Saturday, April 30, 2005

Sang Rasa

Waktu kamu keluar dari rahim,
ada dua malaikat besar yang mendampingimu.
Kalau orang bilang yang satu hitam, yang satu putih,
itu kebohongan terbesar abad ini.

Mereka tidak berwarna.
Dan yang lebih hebatnya,
keduanya adalah satu.
Bukan cuma bersatu, tapi satu.

Ketika tali pusar kamu dipotong,
salah satu malaikat bertugas membuka matamu.
Agar jauh pandanganmu nanti.
Yang satunya lagi membuka lubang hidungmu.
Agar bisa udara kehidupan memenuhi tubuhmu.

Kemudian salah satunya mengurai jari tanganmu,
agar jari-jarimu bisa berbuat banyak buat sesamamu.
Yang satunya mengurai jari kakimu,
agar jauh langkahmu ke depan nanti.

Setelahnya, satu dari mereka memegang kepalamu,
agar kamu bisa berpikir, bertindak dengan logika.
Yang satunya lagi memegang dadamu,
agar kamu bisa berpikir, bertindak dengan rasa.

Yang terakhir dari ini semua adalah,
mereka berdua menumpukkan tangan mereka di dadamu.
Mereka akan menekannya agar jantungmu
mulai berdetak. Memulai kehidupanmu.

Tapi sebelumnya,
kamu diminta untuk membuat sebuah perjanjian.
Perjanjian untuk bertemu kembali.
Bertemu di saat yang telah ditentukan.

Setelah kamu menyetujuinya,
mulailah jantungmu berdetak dengan kencang.
Tangismu memenuhi rongga perempuan
yang sembilan bulan mengandungmu.

Dan ketika saat yang ditentukan itu tiba,
kedua malaikat itu akan datang lagi menemuimu.
Mereka datang agar kamu bisa memenuhi janjimu.
Mereka datang untuk menghentikan detak jantungmu.

Dan setelah detak jantungmu terhenti,
semua anggota ragamu akan membusuk.
Menjadi satu dengan tanah.
Tanpa sisa. Tanpa arti.

Hanya rasamu yang akan mereka biarkan hidup.
Agar rasamu bisa bercerita tentang segala keindahahan dan keburukan
yang telah dialami matamu.
Agar rasamu bisa bercerita tentang segala kesegaran dan kebusukan
yang telah dirasakan hidungmu.

Rasamu akan bercerita tentang segala hal yang telah
jari-jari tangamu lakukan. Ciptakan.
Rasamu akan berkisah tentang aral terjal yang telah
kaki-kakimu telusuri. Jelajahi.

Dan yang terakhir,
rasamu akan begitu jujur bercerita,
bagaimana pikiranmu telah mempengaruhinya.
Ketika Ia bertengkar atau berdamai dengan pikiran.
Ketika Ia dan pikiran membuatmu berbuat sesuatu.
Ketika Ia dan pikiran memberikan arti bagi hidupmu.

Dan ketika semua itu bercerita,
kamu hanya boleh diam seribu bahasa.
Karena rasamu akan bercerita bebas
tentang segala kebenaran.
Bahkan kebenaran yang selama hidupmu
tertutupi oleh pikiranmu.

Wednesday, April 27, 2005

Sejuta Peri

Gue gak kira, gak nyangka, kalau responnya bisa sebanyak
dan sehangat ini.
Ide-idenya inspiratif banget.
Pikiran gue jadi terbuka.
Rencananya baru akhir pekan ini gue baru mau mulai nulis.
Ini ada sedikit kado buat yang udah ngasih ide.


Sejuta Peri

Berjalan gue berjalan,
di atas titian bertanah basah.
Tanaman dewasa dan pohon bijak,
melindungi dari sengat matahari.

Resah dijinjing gelisah dipanggul,
gatal menyerang seluruh tubuh.
Bikin sepi semakin sepi
sebelum bercumbu dalam ketiadaan.

Tiba-tiba terdengar suara sayap berkepak.
Mendekat sejurus arah berjalan.
Semakin mendekat semakin keras.
Setiap kepakannya memenuhi setiap ruang raga.

Langkah gue melambat perlahan,
ketika angin menepuk punggung.
Tak sabar gue menoleh ke belakang.
Tampak sinar beterbangan naik turun.

Sejuta peri imut pun terbang di tempat.
Gue terkejut saat sadar ada mereka.
Mereka terkejut karena gue terhenti.
Tapi mereka terus menari dan menyanyi.

Tak dibiarkan gue bertanya bersuara,
mereka terus berdendang isi hati.
Sambil terbang mengitar,
seorang peri mendekati telinga berbisik.

Mengusik rasa obrak abrik otak
bahwa sepi itu tidak pernah ada.
Dan sendiri itu cuma numpang lewat.
Karena sejuta peri adalah kalian.

Temen-temen gue.

Monday, April 25, 2005

Duh Bingung Nih...

Kali ini gue beneran
bingung mau nulis apa.
Padahal nulis itu satu-satunya
yang bisa bikin hidup gue lebih berwarna.

Temen-temen tolong kasih ide dong!

Nanti yang idenya paling ok,
gue traktir ngopi-ngopi.
Daripada gue mati gak ada ide buat nulis.

Sebelumnya, makasih ya...

Tuesday, April 19, 2005

Di Sebuah Taman

Pagi ini langit mendung.
Awan berwarna abu-abu.
Angin bertiup pelan-pelan.
Sumriwing!

Air pagi ini segar.
Lebih dingin daripada air nanti malam.
Enak buat cuci muka.
Apalagi mandi.

Daun pagi ini ikut mandi juga.
Bunga pasti baru cuci muka.
Tanah basah udah pake parfume.
Rumput main air sampai keriput.

