Monday, September 25, 2006

14 September 2006

Photobucket - Video and Image Hosting

Persis malam sebelum Citra Pariwara, gue berkesempatan nonton film terbarunya Yasmin Ahmad. Judulnya Mukhsin.

Dari sekian banyaknya rangkaian acara Citra Pariwara, secara jujur gue ngerasa nonton film ini yang paling menarik. Bisa jadi karena gue udah jenuh sama iklan. Dan gue cuma ngerasa semua seminar-seminar kreatif periklanan akan membicarakan hal yang sama. Dan kebetulan juga, cuma nonton bareng ini yang waktunya pas dengan jadwal gue.

Buat gue, film Mukhsin bener-bener bisa mengobati kekosongan di dalam hati. Selama ini udah sering gue nonton film. tapi jarang banget yang bisa tinggal di dalam hati. Kebanyakan abis nonton, boro2 inget bintangnya siapa. Inget ceritanya aja enggak. Beda dengan Mukhsin. Gue bisa inget banyak adegan. Banyak kata-kata yang bisa gue inget. Dan bukan gak mungkin jadi inspirasi buat gue. Buat iklan?

Satu yang bikin gue gak habis pikir. Kok bisa ya, film sesederhana itu tapi dalem banget? Kok bisa ya, gue kayak ngaca di cerita itu padahal gue belum pernah jatuh cinta? Kok bisa ya cerita dengan setting kampung yang bisa setiap hari gue liat, jadi begitu indah tapi gak berlebihan. Tapi mungkin karena yang bikin memang seorang Yasmin Ahmad.

Sejauh gue mengenal Yasmin Ahmad, satu yang gue tau, Yasmin orangnya sederhana banget. Penuh guyon. Semua orang diajak ngobrol. Semua bisa jadi guyonan. Bahkan lagu "Jablai" jadi lucu karena dia nyanyiin pake bahasa inggris. "The last time I went to Binaria, come back, come back I have two bodies!" Selain orangnya apa adanya banget. Hampir gak pernah gue ngelihat dia berpura pura. Dan dari semua perbincangan kita, banyak banget yang dia inget.

Banyak yang bilang gue terlalu mendewakan dia. Terlalu berlebihan mengagumi dia. Mungkin mereka bener. Tapi mungkin juga mereka gak tau, kalau gue masih butuh idola. Gue masih butuh guru. Gue masih pengen diajarin. Gue masih pengen dikasih inspirasi. Dan buat gue Yasmin Ahmad adalah salah satunya. Sombong kalau gue bilang belum ada orang iklan di Indonesia yang bisa menyentuh hati gue sedalam dia. Tapi memang begitu adanya. Susah untuk gue ceritain kalau tidak mengenal Yasmin sebagaimana gue mengenal dia.

Kalau pas kita ngobrolin soal iklan, semua jadi luaaaaaaas banget. Gak lagi ngebahas copy jelek. Art direction jelek. Tapi lebih pada hal-hal yang lebih basic. Kejujuran. Emosi. Perasaan. Bukan ditanya "what is the idea?" tapi "what is the emotion?' Bukan "what do you think?" tapi "how do you feel?" Bukan "what is wrong?" tapi "how can we improve?" Dan gue gak pernah ngerasa dihakimi hanya karena kerjaan gue gak bagus. Malah gue jadi semangat untuk jadi diri sendiri. Untuk terus berkarya. Nah, sejujurnya yang seperti ini gue gak pernah ngalamin di sini. Sementara ini yang selama ini gue butuhin.

Sekarang, apa salah kalau gue mengidolakan dia? Apa salah kalau gue melakukan segala yang terbaik untuk dia? Apa gue berlebihan kalau gue bilang kita bisa belajar banyak sekali dari seorang Yasmin Ahmad. Dan gue pikir temen-temen deket gue yang dateng malam itu untuk nonton Mukhsin bisa mengerti apa yang gue alami dan rasakan. Dan menurut gue, apa yang malam itu kita nonton bareng adalah semua, semua, semua yang bisa kita bagi.

