Sunday, January 11, 2009

Things I Have Learned - Stefan Sagmeister



Buat pada fans Stefan Sagmesiter,
buku ini keren abis!
Isinya kompilasi porto dari Stefan.
Dan yang bikin menarik,
buku ini gak hanya kasih liat gambar,
tapi Stefan gak lupa menuliskan cerita, konsep, ide
dan pemikirannya di balik setiap karya.

A MUST HAVE buat para graphic designer,
dan orang iklan yang doyan hal-hal seru!

Advertising Next - Tom Himpe



Buat yang udah lama nyari buku kompilasi iklan-iklan non-conventional,
menurut gue buku ini bisa jadi menarik.

Kenapa?
Karena memuat 150 kampanye iklan ambient, online, dan sejenisnya yang telah memenangkan penghargaan iklan internasional.
Kenapa?
Karena di buku ini bukan sekedar gambar-gambar, tapi tertera sedikit penjelasan tentang studi kasusnya.
Kenapa?
Karena di buku ini juga ada salah satu karya JWT Indonesia.

Gue menemukan buku ini di Periplus, Plaza Indonesia.
TAPI,
sampulnya gak seperti ini. Isinya sama.

Harganya agak lumayan mahal.
TAPI
kalau buat ilmu jadinya pantas untuk dibela.

Pasti banyak contoh iklan yang kita udah pernah liat.
TAPI
lebih banyak yang belum. Dan jangan lupa, studi kasusnya itu tadi.

Selamat berburu!
(di Periplus Plaza Indonesia tinggal 1 copy)

Thursday, January 08, 2009

Tarif Freelancer

Setidaknya setiap bulan, ada 3 pertanyaan dari teman-teman freelancer soal harga. Dan pertanyaan standarnya adalah:

"Berapa sih standar-nya?"

Jawaban gue selalu sama. Dan makanya mungkin dengan gue posting di sini, bisa menghemat pulsa untuk sms atau telepon gue. Jawaban gue itu adalah:

"Tidak ada standarnya."

Lah terus gimana dong? Ya gak gimana-gimana. Inilah salah satu kemewahan freelancer. Setiap freelancer berhak untuk menilai dirinya masing-masing. Beda orang beda standar. Dan sekarang gue akan bercerita tentang bagaimana harga pula lah yang mematikan banyak freelancer, sehingga balik jadi karyawan lagi.

Dari awal gue menjadi freelancer, sekitar 3.5 tahun yang lalu, gue memutuskan bahwa sebelum gue bisa membuktikan bahwa gue berguna sebagai freelancer, maka gue gak akan ngecharge. Sebelum gue mampu memberikan lebih dari sekedar yang diminta, jangan harap gue minta harga.

Makanya kalau ada yang sebar-sebar bilang gue mahal, gue setengah mau ketawa dan terganggu juga. Tapi sudahlah. Biar Tuhan yang mengatur.

"Berapa, Glenn?" tanya salah seorang pemilik agency. Jawaban pertama gue selalu sama "terserah aja. Budget loe berapa? Gue nurut aja".
Di awal-awal memang terkesan membingungkan. Tapi seperti ada kode tak tertulis. Makin hari jumlah bayaran yang gue terima semakin sama.
Yang rendah menaikkan bayaran mereka dengan sendirinya.

Ada banyak freelancer yang tidak setuju dengan pemikiran dan gaya gue ini. Kata mereka kita harus bisa menghargai diri kita sendiri. Yah, terserah aja lah. Tiap orang boleh dong punya pemikirannya sendiri-sendiri.

Masalahnya banyak yang kemudian gagal jadi freelancer karena harga yang dipasang tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan. Nah loh! Klien kecewa dan freelancer itu tidak dipakai lagi.

Gue pernah tau seorang freelancer yang nge-charge 20 juta untuk kerjaan desain sederhana selama 3 hari. Gue juga pernah tau ada yang ngecharge 100 juta untuk pitch seminggu. Waktu awal-awal denger itu, iri juga sih. Pengen rasanya bisa terima uang sebanyak itu. Tapi... ya itu... percaya gak percaya, satu-satu dari mereka mulai berguguran. Akhirnya balik deh jadi karyawan lagi. Atau ya... menganggur.

