Monday, July 30, 2007

Borobudur

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

While God waits for His temple to be built of love,
men bring stones. - Rabindranath Tagore



Tagore himself visited Japan several times, and Japanese haiku were translated into Bengali by Tagore early in the 20th century. However, Kalyan Dasgupta writes in 2001 that to this day, haiku as a literary expression does not seem to evoke much more than a queer reaction among the general reading public in either West Bengal or Bangladesh.

And so, when he published Jaapaani Haaiku (Calcutta: 2000)--a Bengali anthology of Japanese haiku--Dasgupta felt the need to describe for his readers "what the Japanese have sought from haiku," including "elegance" and "simplicity." Such information on how to receive haiku is essential if one wishes to import the form to a non-Japanese language and culture.

The title of this poem, ‘Fireflies’, comes from the first verse of the bilingual ‘Lekhan’ (1926)—‘My fancies are fireflies. . .’ It consists of 256 epigrams and short verses and shares structural similarity with Tagore’s other notable epigrammatic poem, ‘Stray Birds’. These poems resemble the sayings of a wise man rather than poetry. The possibility of the influence of Japanese Haiku can be suggested. The compact style conveys memorable poetic expressions with great force and intensity. The brevity and crispness of these verses combined with the wit and wisdom contained in them make these poems extremely delightful and reader friendly. The Bengali version of some these poems are also to be found in ‘Sphulinga’ (1946) apart from ‘Lekhan’.

The beautiful promenade on the shore of lake Balaton was named after Rabindranath Tagore (it was called Kolos promenade, then Deák promenade previously). The world-famous Hindu poet heart disease was treated here in 1926. He completed the ‘Fireflies’ during this stay in Balatonfüred. After his recovery he planted a lime-tree in the health-park. This act was motivated by an old Indian legend saying that if the tree takes root, its planter will live long so that he or she can see the new sprouts. "If I am not present in this world any more, oh my tree, let your new leaves rustle in spring above those who roam about; the poet loved you until his death." - wrote the poet. In fact, Tagore lived for another 17 years after having planted the tree. A Hindu grove has been created around the memorial tree and statue of the poet in the past decades. Several presidents of the Indian Republic including Indira Gandhi saluted the memory of Tagore by planting trees.

Monday, July 23, 2007

Di Sela-sela Nyari Duit

Gue menyempatkan diri untuk baca-baca buku. Kadang-kadang ada aja yang minta saran untuk beli buku. Gue suka bingung juga, karena gue sendiri kalau ke toko buku ya pasti bingung mau beli yang mana. Buka satu-satu baca sedikit-sedikit untuk cari tau isi bukunya, baru dibeli.

Nah kali ini gue mau kasih resensi buku-buku yang menurut gue bagus dan pantas untuk dibeli.

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

1. Gitanjali - Rabindranath Tagore

Buku ini adalah salau satu masterpiece dunia dan pernah memenangkan hadiah Nobel di tahun 1913 untuk literatur. Ditulis oleh Tagore yang banyak dipengaruhi oleh Gandhi di mana kemerdekaan berpikir menjadi begitu penting.
W.B. Yeats 1865-1939, penulis puisi besar dari Irish dan pemenang hadiah Nobelmengatakan bahwa puisi dan pemikiran Tagore "This work has stirred my blood as nothing for years..."
Tagore dalam Gitanjali menekankan pentingnya kemerdekaan dan pembauran ide dan nilai (dari berbagai bangsa) untuk lahirnya dunia baru yang lebih luas dan saling menghargai.

Where the mind is without fear
and the head is held high;
Where knowledge is free;
Where the world has not been broken up
into fragments by narrow domestic walls;
Where words come out from the depth of truth;
Where tireless striving stretches its arms towards perfection;
Where the clear stream of reason has no lost its way
into the dreary desert sand of dead habit;
Where the mid is lead forward by thee into ever-widening thought and action ---
Into that heaven of freedom, my Father,
let my country awake.

