Monday, May 08, 2006

Buang-buang Uang dan Waktu Cara Iklan

Seorang teman make up artist pernah berceloteh dengan genitnya:
"Bo... kalau gue make up-in penganten, gue dibayar 10-15 juta sehari.
Gue dateng pagi, make up-in dua jam. Abis itu gue tidur.
Terus sorenya, gue temuin lagi pengantennya,
touch up sana sini, ganti dikit-dikit sana sini.
Selesai.

Nah, sekarang loe bayangin deh, malamnya,
semua make up gue itu kan dihapus buang ke tong sampah
bersama kapas-kapas.
Berarti 10-15 juta yang dikasih ke gue
nilainya gak lebih dari 12 jam selama pesta pernikahan itu doang?!"

Sekarang, coba kalau kita pikirkan dengan dunia iklan.
Untuk bikin sebuah TVC 30" kita butuh kurang lebih sebulan sampai 3 bulan.
Idealnya, ngegarap konsep sampai jadi storyboard, 2 minggu.
Terus present ke klien, bolak balik revisi, 3 minggu.
Terus FGD, kurang lebih 2 minggu lagi.
Terus preparation shooting, shooting, offline, online, 2 minggu lagi.
Total 12 minggu. 3 bulan lah.

3 bulan untuk sebuah tvc 30 detik!
Syukur kalau memang iklannya menarik dan produknya bagus.
Kalau enggak?
3 bulan waktu, tenaga dan uang senilai milyaran rupiah, terbuang sia-sia.
Sama seperti kapas penghapus make up.

"Makanya bikin iklan yang bagus dong!
Yang umurnya panjang dan bisa ngedongkrak sales
selama 30 tahun! Loe kan yang orang iklan!"
Mungkin begitu garis besarnya kata orang.

Tanpa bermaksud membela diri,
konsumen kita semakin lama semakin pinter.
Semakin tahu kalau iklan gak lebih dari sekedar informasi dan hiburan.
Tak lebih dari sekedar pengganggu saat mereka nonton sinetron kegemaran mereka.
Dan, konsumen berhak dan akan selamanya memilih
apa yang mereka mau dengar, lihat, rasa dan pahami.

Bagaimana kalau memang produknya yang memang gak bagus?
Produknya yang memang gak sesuai kebutuhan?
Mau satu trilyun sekalipun uang dihamburkan untuk iklan,
bisa dipastikan akan terbuang sia-sia.

Terkadang sebagai orang iklan,
hanya bisa menelan ludah ketika menyadari bahwa produk
atau apapun yang hendak diiklankan, tidak ada nilainya.
Tidak ada kelebihannya. Dan yang terparah, tidak ada kebutuhannya.

Bagaimana mau menjelaskan ke klien?
Mungkinkah saya mengatakan "duh maaf, kayaknya produk loe
gak akan laku deh?"
Sebelum saya selesai menjelaskan bisa jadi klien udah cari agency lain.
Jelas, karena klien sudah investasi.
Mendatangkan mesin dari Cina untuk memproduksinya.
Membayar milayaran untuk desain packaging dari desainer kelas dunia.
Semua siap, tinggal diiklanin.

Memang, tidak ada yang bisa ditebak hari begini.
Yang kita kira akan gagal ternyata sukses. Demikian sebaliknya.
Kalau begitu mengapa tidak kita memulainya dengan sederhana.
Bisa dengan promo-promo kecil bekerjasama dengan merek lain.
Atau dengan menyebarkan sampling kecil-kecilan di berbagai tempat.
Sehingga kita bisa mengetahui kesiapan dan penerimaan konsumen
terhadap produk baru kita.

Saya bukan orang yang terlalu ngefans sama FGD.
Banyak produk yang ketika di FGD memberikan hasil positif.
Tapi ketika benar2 diluncurkan, hasilnya tidak memuaskan.
Saya pikir karena semua orang akan menjadi orang lain.
Ketika di depannya disodorkan microphone,
di ruang kecil dengan 20 orang lain.
Dan merasa sedang diperhatikan oleh orang lain
di balik kaca satu arah.

Kalau kita pikir, banyak merek-merek yang berjaya
tanpa menghamburkan milyaran rupiah di iklan.
J.Co, Roti Boy, Breadtalk, Bakmi Gajah Mada,
Gado-gado Boplo... Kok makanan semua?
OK... bagaimana dengan Bin House, sendal jepit Swallow,
lem Aica Aibon, Retsleting YKK, Mak Erot, dan lain-lain.

Kalau kita perhatikan, merek-merek di atas punya satu kesamaan.
Produk mereka memang bagus, dan... sesuai dengan kebutuhan konsumen.
Menjawab keinginan konsumen.

Di tengah keadaan krisis seperti sekarang,
sepertinya usaha untuk semakin memahami konsumen dan
menekan ego untuk buru-buru untung dan kaya raya menjadi pilihan terbaik.