Gue bukan bilang, menghargai karya sendiri itu salah. Tapi harus tau diri juga. Kalau nanti terbukti hasil kerjaan kita bisa membantu agency menang pitching. Kalau nanti ternyata kerjaan logo kita membantu klien semakin makmur dan logonya dipunji kolega mereka. Kalau nanti fakta mengatakan bahwa karya kita melebihi dari ekspektasi. Masak sih, harga kita gak naik dengan sendirinya?

Dan jangan lupa. Tuhan Maha Tau.

Ok, buat yang percaya sama gue begini cara menilainya.
Misalnya kamu dapet kerjaan selama seminggu. Dan untuk itu kamu dibayar 3 juta.
Kesannya kecil ya...

Tapi coba kamu liat lagi, dalam seminggu itu kamu ada kerjaan yang lain kah?
Kalau gak ada, kenapa gak diambil aja. 3 juta seminggu berarti 600 ribu setiap hari.
Besar juga kan?

Pikirin soal tagihan HP, listrik, air, yang bisa tercover dengan bayaran itu.
Ketimbang ditolak hanya demi mempertahankan idealisme gak mau dibayar murah?

Selalu coba balikan ke diri kita masing-masing. Cobalah untuk realistis dan tidak sombong. Selalu ingat di atas langit masih ada langit.

Dan, gak usah tengok kanan kiri. Si anu kok dibayar lebih mahal ya? Ya biarinin aja. Rezekinya dia. Kalau memang kita bagus, insya allah harga kita akan naik dengan sendirinya. Dan ketika itu lah, "gengsi" sesungguhnya dari seorang freelancer.

Lagi-lagi ini adalah yang gue lakukan.
Alhamdulillah selama 3.5 tahun ini, gue bisa bertahan.

It's ONLY Facebook!

Suatu hari gue menerima message di tembok Facebook dari seorang teman lama. Teman gue ini, terkenal pandai, cerdas, pemikir ulung, terkenal dan kaya raya. Pokoknya kombinasi seimbang antara brain, beauty and behavious! Gue bangga banget bisa temenan sama dia.

Isi message itu adalah:

"BUSET temen loe sampe 1200 an lebih! Emang loe kenal semua?"

Message di wall itu gue cuekin karena gue merasa message tersebut hanya sekedar untuk menyapa gue aja.

Gue cuma bales:

"WOI! Apa kabar loe?"

Gak dibales.

Akhirnya di pameran Citra Pariwara kemaren, kebetulan gue dan dia papasan lagi. Dengan spontan gue menyapa cium pipi kanan dan kiri sambil setengah berteriak:

"Woiii apa kabar sayuuuur"

Eh gak disangka gak diduga, pertanyaan pertama dia tetap sama:

"Emang temen loe di Facebook sampe ribuan gitu?!"

Kali ini nadanya agak sedikit sinis dan melecehkan. Seperti biasa, gue paling bisa mengontrol serangan seperti ini. Dengan santai gue menjawab:

"Ah ya enggak laaaah itu kan banyak mahasiswa. Lagian banyak kok kenalan baru di situ. Ya gue sih enggak apa-apa lah. Seneng-seneng aja!"

Dengan wajah setengah nyinyir dia berkata lagi:

"Menurut gue itu ego booster (agak lupa kata-kata persisnya -red) loh kayak gituan!"

Karena gue merasa diskusi seperti ini gak penting, akhirnya gue merespons dengan tertawa aja. Diringin pertanyaan "eh gimana menurut loe nih iklan-iklan?" Pembicaraan pun beralih. PUGH! Lega juga.