Tentang iklan, tentang hidup kita, tentang pertemanan kita... semua dalam 95 menit di 14 September 2006.

"... but love is kind. It gives me a second chance..."

Makasih Cikgu... Makasih Addiction

Friday, September 22, 2006

Mbak Pargi.... Mbak Pargi...

Photobucket - Video and Image Hosting

Beberapa hari ini, mbak Pargi dateng bergincu!
Rambutnya yang biasa diiket, pagi ini dilepas melayang.
Persis seperti gadis Sunsilk.
Sebentar-sebentar dia senyum-senyum sendiri.

Belakangan ini, dia sering tiba-tiba diam sambil mainin kuku jarinya.
Pas dipanggil baru nyadar lagi.
Senyum-senyum lagi.
Ketawa-ketawa lagi.

Mukanya yang biasanya agak pucat,
belakangan ini merona merah.
Gak tau karena pake pemerah pipi.
Atau semua darahnya mengalir ke arah pipi.

Intonasi nadanya belakangan juga berubah.
Jadi lebih ceria dan enteng.
Hampir semua kalimat yang keluar dari mulutnya,
seolah di habis ketawa.

Kalau siang, dia memang sering kerja sambil dengerin radio.
Belakangan, bukan cuma dengerin.
Tapi nyanyi bersama lagu.
Gak cuma senandung... Lumayan kenceng.

---

Suatu pagi gue berangkat ke kantor.
Begitu sampai di bawah,
seperti biasa Pak Satpam menegur dengan sopannya
"selamat pagi mas Glenn..."
gue menjawab
"pagi juga mas..."
sambil tersenyum gue menatap wajahnya.
Sebelum gue melepas pandangan
tiba-tiba... dia memainkan juga jari kukunya!

Yang pasti,
hari ini gue senyum-senyum sendiri.

Saturday, September 16, 2006

Tuesday, September 12, 2006

Di Sebuah Lorong

Setelah semua 'sebutan' yang diberikan kepada gue, cd banci, biang scam, perusak dunia iklan, pelacur iklan, cina miskin, son of a pitch, tukang carmuk, jagoan PR doang, gak ngerti konsep dan banyak lagi hinaan yang sering dipakai oleh orang iklan senior untuk memanggil gue - bahkan dengan tanpa perasaan di depan banyak orang - yang terakhir adalah 'seniman'.

Sebutan ini bukan dari sembarang orang, tapi dari Narga Habib, ketua PPPI selepas mengikuti seminar di Jogja di mana gue menjadi pembicara. Sebentar gue terdiam dan agak bingung. Sejujurnya gak pernah merasa jadi seniman. Mungkin karena gue dianggap gak pantes jadi orang iklan. Tapi gue menyudahi perdebatan dalam hati itu dengan kalimat penghibu "mendingan jadi seniman deh daripada orang iklan. hehehehe!"

Di saat yang bersamaan, gue sedang dalam sebuah perjalanan mencari ide iklan cetak. Produk pemanis alami dengan target utamanya perempuan. Pengen bilang kalau pake produk ini, badan bisa langsing (seksi?). Sebelum memulai perjalanan ini gue memiliki sebuah pertanyaa Bagaimana dan referensi apa yang terbaik untuk menggambarkan perempuan Indonesia? Menurut gue, kalau pertanyaan ini bisa dijawab, akan lebih mudah mengerjakan iklan cetak baru ini.

Apa yang selama ini ditampilkan oleh majalah Popular, Playboy, FHM, dan banyak iklan-iklan pelangsing lainnya, menurut gue bukan perempuan Indonesia. Tapi perempuan Indonesia yang sedang berusaha menjadi perempuan barat. Atau perempuan Indonesia dilihat dengan kacamata orang barat.