Sayangilah dan bertemanlah dengan konsumen.
Berikan hanya yang terbaik.
Jangan membohongi apalagi menyiasati konsumen.
Dan semakin hari konsumen semakin pintar
dan tidak bisa dibohongi lagi.

Seorang pernah berkata,
kalau kamu orang iklan atau marketer canggih,
kamu bahkan bisa menjual seonggok batu kali.
Seharga jutaan rupiah.

Pertanyaannya sekarang,
apakah kita mau menjual batu itu
ke ibu kita, ke kakak kita, ke pacar kita, ke anak kita,
ke saudara kita?
Atau maukah kita membeli batu itu untuk diri kita sendiri?

7 comments:

Anonymous said...

yupe, klient itu emang pinter,kadang lebih pinter dari kita...
this is no "yes im agreed with you too" situtation.
this is fact.

sebalnya di kalangan seprofesi (tukang foto)
palagi yg junior, dodolnya mereka masih sering dengan santai bilang
"halah, mereka mana tau klient) masalah2x itu, cuek ajah"

gila ya, kalo etosnya kayak gitu mo gimana mereka entar :(
jadi curhat deh :(

Stevie Sulaiman said...

Welcome to generation instant, where opportunists are everywhere.

Anonymous said...

Long beach cigarette campaign....
De Ja Vu yah Glenn.

Inge

Anonymous said...

klien ingin melihat apa yang ingin mereka lihat.
dengar apa yang mereka ingin dengar
research data dibaca sebatas angka-angka spt voting dpr
metode kualitatif digunakan karena lebih murah
dan dijadikan single mind perception
padahal udah tau kalo pasar semakin sempit dan udah susah nerima yg baru. jadi main lahap lahapan lahan brand laen. tambahin added value. which is their belief, not consument's

that's the problem me guess...

Enda Nasution said...

paradigma bayaran agensi harus diganti juga. coba kalo ada insentif sekian persen dari sales masuk ke agensi, maka agensi punya tanggung jawab moral buat NOLAK produk/brand yg ga akan laku, karena BUANG2X WAKTU, which is kita sama2x tahu = DUIT hehe.

btw, apa jadi makeup artist aja ya, 15 juta sehari asik juga, tapi harus banci ya bow? :p

Anonymous said...

"Di tengah keadaan krisis seperti sekarang, sepertinya usaha untuk semakin memahami konsumen dan menekan ego untuk buru-buru untung dan kaya raya menjadi pilihan terbaik."

produsen dan pabrikan musti baca nih
sepertinya sudah terlalu sering pengiklan
dipaksa untuk mengiklankan
produk-produk yang gak bagus
dan gak dibutuhkan

Anonymous said...

"Saya bukan orang yang terlalu ngefans sama FGD.
Banyak produk yang ketika di FGD memberikan hasil positif.
Tapi ketika benar2 diluncurkan, hasilnya tidak memuaskan.
Saya pikir karena semua orang akan menjadi orang lain.
Ketika di depannya disodorkan microphone,
di ruang kecil dengan 20 orang lain."

Salam kenal & numpang komentar ;) Mendarat di blog ini ketika googling sesuatu, yg sekarang saya malah lupa cari apa ;)

Mmm.. kebetulan saya seorang marketing researcher (specializing in qualitative technique), dan beberapa kali saya mendengar komentar yg mirip dgn kutipan di atas.

Yang bisa saya bilang hanya: definitely there is something WRONG with your FGD ;)

Pertama, sebuah FGD baru bisa efektif jika ada 4 - 8 orang SAJA dalam sebuah grup. Kalau dalam satu ruangan ada 20 orang, secara metodologis sudah memperbesar kemungkinan bias ;). Saya selalu tekankan pada klien2 saya bahwa FGD itu adalah masalah menemukan pola, bukan "bentuk minimalis studi kuantitatif" alias menghitung banyaknya respons dgn responden yg sedikit. Jadi tidak perlu banyak responden, tapi pastikan hasilnya berkualitas.

Kedua, semua teknik kualitatif, termasuk FGD, objective-nya adalah untuk EKSPLORASI. Jadi kalau mau melihat apakah hasilnya positif atau negatif, yang lebih tepat memang menggunakan Pre-test dan Post-test secara kuantitatif. FGD sejatinya tidak bisa digunakan untuk pre-test dan kemudian dibandingkan hasilnya dgn kenyataan setelah launching di pasaran. FGD lebih untuk melihat apakah ada gross negatives dan apa saja bagian yg perlu dipertimbangkan lagi dari sebuah iklan.. ;)

Hehehe.. sama seperti Anda yg merasa "tidak dimengerti kesulitannya" oleh klien, saya sebagai marketing researcher juga sering merasa "tidak dimengerti" dengan pendapat seperti pendapat Anda di atas ;)

Salam,