fong.
kesukaan saya dan paman soekarno :)
Dalam sebuah obrolan dengan rekan senior yang memutuskan tidak lagi pakai HP, ia bercerita tentang teman "seperjuangannya" yang juga hidup tanpa HP. Oleh lawan bicaranya, orang itu ditanya kenapa tidak pakai HP, kan bisa mempermudah hidupnya. Ia menjawab:
"Lu kira hidup gua nggak mudah?"
Perempuan Indonesia yang benar itu sudah manis secara alami, nggak butuh pemanis lagi :p
glenn, semoga sukses...:)
Kalo kata gue, Mas Glenn, Perempuan Indonesia jaman Lee Man Fong ama jaman Jajang C Noor, laen banget. Kalo dulu, ga' pake penutup toket, namanya ngikutin tradisi. Kalo sekarang ga' pake penutup toket namanya pendobrak :)
Post a Comment