Tetek tumpah ruah, pinggang yang sintal, pose dan tatapan menantang. Rambut kecoklatan terurai. Bukankah itu berasal dari majalah Playboy dan Vargas zaman baheula?

Perjalanan gue akhirnya sampai ke sebuah lorong panjang tahun 1940-an. Di lorong tersebut bau minyak tanah menyengat hidung. Gelap dan sunyi. Begitu sunyinya sampai hanya detak jantung gue yang terdengar. Sesekali terdengar suara orang sedang bercakap cakap dalam bahasa Belanda. Sepertinya mereka sedang berpesta. Suara gamelan kecapi suling terdengar melengkapi. Udara dingin menyerbu. Bulu kuduk gue berdiri.

Tiba tiba seseorang muncul di depan. Dengan mata sipitnya Ia menyapa:

"Apa yang kamu cari di sini anak muda?"

"Saya mencari penggambaran yang tepat perempuan indonesia."

"Mengapa kamu mencarinya di sini? Di lorong sepi ini?"

"Karena perasaan saya mengatakan apa yang ada di luar sana bukan yang saya cari."

"Mengapa perasaanmu mengatakan demikian?"

"Entahlah... saya merasa apa yang ditampilkan adalah untuk orang lain."

"Ah anak muda, membingungkan! Tapi mungkin apa yang ada di lorong ini bisa membantu."

Satu persatu lilin di tembok lorong dinyalakan dengan jarinya yang tebal terbungkus kulit yang halus. Perlahan lorong sepi itu terang. Bulu kuduk gue kembali berdiri. Satu persatu lukisan perempuan indonesia di kanan dan kiri tembok mulai terlihat. Ada perempuan bali. Perempuan jawa. Tak mengenakan kutang menenun. Rambut tergerai rapih di samping. kain melilit kepala.

Tatapan mereka tampah syahdu dan menenangkan. Mata mereka tidak menantang tapi seolah menyimpan sejuta kekuatan. Tangan mereka tidak panjang tapi lentik. Aaaaah tau deh... susah banget diomongin.

"He ehm... membantu?" kata orang tua tadi yang sekarang terlihat jelas.
Dari wajahnya ia pasti orang indonesia keturunan tionghoa.

Gue terdiam. Matanya menatap mata gue. Begitu dalam. Yang di dalam sini merasa begitu hangat. Seperti pulang ke rumah. Hati gue dielus perlahan. Yang selama ini hilang kembali.

Perlahan gue berjalan mundur. Ia tidak beranjak dari tempatnya. Sebelum sampai di ujung lorong, gue menyempatkan untuk menyapu pandangan ke kanan kiri lorong. Orang tua itu melihat gue dengan senyum dan berseru:

"Pulanglah... pulang... rumahmu di sini."

Saya tersenyum.

"Saya Glenn Marsalim."

"Oooh nak glenn... saya Lee Man Fong."

"Senang berkenalan denganmu Pak Lee."

"Kamu sampai di sini karena kamu mencari…
Hati hati di jalan!"

Photobucket - Video and Image Hosting


Born in Canton, China, Lee Man Fong’s family moved when he was young to Singapore, where he worked as a commercial artist until he got job as a caricaturist for a Chinese newspaper in Batavia (Jakarta). At the same time he was teaching himself to paint. Later he received a grant to study art in the Netherlands. Upon returning to Indonesia his talent was quickly recognized by President Sukarno and become a trusted member of the inner court. He was charged with editing a large book documenting the Sukarno collection of paintings of which he was curator. The influence of this book in the development of Indonesia painting cannot be underestimated.
Fong, often, made paintings of Balinese subjects. Some of these were clearly based on Willem Hofker’s work. He also did a series of large paintings depicting various activites in Bali’s daily life which are remarkable. Fong was a versatile painter skilled in both western oil painting style. After the fall of Sukarno, Fong retreated into private life until his death in 1988.