Idola baru gue: Rabindranath Tagore.
Harganya: Rp 76.000,- di Kinokuniya

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

2. The Dip - Seth Godin

Secara mengejutkan Godin kali ini menelurkan coffee-table book. Dan isinya buka soal teori-teori marketing seperti biasanya, tapi seperti tagline di judulnya "A little book that teaches you when to quit (and when to stick)

Sedari kecil, kita selalu diajarkan untuk tidak pernah menyerah. Tapi di buku ini, Godin mengatakan bahwa banyak orang-orang besar dan pemenang dunia, menyerah dan kalah sebelumnya. Tapi semua tergantung dari keadaannya dan bagaimana kita bisa membaca situasi. Seperti kata orang "you do not have to win all but pick your battle!"

Godin membaginya dalam 3 keadaan, The Dip, The Cul-De-Sac dan The Cliff. The Dip adalah keadaan di mana kita tidak boleh menyerah, The Cul-De-Sac seperti namanya, jalan buntu, yang berarti saatnya untuk menyerah dan The Cliff yang menawarkan kita untuk sedikit nekad dan berani meloncat.

Lumayan menyegarkan di tengah terpaan kerjaan yang bikin kita bingung 'mesti ngapain ya?'
Harganya Rp 129.000,- di Aksara

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

3. 1001 Paintings You Must See Before You Die - Geoff Dyer/Stephen Farthing

Salah satu cita-cita dalam hidup gue adalah pengen mengembara keliling dunia dan melihat lukisan-lukisan kelas dunia dengan mata kepala gue sendiri. Monalisa, Sunflower, The Last Supper, Sistine Madonna dan lainnya.

Bukan pesimis, tapi sepertinya cita-cita itu hanya milik para milyarder. Selain biaya transportasi akomodasi, tak semua lukisan dunia itu bisa dilihat oleh orang biasa. Ada banyak yang sudah menjadi koleksi pribadi bangsawan dan taipan dunia. Pun bisa dilihat di museum, seringkali karya agung dunia itu direstorasi dan disimpan dalam lemari besi.

Buku ini benar-benar menghibur! Tak hanya lukisan, tapi juga sedikit cerita tentang pelukisnya dan mengapa lukisan itu menjadi begitu istimewa dalam perjalanan seni dunia. Perjalanan dimulai dari Pra-1400 sampai 1900-an.

Tebal dan menurut gue, setiap Art Director harus punya buku ini. Akan membuka pikiran dan cakrawala baru. Bagaimana para pelukis dunia berkomunikasi.
Harganya Rp 274.000,- di Aksara

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

4. What Would Buddha Do? dan What Would Buddha Do at Work?- Franz Metcalf

Agama Buddha, adalah salah satu agama yang menarik perhatian gue. Entah kenapa, bagi gue, Buddha itu adalah puisi. Kepelikan dunia menjadi begitu sederhana dan jernih. Kadang gue sering tercampur baur dengan Haiku dan Zen.

Sampai akhirnya gue menemukan buku ini. Di dalamnya berisikan pertanyaan-pertanyaan seperti What would Buddha do about matterial possesion? What would Buddha do about women's right? What would Buddha do about angry clients? What would Buddha do about lazy employee? What would Buddha do about affair at works? Dan ratusan pertanyaan-pertanyaan relevan dan sehari-hari yang dijawab dengan sangat sederhana tapi dalam.

Franz Metcalf meramu jawaban-jawaban dari kitab-kitab dan interpretasinya. Menarik untuk dijadiin hadiah untuk karyawan atau boss.
Harganya seratusan lebih, ada di Kinokuniya dan Etnobook.

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

5. The Sacred East - General Editor C. Scott Littleton

Seperti yang gue tulis di atas, gue sering bingung membedakan antara Buddha, Hindhu, dan Konghucu. Haiku itu Buddha atau Hindhu sih? Zen?

Nah di buku ini, semua dijelaskan lengkap dengan sejarahnya. Mulai dari arti setiap simbol sampai tata krama keagamaan. Menjawab keraguan adanya penyembahan berhala yang selama ini dijejalkan ke otak gue sejak SD. Sampai tentang maksud ritual keagamaan yang pada dasanya menjadikan manusia menjadi lebih baik dan menjaga hubungan rumah tangga.

Menariknya, karena buku ini ditulis oleh orang barat, beberapa ide-ide besar yang selama ini seolah berasal dari barat ternyata telah merasuki perbendaharaan barat. Seperti Karma, meditasi dan kebangkitan.

Harganya seratusan juga di Etnobook