Sampai suatu saat kita mengadakan pesta perpisahan. Dia akan hijrah ke luar negeri. Pesta perpisahan itu dihadiri oleh beberapa teman lama gue di kantor yang lama. Di tengah keseruan membahas masa lalu, tiba-tiba teman gue bertanya setengah berteriak sehingga seluruh teman mendengar:

"Eh Glenn, emang loe kenal semua sama temen loe yang ribuan itu di Facebook?"

Gue agak syok sedikit. Gue pikir udahan topiknya. Akhirnya gue tertawa aja. Sambil berkata:

"Ah itu kan cuma Facebook. Bukan Heartbook. Siapa yang ada di hati gue cuma gue yang tau kaaaan?"

Pugh lega lagi untuk kedua kalinya.

---

Dua hari ini gue agak rajin nulis dan upload di Facebook, Multiply, Blogspot gue. Dan dalam hitungan jam, lumayan banyak respons dari teman-teman lama yang bikin gue jadi inget lagi sama mereka. Dan yang lebih serunya, ada juga teman-teman "baru mulai kenalan" di Facebook yang sekalian komen sekalian ajak kenalan.

Gue seneng. Karena buat gue, bukan urusan kenal gak kenal. Bukan urusan teman atau bukan teman. Tapi Facebook semacam sarana untuk berhubungan dengan teman yang sudah kita kenal, dekat ataupun selintasan. Dan sarana untuk memulai hubungan pertemanan baru. Gak ada salahnya dengan itu semua kan?

Seandainya teman lama gue itu masih ada di sini, gue pengen bilang:

"Jangan terlalu serius lah. Buat gue, it's only Facebook!"

----

Dan hari ini, sebelum gue menulis postingan ini, seorang teman yang termasuk dalam gang Brain, Beauty dan Behaviour baru masuk ke dalam Facebook. Tulisannya berjudul:

What happened to the thousand masks of us in this Facebok?

Di tulisan ini, dia menyampaikan bahwa setiap orang memiliki "topeng" nya yang akan kita pilih untuk dipakai saat masuk dalam komunitas yang berbeda. Dan itulah sejatinya manusia. Keberadaan Facebook ini mengenyahkan itu semua karena Facebook membuka banyak hal tentang diri kita. Bagi dia ini menakutkan.

Tidak ada yang benar atau salah. Tapi gue jadi salah tingkah sendiri sekarang. Gue yang terlalu santai dalam menyikapi Facebook, atau mereka yang terlalu serius? Atau dua-duanya sah-sah aja? Lalu kenapa kalau gue santai, diserang 3 kali?

1 Corinthians 13:11

When I was a child, I spoke as a child, I felt as a child, I thought as a child.
Now that I have become a man, I have put away childish things.

Wednesday, January 07, 2009

Cinta Saat Ini

Semalam, gue ngobrolin soal cinta. Soal yang udah lama banget gak pernah jadi topik yang menarik perhatian gue selama ini. Ini semua bermula karena gue baru kenalan sama seorang teman baru. Dia pada intinya curhat soal pengalaman cintanya, lika-liku asmaranya, bahkan masa lalu kekasihnya!

Gue mendengarkan dengan asiknya. Bahkan di kepala gue tergambar storyboard yang menarik. Setiap katanya seperti dalang dan gue pasrah untuk masuk dalam cerita cinta teman baru ini. Cerita cinta yang hampir gak pernah jadi bagian hidup gue, benar-benar mengasyikkan untuk didengar.

Bahkan bagian terburuk cerita cinta sekalipun, tetap menarik buat gue.

Di tengah keasyikan itu, jantung gue kayak berdebar ketakutan. Gue takut banget kalau kata-kata itu akan keluar. Sumpah mati gue gak mau. Tapi memang sepertinya sudah menjadi aturan tak tertulis sebuah pertemanan untuk balik bercerita. Untuk membuka diri. Kata-kata itu adalah "kalau loe gimana?"