Pagi ini orang-orang berjalan 3 kali lebih cepat.
Pasti pengen cepat sampai kantor.
Takut kena macet.
Matanya lurus ke depan atau menunduk.

Tidak ada yang tahu kalau mendung pagi ini,
karena matahari sudah terbit di tempat lain.
Malah lebih awal dari biasanya.
Ia memilih untuk terbit di sebuah taman.

Pantas kalau matahari pagi ini memilih taman ini.
Karena taman ini memang beda dari biasanya.
Lebih legendaris daripada taman Eden.
Lebih historis daripada taman Tivoli.
Lebih mengagumkan daripada taman Babylon King Nebuchadnezzar II

Taman ini punya banyak cerita seru pagi ini.
Bikin Shakespeare malu sama karyanya.
Pujangga Rama dan Sinta juga mengakui kalau dia kalah hebat.
Apalagi Barbra Cartland. Pasti merasa bodoh sekali.

Di taman ini, matahari terbit.
Lebih awal dari biasanya.
Bikin sekitarnya lebih hangat.
Bikin semua jadi pengen lompat-lompat kegirangan.

Sssst... jangan bilang siapa-siapa.
Matahari itu terbit di sebuah taman.
Lebih awal dari biasanya.
Dan taman ini, ada di sini.

Di dalam sini.

Image hosted by Photobucket.com

Sunday, April 10, 2005

Dari Lantai 22

Baru Minggu kemaren,
upacara pepindahan gue rampung juga.
Kepanikan gue selama 3 minggu itu
mengorbankan jari telunjuk gue yang teriris
waktu motong kabel televisi.

Di ruangan yang cuma terdiri dari 3 bagian
itulah gue akan melewati 1 tahun ke depan.
Ruang tidur, ruang tamu dan ruang belajar.
Temboknya dicat warna abu-abu putih senada.
Hanya di beberapa bagian ada yang berwarna
biru dan hijau sebagai aksentuasi.

Cerita tentang fisik apartemen itu sendiri
menurut gue gak terlalu menarik.
Tapi kehidupan yang ada di apartemen dan sekitarnya
yang pengen gue bagi di sini.

Kalau inget salah satu film Hollywood dimana
Meg Ryan sikat gigi sambil memandang apartemen di seberangnya.
Atau salah satu member Sex and The City yang
jatuh cinta sama cowok ganteng yang sering telanjang
di apartemen seberangnya juga.
Atau film Cintaku di Rumah Susun yang sampe sekarang
gue belum sempet menuntaskan VCD-nya.

Seperti itulah yang gue bayang dan rasakan malam Minggu kemaren.

Dari lantai 22 di sisi kiri gue melihat jendela-jendela berlampu.
Kelihatan seorang bapak gembul lagi baringan nonton televisi.
Sebagian cuma siluet orang. Sebagian lagi terang benderang.
Sebagian lagi ada jemurannya. Sebagian lagi gelap gulita.

Di sisi kanan gue melihat rumah gubuk rapat.
Dari atas terlihat atap mereka hampir roboh.
Ribuan lampu kecil dan besar,
tak bisa menutupi kesederhanaan hidup di bawah sana.

"Sejuta Kunang-kunang di Manhattan",
ekspresi tepat untuk melukiskan yang mata gue alami.

Tak ada privasi berlebih di sini kalau dibandingkan
tempat tinggal gue sebelumnya. Rumah yang dikelilingi
tembok dengan jarak 10 meter antara rumah yang satu dengan yang lain.

Gue gak tau berapa lama gue akan tinggal di sini.
Sampai nanti saat di mana gue harus pindah ke tempat yang lain.
Gue gak tau ada berapa mata yang sedang melihat gue berdiri di balkon
malam minggu kemaren.

Yang gue tau, kalau ada yang melihat gue dari rumah-rumah
gubuk di bawah sana, pasti mereka ingin tinggal di tempat gue sekarang.
Sama seperti yang gue rasakan ketika melihat apartemen
Four Seasons di kejauhan. Pasti lebih nyaman dan berkelas tinggal di sana.

Ketika gue melihat ke bawah gue bersyukur.
Ketika melihat ke atas gue berharap.
Sekarang gue berdiri di antaranya.
Kalaupun memang harus berdiri di sini selamanya.
Bukan sekedar apartemen Four Seasons di kejauhan yang gue harapkan.
Tapi kenyamanan Four Seasons di dalam hati.

Sunday, April 03, 2005

Testimonial dari Djokolelono

Aku pernah ceritera ama Glenn, tentara
Sultan Agung waktu nyerang Betawi
ransumnya gudeg kendil. Rasional, sih.
Gudeg tahan lama. Cukup ngenyangin.
Ada karbohidrat, gula, dan coklat (eh,
yang ini warnanya). Trus kalo udah habis
kendilnya bisa buat tutup kepala kalo
hujan (ini mengilhami helm-nya
Wehrmacht, tentara Jerman Perang
Dunia II itu loh). Juga ini mwengingatkan
para perajurit untuk selalu rindu pada
para isteri yang membuatkannya. Di
sepanjang perjalanan ke Betawi juga
mengilhami industri gerabah sepanjang
Krawang Bekasi. Btw, karena
banyaknya kendil yang pecah penjadi
kreweng (pecahan kendil) maka tempat
itu kemudian diberi nama Krawang.
Batalyon pasukan Sultan Agung itu
kemudian kemping di tempat yang
sekarang bernama Matraman. Satu
kampi lagi, Kompi Tumenggung
Wiraguna, kemping di selatan, di tempat
yang sekarang namanya Wiragunan
atau Ragunan.
He he he he ... ini sama ahlinya dengan
Glenn yang membela lay-out buatannya
dengan menyebut nama penlis buku
grafis yg ngga ada.