Dengan kepala kosong dan tanpa niat apapun gue pun bercerita soal cerita cinta gue. Cerita yang begitu asing buat gue. Cerita yang dimulai sekitar 10 tahun silam ketika gue memutuskan bahwa lebih baik sendiri. Karena dengan sendiri, gue bisa lebih bebas untuk menjalani hidup. Lebih bebas untuk menjadi diri sendiri. Dan gue bisa dengan maksimal menjalani pekerjaan gue. Bersosialisasi. Semua tanpa batasan.

Sampai akhirnya dua tahun yang lalu, gue membuat sebuah teori berdasarkan pengalaman hidup gue. Banyak kenalan, rekan, klien, teman, teman dekat, yang ketika ia masih single saat usia mulai bertmnbah (40 tahun ke atas), berubah. Entah mengapa, mereka jadi begitu sinis terhadap kehidupan. Pahit, terhadap banyak hal. Semua hal di dunia ini salah dan kurang. Dan hanya dia lah yang paling benar dan sejati. Hanya dia yang tau segala hal. Yang lain itu bodoh. Yang lain itu dangkal.

Alih-alih bertambah bijaksana, gue melihat kegetiran hidup yang sepi.

Saya 35 tahun. Masih ada 5 tahun untuk berubah. Untuk ancang-ancang agar tidak jadi bagian dari itu semua.

"Coba deh mulai membagi hidup kamu dengan yang lain. Karena dengan berbagi kamu bisa lebih menikmati dan menghargai hidup" kata seorang ibu angkat ke gue ketika gue menceritakan kegelisahan gue ini. "Glenn gak mau jadi kayak gitu kalau tua nanti. I want to grow old graciously. Glenn pengen lebih bijaksana" begitu kata gue.

Dengan saran itu gue mulai mencoba membagi kehidupan gue dengan yang kurang beruntung. Yatim piatu, anak putus sekolah, pengemis dan lain-lain. Mengajar di sana-sini kalau pas bisa. Secara teratur mendermakan sebagian penghasilan. Ternyata, kebaikan lain yang gue dapat. Kali ini gue berani jadi saksi:

"The more you give, the more you get!"

Entah siapa yang pernah bilang begitu. Tapi itu benar-benar terjadi. Rezeki, rahmat, anugerah, seolah tak pernah berhenti mengalir dari Tuhan. Dan lidah seperti gak pernah cukup untuk bilang Alhamdulillah.

Dua tahun berjalan, namanya manusia, gak pernah ada puasnya. Gue merasa gue tetap perlu teman hidup. Teman untuk berbagi hidup gue. Gue gak perlu untuk jatuh cinta sama dia. Tapi gue perlu untuk bisa berbagi hidup gue dengannya.

Demikian gue mengakhiri cerita cinta gue.

Gue gak lagi cari orang untuk jatuh cinta.

Tapi gue lagi cari orang untuk berbagi hidup gue.

Itu lebih dari cukup untuk gue.

Saat ini.

Friday, January 02, 2009

Terima Kasih, Amerika



Tahun 2008 baru saja menyelesaikan tugasnya. Tahun 2009 baru terima serah jabatan. Seperti di setiap awal tahun, banyak dari kita yang melakukan 2 hal. Melihat ke tahun kemaren, dan mempersiapkan tahun yang akan datang.

Melihat ke tahun 2008, adalah tahun yang penuh dengan pembelajaran. Banyak kejadian yang membuat gue mengubah cara pandang terhadap kehidupan ini. Meluaskan perpektif tentang banyak hal. Dan kebetulan 2 pelajaran besar itu berawal dari ruang kelas bernama Amerika.

1. Barrack Obama

Ketika lingkungan sekitar gue bergembira, gue ada pertanyaan dalam hati "emang yakin ya dia ini bakal ok? hehehehe". Tapi ada satu hal yang gue pelajari. Pelajaran itu adalah tentang mimpi. Tentang harapan. Tentang cita-cita.

Semua bisa terjadi. Semua mungkin. Semua bisa. Selama ada keinginan kuat, ada kerja keras, ada keringat dan air mata, insya allah semua itu mungkin.

Semenjak saat itu gue berkata dalam hati, mulai saat ini, kalau ada satu manusia di muka bumi ini yang berkata atau berniat mematahkan impian dan cita-cita, maka manusia itu tidak berhak untuk hidup dekat dengan kehidupan. Karena kehidupan adalah soal impian, harapan dan cita-cita. Lawan dari ketiga hal itu, membujuk pada kematian.

2. Krisis Global

Gue inget banget di awal-awal krisis global ini mulai marak, seorang teman menulis di multiply "BE AFRAID". Saat itu tulisan itu gue lawan dengan ngototnya. Mau takut apa? Takut miskin? Takut lapar? Takut dipecat? Bukankah hidup kita sepenuhnya milik Tuhan? Dan kita hanya menjalankannya dengan sebaik-baiknya?

Kalau ngomong hidup susah, semenjak gue lahir di Indonesia, hidup memang tak pernah terlalu mudah dan nyaman. Cari uang susah, fasilitas negara buruk, jaminan masa depan rendah, dan lainnya.

Sesudahnya teman gue meralat maksud "BE AFRAID" nya itu. Yang dimaksudkan adalah agar kita lebih mawas. Lebih hati-hati dalam berbelanja. Lebih irit. OK deh... "udah dari dulu Yas... loe aja yang hedon! Heheheh!"

Tapi satu hal yang luar biasa yang gue pelajari dari krisis yang dimulai dari Amerika ini. Negara Adi Daya. Maha segalanya ada di Amerika. Pelajaran itu adalah soal, kemungkinan. Semua itu mungkin terjadi. Siapa bisa mengira bahwa krisis ekonomi ini bisa terjadi di Amerika.

Di negara yang dipenuhi dengan orang pandai, cerdas, intelek, bagaimana mungkin krisis sebesar ini tidak bisa diatasi dengan cepat? Di negara yang serba penuh persiapan, cenderung parno, dan bahkan sibuk mengingatkan negara lain untuk bersiap-siap, kok bisa tidak mengantisipasi krisis sebesar ini?

Karena semua mungkin terjadi, maka semua manusia sama. Tak perlu kagum dengan orang pandai, tak perlu hina dengan orang bodoh. Yang pintar bisa jatuh yang bodoh bisa naik. Tak perlu mengidolakan orang kaya, tak perlu mengecilkan orang miskin. Karena yang kaya bisa jatuh miskin di 5 detik ke depan dan di detik yang sama yang miskin bisa jadi kaya.

Semenjak saat ini pula semua adalah teman. Mari kita berjalan bersama. Tak perlu lah berjalan di depan atau di belakang. Kamu tak lebih dan tak kurang dari siapapun di dunia ini. Yang sedang di atas tak perlu membusungkan dada. Yang di bawah tak perlu menunduk. Semua ada perannya. Semua saling membutuhkan. Dan semua berputar.

---

Menjelang akhir tahun seperti biasa gue mempersiapkan sms ucapan. Dan tahun ini, gue mengambil quote dari Woody Allen seperti yang ada di tulisan gue sebelumnya.

"If you want to make God laugh, tell Him your plans" - Woody Allen

Ada banyak sekali reply yang menarik, lucu dan dalam seperti:

"I will coz God loves to laugh...:-)"

"I only have pasrah"

"Thank God I don't have any beside wishes"

"Hahahaha that's why i never have plans. Just go with the flow..."

Dan masih banyak lagi. Tapi ad satu reply yang sangat manis dan ketika gue membacanya bulu kuduk gue berdiri sebentar, dan mata gue terasa agak panas:

"I do not have plans, glenn. But i have wishes, hope and dreams that surely will make God so proud of me."

Thursday, January 01, 2009

Selamat Tahun Baru 209

dari kemeriahan jakarta menyambut tahun baru 2009.







silakan klik:
http://glennmarsalim.multiply.com/photos/album/91/Malam_Tahun_Baru_2009_-_Jakarta_Ane_Emang_Gak_Ade_Matinye?replies_read=1
untuk foto-foto yang lain.